Monthly Archives: Februari 2014

7 – PERPISAHAN

-7-
Perpisahan

Hari-hari berlalu setelah kepergian perempuan cantik itu, dan Pendeta Pemikiran kembali sibuk dengan rutinitas pekerjaannya. Ia tak terlalu memikirkan perempuan itu dan tak mempedulikan permasalahannya. Di dalam dirinya, Sang Pendeta beranggapan, pasti ia akan kembali lagi setelah seminggu, seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi hari yang disepakati itu tiba, dan ia tak datang. Ada sedikit kecemasan menghinggapi hati Sang Pendeta, namun segera sirna. Ia teringat perempuan itu kadang melanggar hari yang telah disepakati. Kali ini, barangkali—karena telah pergi dengan agak tersinggung—ia ingin menunjukkan kejengkelannya, dengan cara menunda kedatangan. Ia tak akan terlambat minggu depan. Tapi, minggu depan telah tiba, dan ia tetap tak datang.

Di sini, Sang Pendeta mulai memikirkan perempuan itu dalam rupa yang baru yang tak pernah terlihat sebelumnya. Hari-hari terus berlalu dan Pendeta Pemikiran mulai berperilaku aneh. Mungkin pembantunya menyadari keadaannya itu. Tak satu pun ketukan pintu yang tak ditanyakan pengetuknya oleh sang majikan. Padahal sebelumnya, tak sedikit pun ia akan mengangkat kepala dari buku-buku dan kertasnya, meski pintu akan roboh dengan ketukan!

Bahkan dari waktu ke waktu sang majikan ini berteriak. “Buka pintunya! Aku mendengar seperti ada yang mengetuk pintu!” Sang pembantu pun membuka pintu, namun ia tak menjumpai siapa-siapa.

Adapun dering telepon, Sang Pendeta akan buru-buru menerimanya sendiri, mengangkat gagang telepon, dan tak lama kemudian membantingnya dengan putus asa. Ia tak lagi membaca surat-surat paginya dengan seantusias dulu. Ia hanya menyortir surat-surat itu dengan cepat, mencari tulisan tertentu dengan tatapan penuh harap. Ia membuka surat-surat itu dengan tergesa-gesa, berharap bisa menemukan surat yang dimaksudnya!

Sang Pendeta terus berperilaku seperti itu selama beberapa hari berikutnya. Ia tak melakukan apa-apa, selain menunggunya. Menunggu Sang Isteri. Mengapa ia tak kembali? Bagaimana ia melewatkan minggu-minggu ini tanpa datang? Apa yang menghalanginya datang?

Tak henti-hentinya Sang Pendeta menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu kepada dirinya sendiri. Pandangannya tak pernah meninggalkan pintu, rindu pada bayangannya. Telinganya terpasang baik-baik mendengarkan dering telepon, menghasratkan suaranya. Apakah Sang Pendeta lupa bahwa dirinya telah menginginkannya pergi, untuk tidak kembali? Apakah ia benar-benar telah meminta hal itu kepada Sang Isteri? Apakah ia bersungguh-sungguh dalam permintaannya itu? Alangkah anehnya! Apakah Pendeta Pemikiran telah gila sehingga menginginkan Sang Isteri pergi, tetapi masih mencari dan menanyakannya? Tetapi, memang ia melakukan hal itu. Sungguh malang!

Iya. Sekarang ia teringat segalanya. Ia telah membuat Sang Isteri memahami bahwa tak ada alasan lagi bagi kunjungan-kunjungannya. Dirinya meninggalkan Sang Isteri dan berpaling pada kesibukannya sendiri, sementara Sang Isteri menunggu ucapan lembut darinya sampai putus asa. Lalu ia pergi! Ungkapan terakhir yang didengar darinya adalah bisik lirih perpisahan, lalu disambung dengan satu kalimat, “Terima kasih!”

Sekarang, bagaimana bisa Sang Pendeta mengharapkan kedatangan Sang Isteri setelah semua itu?! Dan mustahil ia akan bisa melacaknya sekarang. Ia tak tahu namanya, dan sama sekali tak pernah berusaha menanyakan tempat tinggalnya! Ia juga tak tahu nama suaminya. Sang Suami pasti telah menyebutkan namanya saat datang berkunjung. Tetapi, seperti kebiasaannya, telinga Sang Pendeta tak pernah memperhatikan nama-nama yang diucapkan. Ingatannya juga tak mau menyimpan nama-nama itu, kecuali jika memang ada hubungan erat antara dirinya dengan pemilik nama. Dalam keadaan seperti ini, ia tak pernah mengira bahwa suatu hari akan sangat membutuhkan nama Sang Isteri atau Sang Suami.

Berarti Sang Isteri telah pergi tanpa ada harapan kembali. Berarti ini adalah perpisahan tanpa pertemuan lagi. Sang Pendeta telah menyia-nyiakannya begitu saja, seperti menyia-nyiakan bola tenis dengan pukulan yang ngawur! Bukankah pada suatu hari ia pernah mengatakan bahwa dalam pandangan takdir, tak lain Sang Isteri hanyalah sebuah bola tenis dan dirinya sebuah raket yang digunakan berdasarkan tujuannya? Lantas, mengapa takdir yang baku itu menginginkan raket memukul bola semacam ini, sehingga tak lagi bisa diketahui dimana letak dan posisi bolanya?! Benarkah takdir yang telah menginginkan itu, ataukah itu hanya merupakan kebodohannya belaka?

Sang Isteri adalah sesuatu yang indah yang biasa dilihatnya. Ia adalah parfum yang biasa dicium bau harumnya. Ia adalah permainan menarik yang biasa dimainkannya. Ia adalah jiwa lembut yang mengisi kehidupan rumahnya, dan cahaya keceriaan yang menghapuskan kegelapan hari-harinya!

Kunjungan-kunjungan Sang Isteri setiap minggu telah mapan dalam program kegiatannya. Saat-saat keberadaannya yang cuma sebentar itu telah meresap dalam lubuk perasaannya. Ia sudah terbiasa menunggunya, lalu bagaimana sekarang ia akan hidup tanpa penungguan ini? Pemikiran semacam ini saja telah mampu memotong keceriaan Sang Pendeta, seperti sebuah pisau. Lalu membuatnya menjadi murung. Tak ada lagi yang tersisa dari Sang Isteri, meski hanya manisnya penantian! Akankah Sang Pendeta menjalani bulan-bulan mendatang dengan keadaan tetap seperti ini, sementara dirinya tak mampu berbuat apa-apa, meski hanya menantikannya?!

Malam-malam yang menyeramkan melewati Pendeta Pemikiran. Sang Pendeta tak bisa tidur dengan tenang. Bayang-bayang Sang Gadis melintas dalam kepalanya setiap akan tidur. Ia muncul dengan pakaian seperti yang biasa dilihatnya, dengan parfum kesukaan yang membuat hatinya gembira. Terkadang Sang Pendeta melihatnya di dalam mimpi-mimpinya, seakan-akan Sang Isteri itu datang dan meminta maaf atas ketidakhadirannya selama ini, atas keterlambatannya selama beberapa minggu lalu, sambil melepas sarung tangannya perlahan-lahan dan menatapnya dengan keramahan yang tulus.

Lalu Sang Pendeta terbangun dari benturan mimpi tersebut. Ia membuka matanya dan menyadari bahwa itu hanya mimpi. Sang Pendeta lalu terbaring di atas tempat tidurnya tanpa mampu memejamkan mata kembali, sampai pagi! Inilah azab yang tak pernah dibayangkannya dan tak pernah diperhitungkannya. Bahkan buku bacaan yang biasa digunakannya untuk menghibur diri, gagal menyelamatkannya.

Pada suatu malam Sang Pendeta terbangun dengan kaget karena di dalam mimpinya ia melihat Sang Gadis itu mengetuk pintu. Ketika menyadari kesia-siaan harapannya, juga kesusahannya untuk kembali tidur, seperti biasa, Sang Pendeta menghabiskan malam itu dengan membaca buku. Ia mengambil sebuah buku filsafat karangan Abu Bakr ar-Razi. Ia mulai membaca pendapat sang pengarang tentang cinta di halaman buku tersebut:

Perpisahan dengan kekasih pasti mengakibatkan gejolak perasaan hingga ingin mati. Jika disetujui, diantara seluruh bencana dan malapetaka yang ada di dunia ini yang bisa menghancurkan kekuatan adalah perpisahan antara kekasih.

Bilamana seseorang terpaksa mengalami duka dan menelan kepahitan itu, lebih baik ia mendahulukan duka dan kepahitan itu serta berhenti memikirkannya daripada harus mengakhirkan duka dan kepahitan itu serta terus menunggunya. Karena sesuatu yang sudah pasti terjadi, ketika didahulukan maka bayangannya yang mengerikan akan bisa dihilangkan selama masa pengakhiran.

Begitu pula lebih baik ia menjauhkan jiwa dari sang kekasih sebelum cinta itu menguat, melekat dan menguasainya. Karena hal itu akan lebih mudah dan ringan.

Juga, karena saat kerinduan telah bersatu dengan kedekatan maka akan sulit sekali memisahkan diri dan keluar darinya. Penderitaan yang disebabkan oleh kedekatan tak lebih ringan dari penderitaan yang disebabkan oleh kerinduan, kejauhan. Bahkan jika ada yang mengatakan bahwa penderitaan yang disebabkan oleh kedekatan itu lebih berat dan lebih teruk, maka ia tak keliru.

Jika masa kerinduan masih ringan atau baru sebentar, dan masa pertemuan dengan sang kekasih masih lama, maka lebih baik ia tidak mencampurkannya dan malah menguatkan kerinduan itu dengan kedekatan! Dalam hal ini yang harus dilakukannya secara nalar adalah: segera menghalangi jiwa dan mengekangnya dari kerinduan, sebelum terjatuh ke dalamnya. Hendaknya seseorang segera menyapih jiwa begitu ia terjatuh kedalam kerinduan, sebelum kerinduan itu mengakar kuat.

Alasan ini, katanya, pernah digunakan Plato yang bijak untuk membantah muridnya yang tengah dilanda rasa cinta kepada seorang gadis, sampai ia meninggalkan majlis pengajaran Plato. Plato lalu meminta supaya mencari murid tersebut dan membawanya datang. Ketika sang murid muncul di hadapannya, Plato mengatakan, “Katakan kepadaku, apakah kau ragu bahwa kau pasti akan meninggalkan kekasihmu pada suatu hari nanti?!”

“Saya tidak meragukan hal itu!” jawabnya.

“Kalau begitu, rasakanlah kepahitan yang akan kau teguk pada hari perpisahan itu nanti di hari kita sekarang ini. Lalu, diantara kedua waktu itu, bebaskan dirimu dari ketakutan seorang yang menanti; ketakutan yang akan selalu ada dan pasti datang. Bebaskan dirimu dari sulitnya mengobati rindu saat rindu itu telah menjadi kuat dan bersatu dengan kedekatan!” kata Plato kepada sang murid.

Konon, sang murid membantah ucapan sang guru tersebut.

“Apa yang Anda katakan benar, Tuan yang bijak. Tetapi, saya mendapati penantian ini semanis madu. Seiring perjalanan hari, ia akan menjadi semakin ringan.”

“Bagaimana kau bisa mempercayai kemanisan hari-hari penantian (kejauhan) itu dan tak takut pada kedekatan dengannya? Bagaimana kau bisa tidak yakin dengan datangnya saat perpisahan sebelum datangnya kemanisan itu, sementara rasa rindumu telah menjadi semakin kuat! Sehingga kau malah akan semakin menderita dan semakin merasa pahit yang berlipat-lipat?” jawab Plato.

Saat itu juga sang murid, konon, langsung bersujud kepada Plato. Ia mengucapkan terima kasih kepadanya, mendoakannya, memujinya dan tak kembali lagi pada perilaku yang telah dilakukannya dulu. Ia juga tak tampak berduka maupun merindu.”

Pendeta Pemikiran membaca tulisan itu, lalu melemparkan bukunya sambil berkata di dalam hati.
“Aahh. Para filosof itu! Mereka mengira bisa memecahkan masalah perasaan-perasaan manusia dengan kata-kata yang bagus dan logika-logika yang benar!”

Sang Pendeta kemudian merenungkan apa yang baru saja dibacanya. Ia teringat keadaan dirinya bersama perempuan jelita itu. Ia telah menempuh jalan yang tepat, bagi dirinya dan bagi perempuan itu. Ia tak melalaikan tujuan kedatangan sang perempuan. Ia tak menyimpang dari maksud mulia yang membuat sang perempuan itu datang. Ia tak mengatakan ucapan yang tak pantas diucapkan dan tak menampakkan perasaan yang tak selayaknya ditampakkan!

Ia telah berlaku kepada perempuan itu—sejak awal hingga akhir—persis seperti yang dikatakan filosof Muslim, Abu Bakr ar-Razi dan filosof Yunani, Plato. Kalau saja kedua filosof itu berada di posisinya! Posisi dimana Sang Pendeta telah merasa takut akan kedekatan yang bisa menguasai dirinya. Posisi dimana ia telah takut kalau keseriusan akan berubah menjadi gurauan; dan karenanya, ia segera memutuskan hubungan! Dan, inilah akibatnya! Jelas dan nyata!

Apakah Pendeta Pemikiran tak menyadari hakikat-hakikat perasaannya kepada Sang Gadis sejak pertama kali?! Ataukah ia telah menyadarinya sebagian, tetapi mengira bahwa hal itu tak terlalu berbahaya dibanding jika menyibukkan seluruh hatinya kepadanya, atau dibanding akibat jika ia menolaknya sejak pertama kali?

Jika perasaan Sang Pendeta itu tampak tidak jelas, kecuali setelah ia melaksanakan kewajibannya, setelah ia memutuskan hubungan dan menutup pintunya, lalu apakah salah dan dosanya? Apa yang masih belum dilakukannya saat itu, menurut pendapat ar-Razi dan Plato?!

Tentu saja Pendeta Pemikiran tak akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, dan memang ia tak memerlukan jawaban. Ia hanya memerlukan sesuatu yang bisa meringankan deritanya. Tak diragukan, ia telah melakukan semua yang disarankan para filosof itu. Tetapi para filosof, mereka tidur di dalam perut-perut bukunya, mereka berselimut di bawah lembar-lembar logikanya yang hebat, dan membiarkan Sang Pendeta terjaga dengan mata tak mau dipicingkan serta kegelisahan yang membakar hatinya!

* * *