Berhari-hari setelah itu, Pendeta Pemikiran terus menuliskan surat-suratnya kepada Sang Isteri. Surat-suratnya memiliki langgam seperti ini:
Pagi, 14 Pebruari ….
Sahabatku,
Alangkah indahnya pagi ini! Langit biru, seperti belum pernah kulihat warna sebiru ini. Seakan-akan malaikat dalam kejernihan seorang bocah tengah bermain riang, memegang pena lucu mewarnai gambar air dengan warna biru cerah dan mewarnai semua pemandangan alam yang tampak oleh mataku hari ini dengan warna hijau segar. Aquarel angkasa ini juga memenuhi jiwaku, memenuhinya dengan kejernihan langit! Tak setiap saat aku bisa menyaksikan warna-warna di sekitarku, atau mendengarkan suara-suara yang bernyanyi di sekelilingku.
Segala sesuatu di sekelilingku saat ini sedang berbicara, bersinar dan bergerak! Aku yakin pembantuku pasti terheran-heran melihatku; suara kenari yang terkurung di dalam sangkar tetangga, tak lagi menggangguku. Bahkan aku mendengarkannya dengan tersenyum. Kami sekarang menjadi dua sahabat baik. Saling memahami. Aku tak mengizinkan pembantuku menutup jendela yang menghubungkanku dengannya, meski di saat sibukku. Burung kecil ini, dalam khayalanku, juga memiliki cerita tentang dirimu yang ingin disampaikannya kepadaku!
Petang, 25 Pebruari …
Sahabatku!
Petang ini aku duduk di balkon rumahku. Malam ini bulan akan purnama. Di langit, tampak sedikit awan yang sedang berjalan. Ia membuat kita merasa seolah-olah bulan-lah yang sedang berjalan. Bola cahaya apakah itu yang berjalan tergesa-gesa seperti itu, di angkasa?! Apakah ia punya janji dengan sang kekasih?!
Saat ini Cairo tengah lelap tertidur. Dari tempatku yang terpencil kusaksikan rumah-rumah berjejer saling berangkulan dalam pelukan bukit Mukatam, seperti anak burung di sarang induknya. Sebagian rumah itu telah memejamkan matanya atau menutup jendalanya, menyerah pada kantuk. Sebagian lainnya tetap terjaga, membukakan jendela yang menyorotkan sinar ke kegelapan malam. Amboi, yang manakah rumahmu di antara rumah-rumah itu?! Apakah yang sedang kau lakukan saat ini?! Aku yakin, sekarang kau sedang berada di sisi suamimu yang berbahagia itu, meringkuk kepadanya dengan kelembutan yang kulihat padamu.
Sungguh aku selalu melihatmu pada sosok seorang isteri teladan, sosok isteri yang sering kuharapkan untuk bisa kumiliki. Tapi, kehidupan enggan membawanya kepadaku!
Tak seorang pun tokoh dalam sejarah yang memiliki isteri mulia, kecuali selalu kubayangkan dalam sosok dirimu. Kuberikan ciri seperti cirimu dan kupinjamkan tanda serta sifat seperti tanda dan sifatmu!
Kubaca kisah Karl Marx ketika diusir dari negerinya karena penduduk negerinya menemukan ancaman berbahaya bagi keutuhan bangunan masyarakat di dalam tulisan-tulisan Sosialismenya. Isteri Karl Marx menolak dipisahkan dari sang suami! Ia ingin keluar bersamanya, menjadi gelandangan sebagaimana sang suami! Padahal, keluarga sang isteri menginginkannya tetap bersama mereka dan menjauhi takdir serta jalan hidup sang suami yang suram.
Semua itu malah menambah kegigihan sang isteri untuk tetap bersama sang suami, memenuhi kewajiban sebagai pasangan. Sang isteri lalu mengikuti sang suami hingga ke Perancis. Belum sempat mereka beristirahat di negeri ini, mereka telah diusir kembali dari negeri itu. Keduanya lalu meninggalkan Perancis menuju Inggris. Keterlantaran dan kerasnya hidup, juga gelapnya ufuk masa depan tak mampu menggoyahkan keyakinan seseorang dari pemikirannya, juga tak mampu menggoyahkan keyakinan seorang isteri kepada suaminya!
Entah, mengapa aku melihat wajahmu! Hanya mukamu yang tampak saat aku mengingat wanita hebat itu!
Kemarin, aku kembali membaca kisah hidup Desraili, kisah seorang politikus yang ditulis oleh Moro. Bukan untuk apa-apa, selain untuk membuka kembali sosok isterinya yang bernama Marry Ann! Bukan lembar-lembar pertama kehidupannya, sebagai suami-isteri, yang kukagumi. Karena lembar pertama selalu berupa kegembiraan di setiap kehidupan perkawinan.
Marry Ann telah melaksanakan kewajibannya sebagai isteri yang bisa memahami bagaimana menjadikan suami hidup bahagia, seakan-akan berada di Taman Firdaus! Lelaki, suaminya itu adalah orang yang paling membutuhkan taman kebahagiaan. Ia merasa isterinya tidak diciptakan, selain demi dirinya sendiri. Di saat-saat keputus-asaannya, di saat semangatnya mengendor dan rasa pahit karena kegagalan dan kekalahan—dan betapa seringnya saat-saat seperti ini terjadi pada orang-orang sepertinya—ia sangat membutuhkan orang yang bisa menghibur dan melipurnya. Marry Ann, sang isteri itu telah menghibur dan melipurnya. Bahkan menjadi sandaran yang mengurangi dan meringankan beban dirinya!
Lembar-lembar yang kukagumi dan menggetarkanku adalah lembar-lembar terakhirnya. Saat di mana sosok sang isteri ini terkulai sakit. Ia telah lama mengetahui bahwa dirinya terserang penyakit mematikan, penyakit kanker lambung. Tapi, ia berusaha sekuat tenaga—seperti usahanya para pahlawan—untuk menyembunyikan penyakit ini dari sang suami, agar tak membuatnya cemas. Ia memaksakan diri mendampingi sang suami di setiap kegiatan sosial yang menghendaki kemunculan dirinya. Ia membawa pigura besar di dadanya yang berisi gambar sang suami, seperti pengiring jenazah yang membawa foto mendiang. Keduanya bersama-sama menjadi tua, letih dan sakit-sakitan, hingga masing-masing tak bisa saling merawat lagi. Sepasang suami-isteri yang telah tua ini, terkadang saling bekirim surat dari kamar ke kamar, untuk pasangannya. Sang suami menulis surat untuk sang isteri yang berbunyi begini:
“Saat ini aku sedang tergeletak di atas punggungku. Karena itu, maafkanlah pena dan tulisanku. Baru saja kau telah mengirimkan surat kepadaku, surat yang paling menyenangkan dan paling menggembirakan yang pernah kuterima sepanjang hidupku. Rumah kita sepertinya telah menjadi rumah sakit! Tetapi, di rumah sakit bersamamu lebih baik bagiku dari pada di istana tanpa dirimu.”
Sementara sang isteri mengatakan kepada sahabat-sahabatnya, “Berkat kebaikannya, hidupku tak lain hanyalah saat-saat bahagia yang tanpa henti.”
Sementara sang suami menjawabnya, “Kami telah menikah sejak tiga puluh tahun, dan sesaat pun aku belum pernah merasakan bosan bersamanya.”
Akhirnya, penyakit sang isteri semakin parah. Dan ia tak bisa lagi menyembunyikan penyakitnya. Meskipun begitu, kirim-kiriman surat antara mereka berdua di dalam rumah itu tidak menjadi terhenti. Sang suami menuliskan: “Tak ada yang bisa kukatakan kepadamu selain: aku cinta kamu”
Dan sang isteri menuliskan: “Oh, engkau yang paling berharga yang kumiliki. Tak terbayangkan, betapa aku rindu kepadamu. Betapa besarnya hutangku pada kebaikanmu dan pada kasih sayangmu yang tak pernah putus.”
Semua harapan untuk kesembuhan sang isteri pupus. Lambungnya menolak semua makanan. Dan untuk pertama kalinya, orang melihat wajah Desrail yang tenang itu berubah menjadi sangat muram, menunjukkan musibah besar yang dihadapinya. Sang isteri pun meninggal pada tangal 15 Desember 1872.
Dalam lembaran-lembaran kertas isterinya mereka menemukan surat ini: “Suamiku yang kubanggakan! Jika aku meninggalkan kehidupan ini sebelum dirimu, suruhlah orang agar kita berdua dikuburkan dalam satu lubang, bersama-sama. Sekarang, semoga Allah memberkatimu, orang yang baik! Orang yang mulia! Sungguh engkau adalah sebaik-baik suami. Selamat tinggal kekasihku, Dizy!”
“Kamu jangan hidup menyendiri. Dengan sepenuh hati, kuharapkan kamu menemukan orang yang dengan tulus bisa mencurahkan dirinya untukmu.”
Marry Ann
Musibah Desraili ini telah mengejutkan semua sahabat dan lawannya. Bahkan Gladstone, lawan politiknya yang paling keras itu bisa melupakan dendamnya, dan menulis surat untuknya:
“Seingatku, kita menikah pada tahun yang sama. Dan selama tiga puluh tahun, masing-masing kita telah mendapatkan kebahagiaan keluarga yang tak ternilai harganya. Aku yang oleh takdir dibiarkan terhindar dari musibah yang menimpamu bisa memahami.”
Dengan sungguh-sungguh Gladstone juga menyatakan rasa dukanya kepada Desraili. Dan ia melakukan semua itu dengan tulus!
Setelah derita berat dan sulit itu, hari-hari berlalu pada Desraili. Kalau saja Marry Ann masih hidup, tentu ia akan bangga dengan perannya membantu sang suami menghadapi berbagai macam kesulitan yang merepotkan lelaki. Sejak pernikahannya, Desraili menempati sebuah rumah dengan para pembantu yang terkoordinir rapi, tak pernah sedikit pun dirisaukannya!
Dengan perasaan kehilangan, Desraili pernah mengatakan. “Tak ada sesuatu yang berat atau susah yang tak bisa dihadapi olehnya! Tak ada kesulitan maupun permasalahan yang tak bisa dicarikan jalan keluar olehnya! Aku tak pernah mengenal perempuan yang memiliki keteguhan dan keuletan seperti dirinya! Semua itu demi kenyamananku, demi perhatiannya untuk kebaikanku.”
Demikianlah Marry Ann. Ia meninggal dan tak bisa lagi menjaga suaminya yang dibanggakan. Dengan kematiannya, sang suami kehilangan rumahnya. Tempat yang hangat itu; di mana jiwa, jasad dan kenyamanan bisa ditemukan di dalamnya. Tempat di mana kritikan berubah menjadi pujian, kecaman berubah menjadi ucapan sayang dan hiburan!
Setelah hari itu Desraili tak pernah mengenal tempat tinggal yang nyaman! Ia pernah berkata kepada sopirnya: “ke rumah!” dan tak lama kemudian ia teringat bahwa dirinya sudah tak memiliki rumah. Maka, berguguranlah air matanya.
Andai bukan karena perhatian dan belas kasih para sahabatnya, tentu Desraili akan menjadi semakin menderita. Tetapi, bagaimana pun juga, bisakah perhatian sahabat menandingi kelembutan seorang isteri?! Dalam kebisuan kamarnya dan kegelapan kesepiannya, lelaki ini duduk mengumpulkan kenangan yang telah pergi: mengenang suara isterinya yang ceria.
Itulah ringkasan dari lembar-lembar buku tersebut yang telah menggetarkan jiwaku. Sebagian besar kisahnya kutuliskan di sini agar kau mencintai Marry Ann, sebagaimana aku mencintainya. Dan barangkali, kau melihat sosok Marry Ann menyerupai dirimu, sebagaimana aku melihatnya sebagai kembaranmu.
Malam, 19 Maret …
Sahabatku…
Ada perempuan lain yang juga banyak kucintai karena ia menyerupaimu meskipun aku tak melihat kecantikanmu ada padanya. Patung-patung dan relif di dinding-dinding kuilnya hanya menampakkan kecantikan seni yang sama sekali tak bisa dikaitkan dengan kecantikan aslinya! Dialah Isis, perempuan Mesir! Aku tak ingin melihatnya dari sisi agama atau ketuhanan dalam legendanya. Yang ingin kusampaikan adalah dari sisinya sebagai seorang isteri. Kesetiaannya kepada Osiris, sang suami.
Dalam pandanganku, kesetiaan Isis kepada suaminya sungguh merupakan mukjizat yang bisa dimiliki oleh hati manusia! Osiris adalah raja di tanah Mesir sebelum Mesir mengenal catatan sejarah ilmiahnya. Dalam masa yang tak lama, Osiris telah membuat Mesir menjadi bangsa yang berperadaban sehingga adat-istiadatnya yang buas hilang dan kebiasaan kanibal penduduknya yang suka memakan daging manusia sirna. Keamanan menjadi mapan. Agama dan penyembahan kepada tuhan menjadi semarak.
Osiris lalu membuat undang-undang bagi rakyatnya, mengajarkan pertanian, ketrampilan, pembuatan rumah dan penguatan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang berperadaban. Setelah semua itu selesai, Osiris menyebarkan peradaban ini ke luar bumi Mesir! Dari waktu ke waktu ia sering meninggalkan Mesir dan meninggalkan isterinya. Selama kepergiannya, Isis memimpin kerajaan. Isis mampu memerintah Mesir dengan cakap dan bijaksana. Semua berjalan sesuai kebijakan yang digariskan suaminya, sehingga orang-orang menyintai mereka berdua dan mensucikan mereka. Tapi, mata kejahatan tak pernah tidur!
Raja Osiris memiliki seorang musuh sengit bernama Set. Set adalah saudaranya sendiri. Set berambisi menguasai pemerintahan di saat kepergiaan saudaranya itu. Namun, ketika harapannya sia-sia, kedengkian membuat Set berencana busuk. Ia ingin menyingkirkan saudaranya sendiri, Raja Osiris. Ia menunggu sampai saudaranya itu kembali ke kerajaan, lalu mengundangnya ke sebuah pesta megah yang khusus dipersiapkan untuk merayakan kedatangannya. Isis, sang isteri selalu mengingatkan Osiris agar behati-hati kepada Set, tetapi sang raja tak mempedulikan kebusukan hati musuhnya. Ia tak bisa mengetahui hati orang lain!
Osiris pun mendatangi pesta itu. Setelah acara makan dan minum, Set mengeluarkan sebuah peti yang sangat indah. Peti ini mampu memikat semua mata yang memandangnya, mengagumi kehebatan karyanya! Set telah membuat peti ini seukuran tubuh saudaranya, Sang Raja.
Osiris terkagum-kagum ketika melihat peti itu. Set lalu menoleh kepada Osiris dan semua yang hadir—mereka semua yang hadir adalah orang-orang Set—dan mengatakan: “Barang siapa yang tubuhnya pas dengan peti tersebut, maka peti itu untuknya!” Para undangan pun bergiliran mencoba memasuki peti. Mereka semua bergantian tidur di dalam peti, dan tak satu pun yang tubuhnya pas dengan peti tersebut. Sampai akhirnya datang giliran Sang Raja. Osiris berdiri sambil tersenyum, tak sedikit pun terbersit kecurigaan di dalam hatinya. Ia pun lalu tidur di dalam peti.
Begitu Osiris tiduran di dalam peti, semua yang hadir segera menyerangnya. Mereka menutup pintu peti itu dan mematrinya dengan cairan patri yang mendidih. Mereka mengunci tutup peti. Set lalu memerintahkan agar peti dilemparkan ke sungai Nil, dekat muara sungai. Demikianlah kehidupan Osiris, ia dibunuh dalam usianya yang baru 28 tahun, menurut sebagian orang. Atau dalam tahun ke 28 dari masa pemerintahannya, menurut sebagian orang yang lain!
Sampai di sini legenda itu tak ada yang penting bagiku. Begitulah kebanyakan legenda para raja di masa-masa lampau. Sampai pada legenda Eropa modern pun kita mandapati kisah semacam itu. Kisah Hamlet yang dikarang Shakespears mengisahkan seorang raja yang dikhianati oleh saudaranya sendiri. Lalu saudara itu membunuhnya karena tamak akan kerajaannya. Saudara yang berkhianat, dalam kisah Hamlet ini, bekerja sama dengan Sang Ratu, isteri Sang Raja sendiri. Sehingga Sang Ratu terlibat dalam kejahatan tersebut, sebagaimana keduanya juga saling menyambut cinta yang tabu!
Tetapi di sini, lihatlah apa yang dilakukan Isis?! Begitu ia mengetahui peristiwa yang terjadi, ia memotong gelungan rambutnya dan mengenakan baju besi, lalu meninggalkan istana. Ia meninggalkan kekuasaan, keagungan dan segala yang dimilikinya, bertolak mengembara mencari peti yang memuat jasad suaminya. Ia berkeyakinan jasad itu tak akan bisa tenang, kecuali setelah dikuburkan sesuai ritual keagamaan!
Selama berhari-hari yang panjang Isis berkelana ke berbagai penjuru negeri. Ia menanyakan hikayat peti berhias indah kepada setiap orang yang lewat yang ditemuinya! Ia selalu mendapat jawaban: tak pernah ada orang yang melihatnya. Namun ia tak berputus asa. Isis terus melanjutkan perjalanan ke penjuru negeri mencari dan bertanya, meminta bantuan dan belas kasihan. Namun tetap tak menghasilkan. Sampai akhirnya ia bertemu dengan serombongan anak kecil yang sedang bermain di tepi sungai Nil. Anak-anak itu memberitahukan bahwa mereka melihat peti yang dihanyutkan di muara sungai.
Isis pun menuju muara sungai, mencari dan melacak kembali. Tetapi usahanya masih belum membuahkan hasil. Hingga akhirnya takdir mengarahkannya untuk bertanya kepada para nelayan. Para nelayan itu mengatakan: laut telah membawa peti itu ke pantai Pilus!
Isis lalu mengarungi lautan menuju kerajaan nun jauh itu. Di sana ia bertanya, namun tak seorang pun yang bisa memberinya petunjuk akan apa yang diinginkannya. Keletihan dan keputus-asaan menyelimutinya. Isis terduduk linglung di atas sebuah batu di tepi pantai. Di situ ia melihat seorang pemburu tua yang menanyakan permasalahannya. Lalu, Isis pun menceritakannya. Pemburu itu memberitahukan bahwa ombak laut telah melemparkan peti itu ke tengah belukar pohon inai. Belukar itu tumbuh menjadi sangat lebat dan aneh. Peti itu tersembunyi di tengah tangkai pohon inai yang sangat besar.
Pada suatu hari, raja negeri ini melewati pohon itu dan terheran-heran karena ketinggian dan kelebatannya. Ia lalu memerintahkan supaya menebang pohon tersebut, lalu menjadikan tangkai pohon itu sebagai salah satu pilar yang menyangga atap istana.
Begitu Isis mengetahui hal ini, ia bangkit menuju istana dimaksud, tetapi ia tak berani merusaknya. Ia lalu duduk di samping sumber air hingga datang waktu sore. Di sore itu para puteri raja keluar untuk berjalan-jalan. Mereka melihat Isis yang tengah duduk, lalu mendekatinya dan berbincang kepadanya. Isis pun berlaku baik kepada mereka. Dengan kedua tangannya ia mengepang rambut puteri-puteri raja itu dan mengaromai mereka dengan hembusan nafasnya. Nafas Isis menebarkan aroma bunga dan wewangian, lebih wangi dari aroma bunga dan wewangian.
Lalu, para puteri raja itu pun kembali ke istana. Ibu Ratu heran dengan aroma yang keluar dari ikatan rambut dan baju mereka. Para puteri itu pun menceritakan tentang seorang perempuan asing yang cantik yang duduk di dekat sumber air. Sang Ratu lalu memerintahkan supaya mengundang perempuan asing itu ke istana dan menjamunya. Sang Ratu meminta Isis agar mau menjadi ibu susuan Sang Pangeran yang masih kecil. Saat itu Isis mengatakan jati diri yang sebenarnya dan menceritakan kisahnya. Lalu ia pun memohon supaya mereka berkenan memberikan pilar yang dimaksud.
Keluarga kerajaan merasa tersentuh dan simpati kepadanya. Meraka pun lalu membelah tangkai dan mengeluarkan peti dari dalamnya. Begitu melihat peti, Isis pun melihat jasad sang suami yang berada di dalamnya sehingga ia tak kuasa menahan ratapannya. Isis mengeluarkan ratapan dari dalam dadanya, seperti nyala api yang keluar dari tengah-tengah gunung berapi.
Isis kemudian membawa peti itu kembali, mengarungi samodera menuju negeri Mesir. Di negerinya, Isis membuka peti dan menangis pilu di atas jasad sang suami. Ia lalu menyembunyikan peti beserta isinya untuk menyiapkan upacara ritual jenazah dan penguburan. Namun mata jahat kembali terbuka. Set berhasil menemukan peti itu. Ia murka dan amarah menguasainya. Set mengeluarkan jasad Osiris dari dalam peti dan memotongnya menjadi empat belas bagian lalu menyebarnya ke sepanjang dan selebar negeri.
Isis mengetahui bencana baru ini. Ia pun bangkit kembali, mengikuti jejak suaminya dengan menggunakan perahu dari hutan papirus. Dengan perahu ini ia mengelilingi sungai Nil mencari potongan-potongan tubuh sang suami yang tercinta, ke semua tempat. Ia terus mencarinya selama bertahun-tahun tanpa pernah merasa bosan maupun jemu. Setiap menemukan potongan atau bagian dari anggota tubuh sang suami, Isis langsung menguburkannya di tempat itu dan membuatkan sebuah obelisk. Mungkin inilah rahasianya mengapa Osiris memiliki beberapa kuburan di Mesir.
Begitulah yang dilakukan Isis, sang isteri! Dan, begitulah yang akan kau lakukan jika kau berada di tempatnya. Karena kau, wahai sahabatku yang agung memiliki hati yang sama dengan hatinya. Sekejap pun aku tak pernah meragukan hal ini! Hati yang sama yang telah menumbuhkan semua rasa cinta dan kesetiaan ini.
Sore, 19 Maret …
Sahabatku!
Tak henti-hentinya aku mencela diriku sendiri karena perlakuanku kepada dirimu. Bagaimana aku bisa buta hingga tak melihat bahwa dengan kedatanganmu saja telah mampu menciptakan suasana yang menyenangkan?!Adanya keinginan untuk mendekati seorang lelaki yang hidup menyendiri bersama bukunya, itu saja sudah menunjukkan kemuliaan seorang perempuan!
Sungguh bukan hal yang mudah bagi para perempuan untuk mau bersahabat dengan seorang yang hidup seperti diriku! Dan sungguh mengherankan, karena dirimu tak sesaat pun merasa jemu bersamaku. Bahkan, malah aku yang tak memiliki kesabaran dan ketelatenan, sehingga buru-buru memutuskan hubungan indah yang tiada bandingnya ini. Kini, aku telah menghalangi diriku sendiri—seperti yang kau lihat—dari satu-satunya kebaikan yang berani memasuki ruanganku yang berdebu buku. Ini, dengan tanganku sendiri, aku telah menutup jendela hidupku dari sinarmu. Seandainya kau tahu kegelapan macam apa yang kini tengah kujalani!
Bayangkan! Jika tiba-tiba pada suatu hari rembulan terpisah dari bumi ini. Rembulan itu melayang di angkasa sampai akhirnya menemukan planet lain yang menarik dirinya dan meninggalkan kita tanpa cahayanya, untuk selama-lamanya! Akan seperti apakah kehidupan di atas bumi kita?! Jika kita bisa hidup setelah itu, percayalah, tentu itu adalah kehidupan tanpa keindahan, tanpa cinta dan tanpa perasaan! Lantas apa artinya kehidupan semacam ini?! Tahukah dirimu sekarang, apa yang telah hilang dariku dengan kehilangan dirimu?!
Pagi, 21 Maret …
Sahabatku!…
Keberanianmu mengenal diriku masih membuatku terheran-heran. Begitu pula kesabaranmu dengan ucapan-ucapanku. Ketika kubuka-buka kembali masalah ini, aku benar-benar menemukan sebuah keajaiban! Sangat jarang ada perempuan yang sanggup hidup bersama seorang lelaki yang hidup dalam dunia pemikiran. Karena itu, perempuan semacam itu pantas menjadi sosok yang diagungkan, seperti beberapa kisah yang telah kuceritakan kepadamu! Tetapi, aku masih ingin menceritakan seorang perempuan lagi, yang pasti sudah kau kenal. Bahkan yang kau jadikan teladan suci!
Iya, itulah dia. Khadijah isteri Nabi dari Arab. Bayangannya selalu muncul di kepalaku dan tak pernah meninggalkan benakku saat aku memikirkan seorang isteri teladan. Dialah perempuan yang memilih seorang suami yang sibuk dalam medan perjuangan. Dialah perempuan yang mendampingi sang suami di saat-saat kekalahan dan kemenangan, keputus-asaan dan harapan! Dialah perempuan yang menyangga punggung suaminya, ikut mendapatkan hantaman dan ikut tak bisa mendapatkan tidur pada malam-malamnya. Ia isteri yang ikut berlumuran darah bersamanya. Ia yang membalut luka-lukanya, memberikan diri dan kekayaannya untuk sang suami. Hingga akhirnya mendapat kemenangan!
Demikianlah yang dilakukan Khadijah. Ia memikul banyak beban di pundaknya, bahkan cinta yang pertama kali ditanggungnya di dalam hati! Lalu mempersembahkannya kepada Muhammad yang kemudian menyambut cinta itu dan ikut berbagi menanggungnya.
Sebelum mengenal Khadijah, hati Muhammad tak pernah mengenal cinta. Kehidupannya—sampai usia 25 tahun—adalah kehidupan seorang pemuda yang tenang, jauh dari perempuan. Ia tenggelam dalam kesibukannya, menggembala kambing di padang pasir, hanyut dalam perenungan yang mendalam. Tak ada tempat bagi dunia hiburan dan perempuan—sampai waktu itu—dalam perhatian atau pemikirannya. Ia berpantang mutlak. Itulah ciri-cirinya secara umum saat itu. Muhammad hidup dalam perilaku asketik, mengikuti ilmu, sabar dan rendah hati. Itulah yang membedakannya dengan pemuda-pemuda lain. Dan karena itulah kaumnya menyebutnya dengan nama al-amin, yaitu orang yang lurus!
Jika dunia hiburan dan perempuan tak pernah ada dalam perhatian Muhammad muda, lantas apakah yang menyibukkan benaknya pada usia tersebut? Apakah di dalam dirinya ia telah merasakan keagungan jalan takdirnya? Hal itu tak perlu diragukan! Begitulah selalu yang menjadi keadaan mayoritas orang yang dinantikan takdir agung. Sejak pertumbuhannya, mereka telah memiliki teladan dan impian luhur yang memenuhi masa mudanya, menggantikan tempat untuk bersenang-senang dan bergurau! Setiap pemuda hidup bersama bayangan seorang perempuan cantik, kecuali pemuda yang ditakdirkan membawa risalah agung. Ia akan selalu hidup bersama bayangan keagungan yang menunggunya itu!
Mungkin hal ini bisa memberi sedikit penjelasan tentang kehidupan pemuda Muhammad sampai pada usia pertemuannya pertama kali dengan perempuan yang dicintainya, Khadijah! Dan siapa yang tahu, apa yang akan terjadi seandainya Khadijah tidak memulai dengan cintanya?! Segala sesuatunya menunjukkan bahwa masalah perkawinan tak pernah hinggap di dalam benak Muhammad. Isteri dan perempuan adalah hal paling terakhir yang dipikirkannya saat itu. Ia terus berada pada jalan perenungan batin dan impian-impian luhurnya, seakan-akan ia sedang tak berjalan di atas bumi ini. Sampai suatu hari Khadijah memperhatikannya dan menyentuh bahunya. Ia lalu sedikit tersadar dan menatapnya!
Hal ini sungguh menarik karena berasal dari seorang perempuan seperti Khadijah. Seorang perempuan yang memiliki kedudukan tinggi dan harta kekayaan yang melimpah. Ia yang mengambil langkah pertama menuju seorang lelaki miskin dan yatim! Khadijah adalah perempuan yang telah dipinang oleh lelaki-lelaki Quraisy yang paling bagus garis nasabnya, paling terhormat kedudukannya, dan paling kaya. Mereka telah meminang Khadijah dengan iming-iming segala macam kekayaan yang akan diberikan. Tapi, Khadijah tak meliriknya. Khadijah malah mengirim pembantunya, Nafisah untuk mencari tahu tentang seorang pemuda Muhammad. Ia malah membukakan tangan untuknya dan menikahinya.
Khadijah telah ikut melihat kebimbangan Muhammad, kecemasan, derita dan kesengsaraannya! Ia telah melihatnya masuk kepada dirinya dalam keadaan gemetar ketakutan sambil berkata, “Selimuti aku, selimuti aku!”
Khadijah pun menyelimutinya dengan penuh perhatian. Lalu, dengan cemas ia mengatakan, “Bermurah-hatilah kepadaku! Beritahukan, ada apa denganmu!” tanyanya.
“Aku, jika aku menyendiri, aku mendengar seruan dari belakangku: Hai Muhammad! Hai Muhammad! Aku pun lari terbirit-birit! Aku takut pada diriku! Aku melihat sinar dan mendengar suara! Aku benar-benar takut kalau aku menjadi seorang dukun, Khadijah! Demi Allah, tak ada sesuatu pun yang membuatku marah seperti kemarahanku pada berhala-berhala dan para dukun itu!” jawab Muhammad.
“Tenangkan dirimu! Demi Allah, selamanya Allah tidak akan pernah merendahkanmu. Allah tidak akan pernah melakukan hal itu kepadamu, selamanya! Kau orang yang menghubungkan tali persaudaraan. Kau orang yang mengatakan kebenaran. Kau orang yang menyampaikan amanat. Budi pekertimu benar-benar mulia!” kata Khadijah menghiburnya.
Dengan ucapan-ucapannya itu, Khadijah telah meringankan Muhammad. Ia tak mengejeknya sebagaimana orang-orang dari kaumnya mengejek. Kaumnya telah mengolok-olok dan membodohkan suaminya. Mereka menyakiti dan melempari kepalanya dengan debu! Bahkan Khadijah mengimani dan membenarkannya di saat tak seorang pun menanggapi ucapan-ucapannya dengan serius!
Pada suatu hari sang suami datang kepada sang isteri dengan gemetar. Ia memberitahukan bahwa dirinya melihat malaikat turun dari langit dan berbicara kepadanya. Ia mendengar suaranya! Namun ia tak tahu apakah ia benar-benar malaikat ataukah setan?! Sang isteri ingin membuang keraguan sang suami dan menggantinya dengan keyakinan. “Jika sahabatmu itu datang, ia yang telah mendatangimu itu, beritahulah aku!” pinta Khadijah.
Ketika Jibril datang kepadanya, Muhammad pun memberitahu Khadijah. Khadijah lalu melepas kerudung yang menutupi dirinya, lalu bertanya, “Apakah sekarang kau masih melihatnya?”
Muhammad melihat ke arah Jibril dan tak menemukannya lagi. “Tidak!” jawabnya.
Khadijah pun berteriak gembira, “Berkukuhlah dan bergembiralah! Demi Allah, ia malaikat. Ia bukan setan. Karena kalau setan, ia tak akan malu melihatku!”
Demikianlah Khadijah berada di sisi suaminya. Ia mengusir keraguan sang suami dan mengimani risalahnya; sampai akhir hayatnya!
Ketika musuh-musuh Muhammad mengetahui kedekatan ajal Khadijah, mereka berbisik-bisik gembira, “Khadijah sedang sekarat!”
Dan Abu Lahab, musuh terbesar Nabi Muhammad tak bisa menyembunyikan kegirangannya itu. Ia pun berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Tentu, sebentar lagi perempuan yang menyokong Muhammad itu akan pergi!”
Khadijah pun melepaskan nyawanya yang telah menjadi sumber cinta itu! Itulah Khadijah, perempuan yang dengan kekuatan dan keagungan cintanya mampu membuka hati Muhammad dan memenuhi hari-hari yang dijalaninya. Bahkan cinta ini tak pernah padam dengan kematian Khadijah. Cinta itu tetap kokoh berada di dalam sebuah relung di hati Muhammad, selamanya. Tak ada perempuan lain yang bisa menyandinginya, bahkan Aisyah, wanita yang paling dicintai Muhammad setelah itu! Aisyah tak bisa menggantikan tempat keberadaan Khadijah di dalam hatinya.
Suatu hari cinta Nabi kepada Khadijah yang sangat besar itu telah membuat Aisyah cemburu. Lalu dengan manja ia berkata kepada Nabi, “Bukankah aku isterimu yang paling baik?!”
“Lantas Khadijah?!” jawab Nabi segera.
“Masih saja kau mengingat perempuan tua berpipi merah yang telah hancur dimakan zaman itu! Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik untukmu!”
Aisyah tak sadar mengucapkan hal itu. Ia tak menyadari pedasnya ucapan tadi, kecuali setelah melihat raut kemarahan pada muka Muhammad. Sama sekali ia tak pernah melihat Muhammad marah seperti saat itu. Muhammad langsung bangkit dan meninggalkan tempatnya sambil berkata, “Demi Allah, aku tak mendapatkan ganti yang lebih baik darinya. Ia mengimaniku saat semua orang mendustakanku. Ia menopangku dengan kekayaan saat semua orang mengekang hartanya untukku!”
Aisyah memendam kemarahannya di dalam dada sambil berbisik, “Seakan-akan tak ada perempuan lain di atas bumi ini, selain Khadijah!”
Sungguh, Aisyah benar. Iya! Tak ada perempuan di atas bumi ini yang seperti Khadijah, kecuali hanya segelintir saja. Perempuan yang langka adalah pemberian Allah yang paling agung!
Aahh… sahabatku yang baik! Jika mereka bertanya kepadaku tentang dirimu, pasti aku akan menjawab, saat ini duniaku hanyalah dirimu!
Petang, 22 April …
Sahabatku!…
Entah berapa harga yang harus kubayar untuk sebuah gambarmu! Gambarmu akan kupasang di dalam sebuah bingkai yang mahal dan kuletakkan di sini, di atas mejaku. Akan kupandangi setiap pagi dan sore. Tapi, tidak! Meskipun seandainya aku memiliki gambarmu, aku tak punya hak meletakkannya seperti itu!
Semua yang bisa kumiliki darimu hanyalah meletakkannya di dalam hatiku. Di mana tak seorang pun akan melihatnya, dan tak ada kekuatan mana pun yang bisa mengambilnya dari situ. Sekarang, ijinkan aku meletakkan pena agar tak mengganggumu dengan perkataan-perkataan yang panjang. Aku sedang berada di balkon, duduk di kegelapan malam yang indah ini, diam memikirkan dirimu!…
Pagi, 23 Mei…
Sahabatku!…
Beginikah?! Aku ditakdirkan tak mendengar kabar apa pun tentang dirimu! Sementara kau bisa mengetahui keadaanku, paling tidak, melalui tulisan tentang diriku yang dimuat di surat kabar. Pemikiran semacam ini terbersit di dalam benakku setiap aku membaca berita dan majalah-majalah dengan tatapan mataku yang terus mencari.
Sekarang aku merenung lama setiap membaca berita yang menyangkut diriku, atau perkataan yang dinisbatkan kepadaku. Aku teringat, kau akan membaca hal itu sehingga aku menjadi malu!
Oh, Sahabat! Maafkan aku! Tentu saja, aku bukan orang yang penting bagimu. Apalah artinya diriku yang selalu mengucapkan perkataan-perkataan tolol dan melakukan tindakan-tindakan bodoh di hadapan seorang wanita mulia, yang hanya diketahui kebaikannya oleh semua orang!
Aahh… kalau saja aku bisa meyakinkanmu untuk sedikit berbaik sangka kepadaku! Percayalah di sana terdapat perbedaan besar antara hakikat diriku yang tersembunyi dengan diriku yang tampak di hadapan orang banyak. Aku bersumpah kepadamu, diriku yang tersembunyi jauh lebih baik dibandingkan diriku yang tampak. Karena yang tak tampak adalah milikku dan buatanku sendiri, sementara yang tampak adalah milik orang banyak dan buatan keadaan! Aku bukan seorang aktor dan tak pernah berusaha berakting untuk membuat penampakan yang mempesona di hadapan orang banyak. Bahkan kubiarkan mereka dengan sesuka hati membuatkan baju untukku, tanpa pernah kupedulikan ketidakcocokannya dengan kenyataan yang kujalani di dalam diriku!
Percayalah, di dalam diriku, aku menjalani kehidupan bersih, tinggi dan suci. Namun ketika aku keluar ke hadapan orang banyak, kumatikan sinar-sinar itu dari diriku, dan hilanglah dunia mempesona yang kujalani. Lalu aku muncul dengan baju yang menggelikan, yang aku sendiri tidak tahu bagaimana aku bisa memakainya?!
Terkadang aku heran kepada mereka yang memiliki kekuatan menipu orang lain. Mereka muncul di hadapan orang banyak dalam bungkus baju orang-orang suci. Sementara di dalam dirinya, mereka adalah orang yang paling bejat dan gila! Sedangkan aku, aku terkadang tampak seperti orang konyol yang suka bercanda dan selalu tersenyum di hadapan orang lain, padahal di dalamnya, aku adalah kesungguhan dan kedisiplinan! Aku adalah orang yang tulus kepada dirinya sendiri, dan titik. Bagiku, tak penting lagi orang lain setelah itu! Segala sesuatu yang ada di dasar jiwaku adalah penting bagiku, adapun buih yang mengapung di permukaan dan yang tampak di kulit, tak pernah kupedulikan. Sampai cintaku kepadamu, siapa yang percaya bahwa cintaku itu ada, hidup dan eksis?!
Aahh, andai saja orang-orang itu tahu bahwa aku sedang jatuh cinta! Tak seorang pun yang bisa melihat cintaku yang berkilau seperti mutiara di dasar jiwaku itu! Bahkan, dirimu pun tidak!
* * *
Demikianlah, Pendeta Pemikiran terus menulis surat semacam itu. Hingga memasuki musim panas. Selama musim panas Pendeta Pemikiran berlibur ke pantai. Kemudian datang musim gugur! Sang Pendeta kembali ke Cairo dengan tetap serius pada surat-surat dan bayangan Sang Isteri. Ia tak pernah pupus atau lupa dari sosoknya. Lalu, musim dingin tahun berikutnya pun datang!
Setahun telah berlalu sejak kunjungan pertama Sang Isteri kepada dirinya. Sang Pendeta masih tetap dengan keadaannya. Tak berubah! Ia terus menulis surat kepada bayangannya dan menumpuk surat-surat itu. Surat di atas surat.
Sang Pendeta tak pernah mendengar kabar Sang Isteri atau berpapasan dengannya di jalan. Ia berharap, suatu hari takdir akan mempertemukannya dengan Sang Isteri. Bahkan di dalam dirinya ia telah berharap agar bisa melihatnya di tempat liburan musim panas, di Alexandria. Atau, secara kebetulan melihatnya di suatu tempat. Tapi, kebetulan itu enggan datang dan takdir juga menolaknya!
Meskipun begitu, di dalam hatinya Sang Pendeta merasa pasti akan bertemu dengannya, pada suatu hari nanti! Karena mustahil segala sesuatu telah berakhir begitu saja di antara mereka berdua dengan seperti itu! Namun ini hanya perasaan batinnya, tak lebih dan tak kurang. Ini adalah perasaan yang biasa hinggap di setiap hati yang tengah mencari kekasihnya yang berada jauh. Ia adalah desah harapan yang tak pernah mati dan tak mungkin mati di dalam diri manusia!
* * *