Monthly Archives: April 2015

PEMBERIAN ALA MMM BERMASALAH SECARA SYARIAT

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Maka ingatkanlah, karena peringatan itu berguna!
Dan ingatkanlah, karena sesungguhnya peringatan itu berguna bagi orang-orang yang beriman!

KENAPA BANTUAN ATAU PEMBERIAN ALA MMM BERMASALAH SECARA SYARIAT?

Minimal ada satu problem dalam cara kerja MMM yang tidak bisa dicerna oleh aturan-aturan syariat.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan pemberian bantuan atau permintaan bantuan. Yang menjadi masalah adalah jika pemberian atau permintaan itu disertai janji mendapatkan sejumlah imbalan tertentu kepada partisipan. Apalagi tanpa disertai aktifitas usaha atau bisnis yang bisa menghasilkan penambahan untuk membayar imbalan tersebut.

Jika imbalan tersebut menggunakan harta milik orang lain, maka aturan syariat telah melarang kita untuk memakan atau menggunakan harta orang lain secara batil. Ingat surat An-Nisa` ayat ke 29: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

Jika berkaitan dengan pemberiannya itu sendiri, maka aturan syariat melarang kita memberikan suatu pemberian dengan maksud agar mendapatkan yang lebih banyak lagi dari pemberian tersebut. Ingat ayat ke 6 dari surat Al-Muddatstsir: وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ

Semoga hal ini bisa direnungkan kembali oleh saudara-saudara seiman. Apalagi setelah kelahiran kembali (reset) yang dialami oleh sistem MMM ini. Apakah dengan telah dilakukannya reset tersebut, uang-uang yang terdahulu yang pernah diberikan dan diharapkan imbalan tambahannya akan bisa dikembalikan secara utuh, plus tambahan yang seperti dijanjikan?!

Tidak mungkinkah yang ada kedepan hanyalah reset demi reset, dan uang-uang orang itu hilang terbagi-bagi secara zhalim dan batil?!

Tulisan ini hanya sekedar upaya untuk mengingatkan dan saling mengingatkan kepada sesama seiman, didasari cinta dan kasih sayang bukan kebencian atau permusuhan. wallahu a`lam.
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

***

MEMAHAMI PERBEDAAN PENILAIAN DERAJAT HADITS

MEMAHAMI PERBEDAAN PENILAIAN DERAJAT SUATU HADITS
Disarikan dari Mukadimahnya Syaikh `Athiyyah Saqr oleh Shocheh Ha.

Para spesialis hadits terkadang memberikan penilaian derajat yang berbeda atas beberapa hadits dha`if. Diantara para spesialis itu ada yang menilai satu hadits yang sama dengan derajat dha`if, ada yang menilainya dengan derajat hasan bahkan ada yang menilainya dengan derajat shahih. Selama perbedaan sudut pandang dalam memberikan derajat hadits dha`if ini terjadi, maka mengutip hadits terkait untuk menguatkan suatu hujjah menjadi suatu hal yang bisa diterima. Perlu digarisbawahi pada kata “menguatkan” bukan menjadikannya sebagai “sumber”.

Begitu pula yang terjadi dengan sebagian hadits shahih. Terkadang terjadi perbedaan kalimat atau pilihan kata dalam satu hadits shahih–antara satu periwayat dengan periwayat yang lainnya. Namun perbedaan tersebut sama sekali tidak mengubah hukum asli dari permasalahan terkait. Sebagai contoh hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para rawi terpercaya semisal Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya melalui salah satu jalur rawinya; kemudian kitab-kitab hadits yang lain juga meriwayatkan hadits yang sama tetapi dengan kalimat atau pilihan kata yang berbeda, atau jalur rawi yang berbeda, maka bisa saja para spesialis hadits atau pengkritis hadits menghukuminya sebagai hadits yang dha`if atau bahkan maudhu`. Semua itu hanya karena alasan perbedaan penggunaan kalimat/kata, atau karena perbedaan rawi dalam jalur periwayatannya.

Ambil sebagai contoh, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Sahihnya:

إن المرأة تقبل فى صورة شيطان وتدبر فى صورة شيطان، فإذا أبصر أحدكم إمرأة فليأت أهله، فإن ذلك يرد ما فى نفسه

Seorang perempuan datang dalam rupa setan dan pergi dalam rupa setan. Maka jika salah seorang dari kalian melihat seorang perempuan hendaklah ia mendatangi istrinya karena hal tersebut akan mampu mengusir (hasrat birahi) yang ada di dalam dirinya.

Hadits dengan makna yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Al-Khathib dari Sahabat Umar dari Nabi SAW. dengan bunyi:

إذا رأى أحدكم إمرأة حسنة فأعجبته فليأت أهله، فإن البضع واحد ومعها مثل الذي معها

Jika salah seorang diantara kalian melihat perempuan cantik yang membuatnya terangsang, hendaklah mendatangi istrinya. Karena jenis kemaluan/kenikmatannya sama; dan istrimu memiliki apa yang dimiliki oleh perempuan cantik tersebut.

Hadits kedua ini dicatat oleh Imam As-Suyuthi dalam Kitab Al-Jami` As-Shaghir-nya, akan tetapi Nashiruddin Al-Albani menghukumi hadits kedua ini sebagai hadits maudhu`. Padahal Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits dari Sahabat Jabir dengan bunyi:

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ الَّتِي تُعْجِبُهُ فَلْيَرْجِعْ إِلَى أَهْلِهِ حَتَّى يَقَعَ بِهِمْ، فَإِنَّ ذَلِكَ مَعَهُمْ

Jika salah seorang dari kalian melihat perempuan yang membuatnya terangsang hendaklah ia pulang menemui istrinya hingga menggaulinya, karena hal itu dimiliki olehnya.

Dan disini, Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.

Begitu pula hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim yang menyebutkan:

آية المنافقِ ثلاثٌ: إِذا حدَّث كذَب، وِإذا وعدَ أَخلفَ، وِإذا اْؤتمِنَ خانَ

Tanda-tanda orang munafik, tiga hal: ketika ia mengatakan ia berdusta, ketika ia menjanjikan ia mengingkari, dan ketika ia dipercaya ia mengkhianati.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Selain itu, Imam At-Thabrani juga meriwayatkan hadits yang semakna dengan hadits tersebut dari rawi tertinggi Abu Bakr dengan bunyi kalimat:

آية المنافقِ مَنْ إِذا حدَّث كذَب، وِإذا اْؤتمِنَ خانَ، وِإذا وعدَ أَخلفَ

Tanda-tanda orang munafik adalah orang yang ketika mengatakan ia berdusta, ketika dipercaya ia mengkhianati dan ketika berjanji ia mengingkari.

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani ini dituliskan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Kitab Al-Jami` Al-Saghir, dan lagi-lagi Al-Albani mengatakan hadits ini berderajat dha`if.

Sebenarnya kandungan makna dari hadits-hadits dalam contoh diatas adalah shahih. Dan yang di-dha`if-kan oleh Al-Albani dalam riwayat-riwayat yang terdapat di dalam kitab selain kitabnya Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah sanad atau para perawinya, atau tambahan kecil yang tidak mengubah hukum aslinya.

Begitu pula hadits mengenai Shalat Istikharah dan doanya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan imam-imam Kutubus Sunan dari rawi tertinggi Jabir bin Abdullah yang berbunyi:

إِذا همَّ أحدُكم بالأمرِ فليَركعْ ركعَتينِ من غيرِ الفريضةِ، ثم ليَقُلِ: اللهمَّ إِني أَستخيرُكَ بعِلْمِكَ، … الخ

Akan tetapi ketika Imam ِAs-Suyuthi menuliskannya di dalam Kitab Al-Jami` As-Shaghir dengan ungkapan yang berbunyi:

ِإذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَمْرًا فَلْيَقُل: اللهمَّ إِني أَستخيرُكَ بعِلْمِكَ … الخ

Imam Al-Albani mengatakan hadits ini dha`if. Barangkali ke-dha`if-annya karena Imam As-Suyuthi tidak menyebutkan kata shalat.

Tentu saja hal-hal semacam ini–jika tidak dipahami–akan bisa membuat orang-orang meragukan hadits shahih yang diriwayatkan oleh para rawi yang terpercaya/tsiqqah.

Sama seperti kasus di atas adalah hadits yang berbunyi:

الحرب خدعة

Perang adalah strategi

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Kitab Shahihnya. Namun ketika Abu Ya`la yang meriwayatkannya, Imam Al-Bushairi mengatakan: “Dalam rawinya terdapat Abu Ziyad dan orang ini adalah dha`if”.

Yang di-dha`if-kan oleh Imam Al-Bushairi adalah salah satu rawi dari rawi-rawi yang menjadi sandaran hadits tersebut.

Begitulah metode kaum Muslimin dalam periwayatan hadits. Hal ini perlu kita ketahui agar tidak shock atau kebingungan saat mengetahui suatu hadits yang telah diterima secara umum, akan tetapi oleh kritikus hadits/ahli hadits dihukumi sebagai hadits dha`if. Atau sebaliknya. Wallahu a`lam.

***