MLM/NETWORK MARKETING YANG HALAL

MLM/NETWORK MARKETING YANG HALAL
Oleh : Shocheh Ha.

Dengan adanya fatwa haram bagi Network Marketing QNET (fatwa lihat disini) yang telah dikeluarkan oleh Bagian Fatwa Darul Ifta’ Mesir, apakah itu berarti semua jenis Network Marketing menjadi haram hukumnya ataukah itu hanya terbatas pada QNET dan yang sama persis dengannya? Berikut uraiannya:

Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Dar Ifta’ Mesir kita membaca: “Dan realitanya menunjukkan bahwa tidak hanya ada satu macam praktik Network Marketing baik dalam detail maupun bentuknya, meskipun memiliki ciri-ciri dasar yang sama. Sementara hukum syariat dalam masalah ini harus diberikan berdasarkan realita dan detail yang spesifik (partikular) sesuai realita dan detailnya itu sendiri.

Pernyataan tersebut menunjukkan: terdapat banyak macam praktik Network Marketing yang berbeda-beda, meskipun memiliki ciri-ciri dasar yang sama.

Pernyataan tersebut juga menunjukkan: hukum yang diberikan haruslah berdasarkan realita dan detail yang spesifik. Artinya, fatwa hanya berlaku untuk kasus yang telah ditanyakan atau yang sama persis dengan yang telah ditanyakan, dan tidak bisa digunakan untuk menghukumi praktik-praktik lain yang berbeda dengan yang telah ditanyakan. Apalagi jika praktik-praktik lain itu memiliki perbedaan dalam empat sisinya, yaitu: tempat, persona, waktu dan keadaannya.

Hanya perbedaan tempat saja, misalnya Mesir dan Indonesia, bisa menyebabkan perbedaan fatwa. Perbedaan persona juga begitu, misalnya QNET dan Oriflame, tentu tidak bisa langsung disamakan begitu saja. Begitu pula perbedaan-perbedaan waktu dan keadaannya. Pada saat dikeluarkannya fatwa pada tahun 2011 bisa jadi keadaan QNET seperti itu, tetapi pada tahun berikutnya bisa saja keadaannya berubah menjadi lebih adil dan lebih sesuai syariat, maka dengan sendirinya fatwa sebelumnya menjadi tidak relevan dan perlu perubahan. Itulah yang bisa dipahami dari pernyataan Bagian Fatwa yang berbunyi: “… seorang Mufti hendaknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan guna menelisik empat sisi permasalahan. Dimana, ketika terjadi perbedaan sisi maka hasil fatwa pun menjadi berbeda. Empat sisi ini sering bercampur-aduk dalam uraian seorang penanya/peminta fatwa. Keempat sisi tersebut adalah: waktu, tempat, persona, dan kaadaan. Begitu pula seorang Mufti hendaknya menegaskan keterkaitan permasalahan dengan individu (fard) dan dengan komunitas (jama`ah), sebab dengan adanya perbedaan keterkaitan atas persona-persona tersebut fatwa pun menjadi berbeda.

Dan dari fatwa mengenai praktik Bisnis Jaringan QNET tersebut, kita mengetahui alasan-alasan keharamannya, yaitu:

1. Tidak terdapat perlindungan hukum dan perlindungan ekonomi bagi “Pembeli-Pemasar”.
2. Komuditas yang dipasarkan terbukti sebagai formalitas belaka sehingga komuditas ini tidak lebih sebagai sarana keikutsertaan dalam sistem bukan tujuan pembelian ataupun komuditas yang benar-benar diperlukan.
3. Karena kekacauan yang ditimbulkannya terhadap sistem kerja konvensional telah menjadi realita rumit yang bisa dirasakan yang memerlukan penyelesaian riil dan tegas.
4. Melanggar syarat keabsahan transaksi.

Maka, jika alasan-alasan tersebut tidak ada, atau poin yang menjadi alasan-alasan tersebut telah berubah niscaya hukumnya pun berbeda atau ikut berubah. Inilah yang berlaku dalam memahami hukum seperti ditunjukkan oleh kaidah ushul fiqh “anna ‘l-hukma yaduru ma`a al-`illati wujudan wa `adaman”.

Selain itu, Indonesia bukan Mesir sehingga ada perbedaan tempat disini. Dan perbedaan ini bukan tidak memiliki makna, bahkan dengan perbedaan ini menjadikan kesimpulan hukumnya menjadi berbeda. Karena Indonesia telah memiliki apa yang belum dimiliki Mesir pada saat itu. Misalnya poin-poin yang menjadi alasan pengharaman di atas, sebagian besar bisa diselesaikan dengan apa yang telah dimiliki Indonesia dalam rupa perangkat undang-undang dan peraturan.

Pada poin pertama yang menjadi alasan keharamannya, misalnya: “Tidak terdapat perlindungan hukum dan perlindungan ekonomi bagi ‘Pembeli-Pemasar’”.

Sementara di Indonesia perlindungan itu sudah ada sejak tahun 2008 dalam bentuk Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32/M-DAG/PER/8/2008; dan saat ini dikuatkan lagi dengan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan (pasal 7-11). Detailnya silakan lihat disini dan disini.

Poin kedua: “Komuditas yang dipasarkan terbukti sebagai formalitas belaka, sehingga komuditas ini tidak lebih sebagai sarana keikutsertaan dalam sistem bukan tujuan pembelian ataupun komuditas yang benar-benar diperlukan.

Ini adalah tugas setiap orang yang ingin sukses berkecimpung di dalam suatu bisnis, tak terkecuali Network Marketing atau MLM, secara legal dan halal; yaitu memilih perusahaan yang produk-produknya boleh dijual secara syariat dan konsumen benar-benar memerlukannya. Bukan asal ada produk. Dalam hal ini ia bisa memulai dengan mengumpulkan berbagai informasi mengenai produk dan perusahaannya. Selalu memulai dengan pengetahuan merupakan salah satu kunci keselamatan dan keberhasilan, seperti ungkapan “… fa `alaihi bil `ilmi”. Informasi atau pengetahuan tersebut bisa diperoleh dari pihak-pihak yang konsen mengenainya. Kaitannya dengan direct selling atau direct marketing atau network marketing atau multilevel marketing informasinya bisa diperoleh, diantaranya melalui Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia, APLI atau dari Direct Selling Association, DSA internasional.

Poin ketiga, “Karena kekacauan yang ditimbulkannya terhadap sistem kerja konvensional telah menjadi realita rumit yang bisa dirasakan yang memerlukan penyelesaian riil dan tegas.”

Jika ada aturan dan aturan itu dilaksanakan dan ditegakkan secara benar maka dengan sendirinya kekacauan itu akan terminimalisir kalau tak hilang sama sekali.

Poin keempat, “Melanggar syarat keabsahan transaksi.

Syarat keabsahan transaksi baru:

Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar suatu praktik transaki baru legal dalam pandangan syariat, yaitu:

1. Menjaga keseimbangan pasar. Keseimbangan pasar merupakan syarat yang demi mewujudkannya, Syariat yang mulia mengharamkan monopoli dan mengharamkan penyongsongan kafilah niaga; yang mana praktik ini bisa memberikan dampak negatif pada pasar.

Dengan adanya perundang-undangan yang mengatur dan dilaksanakan dengan semestinya maka keseimbangan pasar akan tetap terjaga. Selain itu, monopoli dan penyongsongan kafilah niaga bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa harus berupa Network Marketing atau MLM. Bahkan jika yang menjalankan Network Marketing itu adalah perusahaan yang memproduksi sendiri barang-barangnya maka alasan monopoli dan penyongsongan kafilah niaga menjadi tidak relevan. Belum lagi larangan monopoli hanya berlaku pada komuditas-komuditas pokok dan penting bagi kelangsungan hidup manusia, bukan pada semua jenis komuditas. Ditambah lagi dengan maksud dari Direct Marketing adalah untuk memangkas jalur distribusi, yaitu para wusatha’ atau para agen dan distributor besar yang bisa mempermainkan harga pasar, maka penyongsongan kafilah niaga tidak sejalan dengan makna dari Direct Marketing itu sendiri. Sehingga alasan penyongsongan kafilah niaga untuk mengharamkan bisnis Network Marketing atau MLM lebih banyak tidak relevannya, kecuali pada perusahaan-perusahaan yang pada hakikatnya merupakan wusatha’ belaka, yaitu perusahaan perantara atau distributor, bukan produsen.

2. Terwujudnya kemaslahatan kedua belah pihak. Sementara dalam bisnis ini, kemaslahatan “Pembeli-Pemasar” secara nyata rasio resikonya lebih besar dikarenakan sulitnya merealisasikan syarat untuk mendapatkan insentif/pendapatan dari pemasaran.

Hal ini termasuk yang harus dicermati oleh setiap orang yang ingin berkecimpung di dalam bisnis ini; apakah plan-nya adil dan bisa dilaksanakan dengan resiko yang wajar, apakah sesuai kemampuan dirinya, dan hal-hal lainnya yang perlu dipertimbangkan dan dipilih secara bijaksana. Karena jika resikonya terlalu besar dan plan-nya tidak adil, tentu dirinya sendiri yang akan dirugikan dan menderita.

Tidak tersedianya perlindungan bagi pihak yang menjalankan bisnis ini dari aspek ekonomi dan hukum. Hal ini menjadikan “Pembeli-Pemasar” menghadapi risiko besar akibat tidak adanya perundang-undangan yang mengatur hubungan-hubungan antara perusahaan penjual dengan pembeli. Pembeli tidak memiliki payung hukum yang menjaminnya bisa mengklaim atas haknya terhadap perusahaan dan memperkarakannya di pengadilan jika perlu demi mengambil haknya. “Pembeli-Pemasar” boleh jadi telah membanting tulang, menghabiskan banyak waktu dan tenaga serta bersusah payah dalam melakukan pemasaran produk, ia melakukan itu karena janji perusahaan yang akan memberi imbalan atas usaha keras ini dengan syarat yang telah disepakati, namun pada hakikatnya tidak ada payung hukum yang menjamin terpenuhinya hal itu.

Untuk di Indonesia perlindungan itu sudah ada dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan No. 32/M-DAG/PER/8/2008 dan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Lihat di sini dan di sini.

Sistem yang dipakai oleh bisnis ini bisa dikatakan hanya merupakan sarana mendapat kekayaan secara cepat, tidak lebih.

Selain tidak ada dalil yang melarang mendapatkan kekayaan secara cepat atau lambat—karena yang terpenting adalah usaha yang dilakukannya benar sesuai tuntunan syariat—juga plan dalam sistem ini tentulah dibuat berdasarkan hitungan bisnis yang matang sesuai tahapan-tahapan yang ada. Ketika ada tahapan berarti itu diraih secara normal dan wajar berdasarkan tahapan yang dicapainya, bukan secara tiba-tiba dan mengejutkan. Kemudian seseorang akan mendapatkan kekayaan sedikit atau banyak itu sangat tergantung pada kesungguhan dan prestasinya serta takdir yang Maha Kuasa karena rezeki sudah ditentukan oleh-Nya.

Dan realitanya, kekayaan atau jabatan bisa diraih dengan cepat atau lambat dalam sistem apa pun yang adil dan menggunakan persaingan yang sehat, itu tergantung pada kesungguhan dan prestasi kerjanya dan tentu saja takdir dari-Nya. Jadi, alasan ini tidak bisa digunakan untuk mengharamkan praktik bisnis ini, mungkin sebagai pertimbangan etis saja jika memang kaya secara cepat dianggap tidak etis.

Dengan kenyataan-kenyataan tersebut bisa disimpulkan bahwa adanya regulasi pemerintah yang mengatur dan melindungi para pelaku bisnis serta konsumen telah bisa menyelesaikan sebagian dari persoalan halal dan haram dalam masalah muamalah ini. Dan sebagiannya lagi tinggal mengkaji dari dalil-dalil syariat yang dalam hal ini berlaku kaidah “al-ashlu fil mu`amalat lil ibahah illa ma dalla `alaihi dalil `ala tahrimih”.

Dan dengan adanya regulasi yang diperlukan untuk masalah ini dalam perundang-undangan Indonesia, maka lebih tepat untuk mengikuti fatwa Darul Ifta’ Mesir yang sebelumnya, yaitu yang menghalalkan bisnis Network Marketing dengan syarat bersihnya transaksi dari aib-aib dan risiko-risiko seperti yang disebutkan dalam fatwa terbarunya. wallahu a`lam.

Untuk mengetahui lebih lanjut perbedaan antara Direct Selling dalam Network Marketing dan Direct Selling dalam Pyramid Marketing silakan lihat di sini: http://www.apli.or.id/perbedaan-direct-selling-dan-piramida/

Tertarik mengikuti bisnis Network Marketing/MLM?! Saya merekomendasikan yang ini jika Anda bergender pria atau yang ini jika Anda berjender wanita.

Baca juga: Bisnis Jaringan QNET Haram

***

Tinggalkan komentar