Tag Archives: hakikat

PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (3)

PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (3)
sebuah komentar agamis

Dari pengalaman gaibnya, Ki Sabdalangit sampai pada kesimpulan:

Betapa Tuhan itu :

LEBIH DARI MAHA ADIL
LEBIH DARI MAHA BIJAKSANA
LEBIH DARI MAHA BESAR
LEBIH DARI MAHA KUASA
LEBIH DARI MAHA KASIH DAN PENYAYANG
LEBIH DARI MAHA LEMBUT
LEBIH DARI MAHA PEMURAH

Akhirnya, sampailah saya pada pemahaman:

ALANGKAH DAMAINYA DUNIA INI
JIKA SEMUA ORANG MENGALAMI SAMA DENGAN APA YANG PERNAH SAYA ALAMI
JIKA TUHAN MEMBERI KESEMPATAN KEPADA SELURUH MANUSIA
UNTUK MELIHAT RAHASIA KEKUASAAN“NYA”
PASTI LAH TAK KAN ADA LAGI PERANG ANTAR AGAMA
TAK KAN ADA LAGI DEBAT KUSIR SIAPA SEJATINYA TUHAN
TAK KAN ADA LAGI RASA KEBENCIAN DAN PERMUSUHAN ANTAR AGAMA
TAK KAN ADA LAGI SALING CURIGA DI ANTARA UMAT

SAYA TELAH MENDAPATKAN PEMAHAMAN YANG AMAT SANGAT BERHARGA,
SAMPAILAH PADA PEMAHAMAN BETAPA TUHAN ITU LEBIH DARI MAHA SEGALANYA,
DARI SEMUA WUJUD KE-MAHA-AN TUHAN
YANG TERTULIS DI DALAM KITAB SUCI DAN AGAMA MANA PUN

Betapa Tuhan itu:”

Saya setuju, bahasa tutur standar atau bahasa tutur biasa yang ditulis, memiliki banyak keterbatasan dalam mengungkap hakikat-hakikat yang kita alami. Misalnya kata gembira pada situasi tertentu, bisa jadi, hanya mewakili sedikit ruang perasaan yang ketika itu kita rasakan. Lebih-lebih jika bahasa tutur ini digunakan untuk menjelaskan hakikat kesempurnaan Tuhan Yang Maha Agung, tentu kekurangannya semakin terasa. Belum lagi keterbatasan makna kata dalam bahasa yang sangat ditentukan oleh pengetahuan, kebudayaan, dan lingkungan penutur bahasa itu sendiri.

Tetapi permasalahannya harus berbeda ketika menyangkut Kitab Suci. Makna kata dalam bahasa Kitab Suci harus dipahami melampaui batas-batas yang mempersempitnya, baik batas pengetahuan, batas kebudayaan, batas lingkungan dan batas-batas lainnya jika masih ada. Kenapa? Karena penuturnya adalah Dzat Maha Sempurna yang tidak tersekat dalam batas-batas tersebut. Para pengikut Tasawuf telah memahami ini dengan lebih mendalam. Sehingga mereka lebih memilih mengungkapkan ketidakterungkapan bahasa tutur melalui perilaku aneh dan bait-bait vulgar, sajak orang yang tengah mabuk atau tak waras; hingga karena hal ini, diantaranya, mereka sering mendapat cercaan.

Kenyataan kebahasaan ini juga telah jamak diketahui oleh mereka yang mendalami disiplin ilmu-ilmu keislaman lainnya. Hal itu bisa dibuktikan dengan maraknya kitab pensyarah atau penjabar bagi kitab-kitab yang lain dalam tradisi literer Muslim. Bahkan biasanya kitab tersebut langsung mengusung judul “syarh” atau “syuruh” yang berarti penjabar. Kitab jenis ini memiliki uraian yang lebih panjang lebar mengenai sebuah kata atau kalimat tertentu, atau permasalahan tertentu. Dan termasuk ke dalam kategori kitab pensyarah atau penjabar adalah kitab-kitab tafsir.

Sebagai contoh, dalam tradisi pesantren klasik ketika memaknai kata ar-rahman yang biasa diterjemahkan dengan padanan Yang Maha Pengasih, tradisi pesantren menjabarkannya dengan uraian ayyil mun’imi bijalailin ni`am, (yaitu Dzat Pemberi segala kenikmatan yang besar. Kenikmatan yang besar ini bisa dimaknai dengan segala jenis kenikmatan yang terindera, semisal kekayaan, rezeki, jodoh, tempat tinggal, dan seterusnya. Penjabaran tentang kata ini biasanya juga dilanjutkan dengan pernyataan bahwa semua anugerah atau kenikmatan yang besar terindera ini diberikan oleh Allah kepada seluruh makhluk-Nya tanpa kecuali).

Sementara ketika memaknai kata ar-rahim yang biasa diterjemahkan dengan padanan Yang Maha Penyayang, tradisi pesantren menjabarkannya dengan uraian ayyil mun`imi didaqaiqiha (yaitu Dzat Pemberi segala kenikmatan yang lembut, yang bisa dimaknai dengan anugerah atau kenikmatan yang tidak terindera, semisal perhatian, kasing sayang, dukungan, pertolongan, kebahagiaan, kepuasan, kekekalan, pencapaian derajat kesempurnaan, dan seterusnya. Penjabaran tentang kata ini biasanya juga dilanjutkan dengan pernyataan bahwa jenis anugerah atau kenikmatan ini diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang layak dan berhak saja, yaitu yang bersungguh-sungguh mengharap dan menuju-Nya).

Selain itu, selain sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah juga berkuasa mutlak. Tidak ada sesuatu pun yang mampu membatasi atau mengurangi kekuasaan-Nya. Dan, kehendak-Nya pasti terjadi.

Dengan kenyataan-kenyataan itu, saya menyetujui kesimpulan Ki Sabdalangit bahwa Tuhan lebih dari segala yang bisa dipahami dari sebuah kata dalam kebiasaan penggunaan kata ini di dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapannya: “Betapa Tuhan itu: LEBIH DARI MAHA ADIL”, dan seterusnya. Saya uraikan penyebabnya: Karena pemahaman kita atau pemaknaan kita tentang frasa “Maha Adil” dibatasi oleh sekat-sekat keterbatasan kita: keterbatasan pengetahuan, keterbatasan budaya, keterbatasan lingkungan, keterbatasan fisik dan kemampuan, dan mungkin masih banyak batas-batas lainnya.

Yang saya tidak berani menyetujui adalah pernyataan Ki Sabdalangit yang mengatakan:

BETAPA TUHAN ITU LEBIH DARI MAHA SEGALANYA, DARI SEMUA WUJUD KE-MAHA-AN TUHAN YANG TERTULIS DI DALAM KITAB SUCI DAN AGAMA MANA PUN”

Saya setuju ke-maha-an Allah tidak terjangkau oleh akal pikiran kita; karena itu Nabi berpesan agar kita tidak menganalisa Allah, tetapi cukup menganalisa ciptaan dan karya Allah. Hal itu karena Nabi memahami keterbatasan kemampuan akal. Sabda Nabi merupakan bagian dari agama, dan itu berarti agama telah menampung dan menyampaikan hakikat ini. Dengan begitu, saya merasa ungkapan Ki Sabdalangit pada kalimat “DARI SEMUA WUJUD KE-MAHA-AN TUHAN YANG TERTULIS DI DALAM KITAB SUCI DAN AGAMA MANA PUN” terkesan ‘mengecilkan’ keberadaan semua Kitab Suci dan semua agama.

Padahal tidak mungkin Kitab Suci berupa uraian yang panjang lebar untuk menjelaskan hakikat yang sejatinya. Karena kalau itu terjadi Kitab Suci akan menggemuk berjilid-jilid tanpa henti. Bahkan dalam ayat al-Qur’an (Luqman, 31: 27, juga al-Kahf, 18: 109) disebutkan, Sungguh jika seluruh pohon di muka bumi dijadikan pena dan sebuah samudera ditambah tujuh samudera lainnya menjadi tinta untuk menuliskan “kalimat-kalimat” Tuhan, niscaya itu semua masih belum mencukupi. Kalau itu terjadi, mungkin tidak ada satu makhluk pun yang sanggup membaca Kitab Suci. Karena itu Kitab Suci diturunkan dalam rupa kalimat yang ringkas, tetapi maknanya mencakup semua hakikat yang ada. Memang tidak semua orang sanggup menyelami semua hakikat yang terkandung dalam sebuah kata atau makna ayat Kitab Suci, tetapi itu semua tergantung pada kesungguhan masing-masing dalam menggali dan mendalaminya. Karena itu, penjelasan dan uraian diperlukan.

Penjelasan dan uraian pertama datang dari Allah dalam wujud para rasul dan nabi bersama masyarakat dan lingkungan yang menjadi lokus turunnya Kitab Suci. Bagaimana mereka memahami dan menerapkan apa yang dititahkan Kitab Suci. Hal itu adalah bagian dari penjelasan dan uraian yang diberikan oleh Allah.

Penjelasan berikutnya bisa berupa akal-akal kuat yang mampu menyelami dan mendalami ayat-ayat dalam Kitab Suci. Penjelasan lainnya bisa berupa ketajaman batini atau intuisi dan kemampuannya merajut serta merangkaikan hakikat batiniah sehingga bersesuaian dengan yang tersurat di dalam ayat-ayat lahiriah Kitab Suci.

Dan beribu macam penjelasan lainnya, tetapi (yang benar) tetap dengan menjadikan teks-teks yang tertulis di dalam Kitab Suci sebagai patokan dan panduan yang akan mengarahkan dan membimbing, dan tidak membiarkan “nafsu diri” atau “kehampaan” yang menjadi pembimbing dan pengarah. Dengan begitu Kitab Suci berfungsi sebagai penentu yang menilai suatu penjelasan/uraian bersesuaian dengan Firman Tuhan atau tidak.

Dari literatur para ilmuwan yang mendalami ilmu-ilmu al-Qur’an (Kitab Suci) dan para ahli makrifat saya mendapati pernyataan bahwa satu ayat al-Qur’an bisa dipahami dengan minimal 600 pemahaman yang berbeda, yang semuanya memiliki kemungkinan benar (jumlah minimal ini karena mengingat keterbatasan dan kekurangan manusia itu sendiri.)

Apalagi Kitab Suci Al-Qur’an yang kemurnian dan keutuhannya dijaga oleh Tuhan! Bukankah dengan hal ini bisa dipahami bahwa Allah—dengan kesempurnaan-Nya—telah menurunkan petunjuk yang juga sempurna di dalam al-Qur’an?! Dan karenanya, kita tidak bisa gegabah menyatakan kalimat-kalimat atau ungkapan-ungkapan kebahasaan ayat di dalam al-Qur’an tidak mampu mewakili hakikat yang sesuai dengan Tuhan.

Karena kesempurnaan inilah, al-Qur’an adalah standar dan parameter bagi siapa saja yang ingin berbicara tentang Tuhan. Apakah seseorang berlebih-lebihan atau kekurangan saat menjelaskan tentang Allah, hanya bisa diukur dengan Kitab Suci Al-Qur’an (dalam kapasitasnya sebagai Kitab Suci yang kemurniannya terjaga). Selain itu, orang akan sangat mungkin terjebak dalam mengikuti hawa nafsu dan pikirannya sendiri.

Di dalam ayat Al-Qur’an sering Tuhan menyatakan, “ta`alallahu `amma yusyrikun” yang berarti: maha tinggi Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan; yang sama artinya dengan: maha suci Allah dari apa-apa yang mereka yakini atau mereka katakan tentang persekutuan Allah dengan selain-Nya. Selain itu, di dalam Al-Qur’an kita juga mendapati ayat yang sering kita baca atau kita dengar di penghujung doa yang berbunyi “subhana rabbika, rabbil izzati `amma yashifun” yang berarti: maha suci Tuhan-mu, Tuhan Yang Maha Mulia dari apa-apa yang mereka atributkan/sifatkan; yang sama artinya dengan: maha suci Allah dari apa-apa yang mereka katakan. Artinya, semua perkataan kita, pensifatan kita, pengatributan kita kepada Allah sangat jauh kebenarannya dari kenyataan dan hakikat yang sejati, selama perkataan, pensifatan, dan pengatributan tersebut tidak didasarkan pada “sulthan (pengetahuan, argumentasi dan bukti, hujjah wa dalil)” atau “kitab suci” yang telah diturunkan oleh Allah. Tanpa “sulthan” dan atau “kitab suci” ucapan kita tentang Allah adalah mengada-ada.

[bersambung]

tulisan sebelumnya:
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (1)
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (2)

tulisan berikutnya:
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (4)
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (5)