Category Archives: DISKUSI ONLINE

Diskusi melalui internet

SOLILOKUI – AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH

solilokui:

AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH

Seperti yang tampak dalam definisi salaf, salafiyyah, dan salafiyyun—dan dengan mengaitkan hal tersebut pada Hadits yang berbunyi `alaikum bisunnatii wa sunnatil khulafaa´ al-raasyidiin (teladanilah perilakuku dan perilaku para penggantiku yang bijaksana—lurus mengikuti petunjuk), atau pada Hadits yang menyebutkan perpecahan umat menjadi 73 golongan, dan hanya satu dari 73 golongan ini yang selamat, yaitu ahlussunnah wal jamaah—maka kita bisa mengetahui apa atau siapa sebenarnya Ahlussunnah wal Jamaah.

Siapakah Ahlussunnah wal Jamaah? Mereka adalah golongan: maa ana `alaihi wa ashhaabi (yaitu golongan yang meneladaniku dan para sahabatku). Dari situ kita mendapati bahwa terma salaf, salafiyyah dan salafiyyun telah mampu mewakili (secara sempurna) makna dan pemahaman tentang ahlussunnah wal jamaah itu sendiri.

Jadi, batasan seseorang itu termasuk ahlussunnah wal jamaah atau bukan, adalah: hadir atau absennya teladan ajaran yang digariskan oleh Nabi dan para sahabatnya. Jika seorang muslim mengamalkan ajaran-ajaran yang ada di dalam al-Qur´an, tetapi pada saat yang sama menolak atau mengingkari panduan yang diberikan oleh Nabi atau para sahabatnya, maka ia bukan termasuk ahlussunnah wal jamaah. Dan begitu seterusnya.

Jika begitu, ahlussunnah wal jamaah tidaklah berdasarkan pada nama atau label, akan tetapi pada keyakinan dan praktek. Seorang muslim yang dalam label atau nama golongannya menggunakan frasa ahlussunnah wal jamaah belum tentu merupakan kelompok ahlussunnah wal jamaah jika prakteknya menyalahi maa ana `alaihi wa ashhaabi. Sebaliknya, seorang muslim yang menerapkan prinsip maa ana `alaihi wa ashhaabi adalah kelompok ahlussunnah wal jamaah meskipun label atau nama kelompoknya tidak menggunakan frasa ahlussunnah wal jamaah. Ini berarti, bisa saja ditemukan muslim-muslim yang ahlussunnah wal jamaah di dalam kelompok-kelompok lain yang tidak menggunakan label atau nama ahlussunnah wal jamaah.

Dan, dengan begitu, tidak gampang bagi siapa pun untuk menghakimi secara sepihak bahwa suatu kelompok tidak termasuk golongan ahlussunnah wal jamaah, kecuali jika kelompok tersebut atau individu itu secara terang-terangan menyatakan mengingkari dan menolak petunjuk Nabi dan sahabat-sahabat Nabi.

Ungkapan Nabi, “maa ana `alaihi wa ashhaabi” merupakan kalimat pendek namun sangat jelas, dan pada saat yang sama sangat luas cakupan maknanya. shalla `alaikallahu, yaa rasuulallah!. Ungkapan Nabi termasuk dalam kategori maa qalla wa dall, ungkapan pendek namun padat berisi yang merupakan bagian dari khairul kalam dalam teori balaghah.

Di antara keluasan maknanya adalah, kita bisa menjadikan praktek-praktek yang dilakukan oleh para sahabat Nabi sebagai petunjuk dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama tanpa harus takut dicap bid´ah atau keluar dari kelompok ahl sunnah wal jamaah.

Di antara keluasan cakupannya adalah bahwa sahabat Nabi itu banyak dan masing-masing, tidak jarang, memiliki cara pemahaman yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dan meskipun begitu, kita tetap dibenarkan mengikuti siapa pun di antara mereka yang mau kita acu pemahaman dan praktek keagamaannya. Siapa pun dari sahabat-sahabat Nabi itu (selama mereka ‘ar-rasyidun‘, selama mereka lurus mengikuti petunjuk Nabi). Sabda Nabi, sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang (di angkasa), yang mana pun di antara mereka yang kau pilih sebagai pedoman maka kau akan mendapatkan petunjuk. Kita lihat, betapa luasnya cakupan ini, dan kita lihat betapa luas dan menariknya ajaran Islam ini.

========

tambahan

========

Di dalam buku al-maghfurlah Hadhratus Syaikh Romo Yai Asrori Al-Ishaqi—pengasuh Pesantren Kedinding Surabaya dan Jamaah Al-Khidmah, yang juga seorang mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah—yang berjudul Al-Muntakhabat fi Rabithatil Qalbiyyah wa Shillatirruhiyyah, juz pertama halaman 161, pada edisi aslinya yang berbahasa Arab, saya membaca uraian Dzun Nun al-Mashry berikut ini:

فقد شبه الرسول – صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم—أصحابه رضي الله عنهم بالنجوم لا بالكواكب، لأن النجوم ما يهتدى بها في البر والبحر لكبرها وكثرة ضوئها ونورها بخلاف الكواكب، هي الصغار التى ﻻ يهتدى بها

Rasulullah s.a.w. menyerupakan sahabat-sahabatnya r.a. dengan “nujum” (secara konotatif saat ini kata nujum mengarah pada arti bintang), tidak menyerupakan mereka dengan “kawakib” (secara konotatif saat ini kata kawakib mengarah pada arti planet). Karena “nujum”-lah yang bisa digunakan sebagai petunjuk di daratan dan lautan, sebab ukurannya yang besar dan terangnya sinar/cahaya yang dimiliki. Berbeda dengan “kawakib”, ukurannya kecil; sehingga tidak cukup digunakan sebagai penunjuk.

Dalam tradisi keilmuan kita, bintang berarti benda langit yang terdiri dari gas menyala, sehingga disebut bersinar. Sementara planet berarti benda langit yang tidak mengeluarkan panas atau tidak menyalakan sinar/cahaya. Begitu pula yang lazim dipahami dalam tradisi keilmuan Arab masa kini, dan hal itu sepertinya mendapat dukungan Kitab Suci Alquran saat menyatakan, “huwa alladzi ja`alas syamsa dhiyaan wal qamara nura.” Dari kata “dhiya‘” dan “nur” diperoleh perbedaan antara cahaya asli dan cahaya pantulan. Hal ini untuk mengukuhkan pemahaman mengenai benda langit yang menyala dari dalam dirinya dan benda langit yang tidak menyala dari dalam dirinya, tetapi mampu memantulkan cahaya yang mengenai dirinya sehingga juga tampak bercahaya/menyala.

Akan tetapi uraian dalam buku ini tidak melihatnya dari sisi tersebut, melainkan dari sisi ukuran besar dan kecilnya. Dimana nujum adalah benda langit yang bisa dibuat petunjuk arah di daratan maupun di lautan karena penampakannya yang besar, sinarnya yang kuat dan terang. Berbeda dengan kawakib, dimana kawakib dalam uraian ini adalah benda langit yang penampakannya kecil sehingga tidak bisa dijadikan penunjuk arah.

Jadi benda langit itu disebut bintang atau planet (nujum atau kawakib) tergantung pada ukuran penampakannya dan kemampuannya untuk dijadikan petunjuk (cahaya yang diberikan), bukan pada hakikat kemampuannya mengeluarkan sinar dari dalam diri sendiri atau bukan. Sehingga apa yang biasa kita kenal sebagai planet (kawakib)–Merkurius, Mars, Saturnus, Jupiter dan Venus—dalam kaitan ini mereka adalah bintang (nujum) karena cahaya yang dipantulkannya lebih terang dan lebih besar dari pada benda-benda langit lainnya. Dan karenanya lebih bisa dijadikan petunjuk daripada ribuan bintang (kawakib) lainnya yang kecil, jauh dan redup.

Pada halaman sebelumnya, tepatnya halaman 140, disebutkan:

فالنجوم: هن الطوالع السوائر الغوارب: عطارد والمريخ وزحل ومشتري والزهرة وسميت نجوما لأنها تنجم أي تطلع من مطالعها في أفلاكها. وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (7) (الأنعام: 97) وما عدا ذلك: كواكب. إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) (الصافات: 6)

فالكواكب :معلقات من السماء كالقناديل. والنجوم لها مطالع ومغارب. فهن أمان لأهل السماء، فإذا ذهبت أتى أهل السماء ما يوعدون. وعلى هذا يؤول قوله صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم: مثل أصحابي مثل النجوم بأيهم اقتديتم اهتديتم – اخرجه البيهقي.

Nujum adalah benda-benda langit yang terbit, beredar dan tenggelam, seperti Merkurius, Mars, Saturnus, Jupiter, dan Venus. Mereka dinamai nujum karena memiliki permulaan, yakni terbit dari tempat-tempat terbitnya di angkasa. “Dia-lah yang telah menjadikan nujum untuk kalian agar kalian menjadikannya sebagai penuntun/petunjuk dalam kegelapan-kegelapan daratan dan lautan. Sungguh Kami telah merincikan tanda-tanda ini kepada kaum yang mengetahui” (al-An`am: 97). Selain itu adalah kawakib. “Sungguh Kami telah menghiasi langit bawah (dunia) dengan hiasan berupa kawakib. Dan (kawakib ini) sebagai penjaga dari setiap setan yang usil” (as-Shaffat: 6)

Kawakib adalah benda-benda langit yang tidak tampak permulaan terbit dan tenggelamnya (ia tampak menetap di tempat tersebut, seperti uplik/lentera yang digantungkan). Nujum memiliki tempat terbit dan tempat terbenam. Nujum menjadi tanda ketentraman penduduk langit. Jika nujum sirna maka datanglah (Hari Kiamat) yang dijanjikan kepada penduduk langit.

Berdasarkan hal inilah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi ditafsirkan, “Perumpamaan sahabat-sahabatku adalah seperti nujum (bintang). Dengan nujum yang mana pun kalian menjadikan pedoman maka kalian akan mendapatkan petunjuk.

Jadi sahabat di sini bukan sekedar sahabat dalam pengertian: setiap orang yang pernah berjumpa dengan Rasulullah SAW; atau orang yang pernah berbaiat kepadanya; atau orang yang pernah melihat beliau meskipun hanya sekali waktu. Tetapi, yang dimaksud adalah: para sahabat Nabi yang sering mendampingi beliau, mempelajari wahyu yang masih segar dari beliau, mempelajari syariat yang menjadi kurikulum umat dari beliau, menyaksikan tatakrama dan kebaikan Islam dari beliau, sehingga kemudian mampu menjadi imam yang sanggup memberikan bimbingan dan arahan sepeninggal Nabi SAW. Sahabat dengan kualifikasi semacam inilah yang boleh dijadikan panutan sebagai lentera penunjuk.

==============

selesai tambahan

==============

Dengan mempertimbangkan banyaknya sahabat Nabi yang menjadi “bintang” maka sampai disini tak perlu dikuatirkan, kita masih dalam koridor terma ahlussunnah wal jamaah dan—juga—belum keluar dari batasan terma salaf. Kita belum tersesat ke mana-mana. Jika perbedaan-perbedaan para sahabat Nabi dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam tersebut mendapat justifikasi dari Sabda Nabi, maka bagi umat-umat generasi setelahnya perbedaan-perbedaan itu merupakan rahmat, bukan laknat. Perbedaan itu menjadi rahmat karena kita (umat setelah mereka) diberi keleluasaan untuk memilih bintang (baca: petunjuk sahabat) yang sesuai dengan kondisi, lingkungan dan semangat yang kita miliki atau kita hadapi. Kita tidak pernah dipaksa untuk mengikuti satu bintang (baca: satu sahabat) tertentu, akan tetapi semua sahabat Nabi (yang bintang) boleh kita pilih. Karena bisa jadi, satu sahabat belum bisa mewakili kesempurnaan ajaran yang dibawa Nabi. Abu Bakar yang lembut, Umar yang keras, Utsman yang dermawan Ali yang cendikiawan dan seterusnya, hanyalah salah satu contoh yang mengibaratkan sisi-sisi perbedaan, akan tetapi saling menyempurnakan.

Menuju Contoh Praktis.

Perbedaan yang sekarang (dan dulu juga) sering dijadikan amunisi pemecah belah umat, padahal awalnya ditujukan sebagai rahmat demi mengasihi umat-umat belakangan yang tidak sempat menyaksikan kemuliaan dan kesempurnaan ajaran Islam, juga kesempurnaan dan kemuliaan akhlak Rasulnya, diantaranya:

Contoh pertama, kullu bid`atin dlalaalah, wakullu dlaalatin fin naar.

Ada sebagian umat Islam yang memahami sabda tersebut secara letterlijk, sehingga mereka memahami semua bid´ah adalah sesat dan tak ada tempat lain bagi pelakunya selain neraka.

Kalau kita mau menggunakan lentera di atas, yaitu maa ana `alaihi wa ashhaabi dan juga sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang (di angkasa), yang mana pun di antara mereka yang kau pilih sebagai pedoman maka kau akan mendapatkan petunjuk maka akan kita dapati para sahabat Nabi telah melakukan banyak sesuatu yang secara letterlijk merupakan bid´ah. Namun rupanya mereka tidak memahami kullu bid´atin dlalaalah, wakullu dlalaalatin fin naar dengan cara yang letterlijk ini. Sebut saja yang telah dilakukan oleh Umar Ibn Khattab: pengumpulan al-Qur´an, penundaan pemotongan tangan pencuri bahkan penambahan salat tarawih menjadi 20 rakaat yang disertai dengan ucapannya: “Ini adalah sebaik-baik bid´ah (ni`mat al-bid`ah hadzih!)”

Jika semua bid´ah sesat dan dengan begitu mengantarkan pelakunya ke neraka maka Umar Ibn Khattab akan menuju ke sana, tapi bukankah sahabat Umar, yang sering mendapat ilham ini, adalah satu di antara 10 orang yang dijamin masuk surga?! (minal mubasysyirin bil jannah?) Dengan begitu tidak semua bid´ah akan mengantar pelakunya ke neraka, melainkan ada di antara bid´ah itu yang akan mengantarkan pelakunya ke surga, insyaallah. Bid´ah semacam inilah yang masuk dalam cakupan man sanna sunnatan hasantan falahu ajruhaa wa ajru man `amila bihaa.

Bukan hanya Umar, sahabat-sahabat yang lain pun melakukan. Ada Utsman yang berani memindahkan dinding kiblat Masjid Nabawi, dan lain-lainnya. Apakah itu berarti para sahabat telah tersesat, terjebak dalam lobang bid´ah?! Tentu tidak. Yang pasti, pemahaman mereka tentang bid´ah tidak sama dengan pemahaman sebagian umat Islam berikutnya tentang bid´ah yang kulluhaa dlalaalah wa fin naar, kamaan!

Dalil terkuat yang menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika mengusulkan pengumpulan Al-Qur’an adalah bid`ah adalah ucapan Khalifah Abu Bakr yang mempertanyakan, “kaifa af`alu ma la yaf`aluhu rusulullah?!” Di sini Abu Bakr jelas-jelas melihat pengumpulan al-Qur’an sebagai tindakan bid’ah. Dengan perkataan ini, “Bagaimana aku akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah?!” Bukankah pertanyaannya ini merupakan inti yang bisa dipahami dari kata bid’ah: sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah!” Tetapi apa jawaban `Umar, “wallahi hadza khair! Demi Allah ini adalah baik”. Dengan jawaban Umar ini, akhirnya Abu Bakar pun menyetujui, juga Zaid bin Tsabit dan selanjutnya para sahabat Nabi. Dengan jawaban Umar ini para ulama mampu membuat kesimpulan bahwa di antara bid`ah ada yang “khair” atau “hasanah” atau “baik”.

Contoh kedua, pembacaan puji-pujian, atau bahkan syair dan nyanyian untuk Nabi, baik dalam moment Maulid Nabi maupun di luar moment itu, seperti yang dilakukan di musola-musola dan masjid-masjid di banyak tempat di nusantara. Itu bukan murni bid´ah.

Kalau kita menengok lentera di atas, yaitu maa ana `alaihi wa ashhaabi dan sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang (di angkasa), yang mana pun di antara mereka yang kau pilih sebagai pedoman maka kau akan mendapatkan petunjuk, maka akan kita dapati seorang sahabat yang dikenal sebagai pujangganya Nabi, Hisan bin Tsabit (tolong koreksi jika saya keliru). Di samping syair-syair yang menunjukkan keagungan Islam, Hisan juga mendendangkan syair-syair yang memuji kepribadian dan akhlak Nabi. Nabi membiarkan penyairnya bersyair selama dalam bait-bait syairnya memiliki sandaran kebenaran, bukan omong kosong atau malah kesesatan. Begitulah para penyair berikutnya mengikuti jejak Sahabat Nabi, Hisan. Hal seperti itu pula yang dilakukan oleh Ad Dibai, Imam Bushairi, Ahmad Syauqi dan lain-lain, banyak hitungannya. Melihat kenyataan ini, berarti kita salah jika menuduh kebiasaan memuji Nabi melalui bait-bait syair merupakan produk Syiah. Ia (pujian) memiliki sandaran kuat pada Sunnah Taqririyyah Nabi.

Contoh ketiga, peringatan Natal Nabi atau Maulid Nabi.

Memperingati atau merayakan hari kelahiran, ulang tahun, maulid atau natal bukan bid´ah. Ulang tahun, maulid atau natal telah ada sejak dulu, minimal sejak masa Nabi Isa lewat ucapannya yang diabadikan oleh al-Qur´an salaamun `alayya yauma wulidtu wa yauma amuutu yang secara sederhana bisa kita artikan selamat natal (bisa juga: selamat datang/lahir) dan selamat jalan untuk diriku.

Tampaknya, sejak dulu kala hingga saat ini, hari kelahiran itu dirayakan atau diperingati secara individual, artinya terbatas pada pihak yang bersangkutan dan orang-orang dekat yang dilibatkan/diundang, bukan peringatan dan perayaan secara massal. Nabi pun begitu, beliau memperingati hari lahirnya secara pribadi dengan cara melakukan kebaikan atau ibadah taqarrub kepada Allah, puasa di hari lahirnya sebagai bukti kesyukuran kepada Sang Pencipta. Nabi telah memberikan alasan, mengapa beliau puasa pada hari Senin. Mustinya, puasa pada hari itu terbatas untuk Nabi, karena beliau yang lahir pada hari itu, tapi mengapa kita-kita umat pengikutnya juga mendapatkan pahala ketika melakukan puasa pada hari itu dan dengan alasan yang sama, mengapa peringatan/perayaan yang sebenarnya individual itu boleh, bahkan sunnah, merata ke massa yang lebih besar, seluruh umat Islam? Jika begitu, kiaskan sendiri dengan praktek perayaan Maulid Nabi yang (katanya) dilakukan sejak zaman Shalahuddin al-Ayyubi itu. (saya masih mencoba menelusuri sumber-sumber yang menyebutkan permulaan Perayaan Maulid Nabi ini. Karena, perasaan, saya pernah membaca tentang ini dan tokohnya bukan Panglima Shalahuddin, kalo saya tak salah ingat:-). Dalam penilaian saya, orang yang pertama kali merayakan Maulid Nabi secara massal, dengan disertai sedekah (bukan puasa), memberi makan orang-orang kelaparan telah melakukan sanna sunnatan hasanatan, sama dengan yang telah dilakukan oleh Umar Ibn Khattab ketika menambahi jumlah rakaat tarawih.

Contoh keempat, ziarah kubur.

Banyak sahabat, tabiin dan tabiu tabiin serta ulama berikutnya yang melakukan ziarah kubur dan berpendapat ziarah kubur boleh bahkan sunnah dilakukan, karena Nabi sendiri melakukannya. Nabi sering menziarahi pemakaman umum Baqi´ semasa hidupnya. Bahkan sejak kecil Nabi telah diajak menziarahi makam ayahnya oleh ibundanya.

Pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa di pekuburan pun bisa ditelusuri prakteknya pada masa para sahabat dan Tabiin. Diantara isyarat yang bisa dirujuk adalah kisah Imam Ahmad bin Hanbal yang menganggap bid’ah seseorang yang tengah membaca Al-Qur’an di pemakaman. Namun setelah mendapat konfirmasi dari salah seorang sahabatnya (Muhammad bin Qudamah al-Jauhari) yang turut bersamanya dalam pemakaman itu, akhirnya Imam Ahmad bin Hanbal pun menyuruh orang tersebut untuk meneruskan bacaannya. Dan, begitulah!

Sampai sejauh ini, adakah orang-orang atau kelompok yang melakukan semua contoh-contoh di atas telah keluar dari: maa ana `alaihi wa ashhaabi dan sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang (di angkasa), yang mana pun di antara mereka yang kau pilih sebagai pedoman maka kau akan mendapatkan petunjuk, dan dengan begitu layak disebut sebagai bukan termasuk golongan ahlussunnah wal jamaah atau salafi?

(baca tulisan-tulisan panas, bukan hanya hangat, Mas Admin!) di sini:

http://salafy.wordpress.com/ terutama yang ini http://salafy.wordpress.com/2008/03/13/salafiyah-paling-ditakuti-nu-sejak-awal/)

(saat saya coba cek ulang pada hari ini: 21 oktober 2012, halaman-halaman situs tersebut sudah tidak ada).

Jika kawan-kawan berkesempatan membaca tulisan-tulisan yang semacam itu, maka ingat tulisan Prof. Dr. Muhammad Imarah bahwa SALAFI ITU BERMACAM-MACAM, satu diantaranya seperti itu, satu lainnya seperti kita, dua, tiga, banyak lagi…. Jangan kaget!!!

Dan yang lebih penting…. JANGAN TENGKAR!!!

Salam,

Shocheh Ha.

(Tulisan ini adalah dokumentasi posting saya di milis alumnifutuhiyyah@yahoogroups.com on Wed Jul 9, 2008 20:34, dengan penambahan dan perbaikan untuk blog fakra ini)

PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (3)

PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (3)
sebuah komentar agamis

Dari pengalaman gaibnya, Ki Sabdalangit sampai pada kesimpulan:

Betapa Tuhan itu :

LEBIH DARI MAHA ADIL
LEBIH DARI MAHA BIJAKSANA
LEBIH DARI MAHA BESAR
LEBIH DARI MAHA KUASA
LEBIH DARI MAHA KASIH DAN PENYAYANG
LEBIH DARI MAHA LEMBUT
LEBIH DARI MAHA PEMURAH

Akhirnya, sampailah saya pada pemahaman:

ALANGKAH DAMAINYA DUNIA INI
JIKA SEMUA ORANG MENGALAMI SAMA DENGAN APA YANG PERNAH SAYA ALAMI
JIKA TUHAN MEMBERI KESEMPATAN KEPADA SELURUH MANUSIA
UNTUK MELIHAT RAHASIA KEKUASAAN“NYA”
PASTI LAH TAK KAN ADA LAGI PERANG ANTAR AGAMA
TAK KAN ADA LAGI DEBAT KUSIR SIAPA SEJATINYA TUHAN
TAK KAN ADA LAGI RASA KEBENCIAN DAN PERMUSUHAN ANTAR AGAMA
TAK KAN ADA LAGI SALING CURIGA DI ANTARA UMAT

SAYA TELAH MENDAPATKAN PEMAHAMAN YANG AMAT SANGAT BERHARGA,
SAMPAILAH PADA PEMAHAMAN BETAPA TUHAN ITU LEBIH DARI MAHA SEGALANYA,
DARI SEMUA WUJUD KE-MAHA-AN TUHAN
YANG TERTULIS DI DALAM KITAB SUCI DAN AGAMA MANA PUN

Betapa Tuhan itu:”

Saya setuju, bahasa tutur standar atau bahasa tutur biasa yang ditulis, memiliki banyak keterbatasan dalam mengungkap hakikat-hakikat yang kita alami. Misalnya kata gembira pada situasi tertentu, bisa jadi, hanya mewakili sedikit ruang perasaan yang ketika itu kita rasakan. Lebih-lebih jika bahasa tutur ini digunakan untuk menjelaskan hakikat kesempurnaan Tuhan Yang Maha Agung, tentu kekurangannya semakin terasa. Belum lagi keterbatasan makna kata dalam bahasa yang sangat ditentukan oleh pengetahuan, kebudayaan, dan lingkungan penutur bahasa itu sendiri.

Tetapi permasalahannya harus berbeda ketika menyangkut Kitab Suci. Makna kata dalam bahasa Kitab Suci harus dipahami melampaui batas-batas yang mempersempitnya, baik batas pengetahuan, batas kebudayaan, batas lingkungan dan batas-batas lainnya jika masih ada. Kenapa? Karena penuturnya adalah Dzat Maha Sempurna yang tidak tersekat dalam batas-batas tersebut. Para pengikut Tasawuf telah memahami ini dengan lebih mendalam. Sehingga mereka lebih memilih mengungkapkan ketidakterungkapan bahasa tutur melalui perilaku aneh dan bait-bait vulgar, sajak orang yang tengah mabuk atau tak waras; hingga karena hal ini, diantaranya, mereka sering mendapat cercaan.

Kenyataan kebahasaan ini juga telah jamak diketahui oleh mereka yang mendalami disiplin ilmu-ilmu keislaman lainnya. Hal itu bisa dibuktikan dengan maraknya kitab pensyarah atau penjabar bagi kitab-kitab yang lain dalam tradisi literer Muslim. Bahkan biasanya kitab tersebut langsung mengusung judul “syarh” atau “syuruh” yang berarti penjabar. Kitab jenis ini memiliki uraian yang lebih panjang lebar mengenai sebuah kata atau kalimat tertentu, atau permasalahan tertentu. Dan termasuk ke dalam kategori kitab pensyarah atau penjabar adalah kitab-kitab tafsir.

Sebagai contoh, dalam tradisi pesantren klasik ketika memaknai kata ar-rahman yang biasa diterjemahkan dengan padanan Yang Maha Pengasih, tradisi pesantren menjabarkannya dengan uraian ayyil mun’imi bijalailin ni`am, (yaitu Dzat Pemberi segala kenikmatan yang besar. Kenikmatan yang besar ini bisa dimaknai dengan segala jenis kenikmatan yang terindera, semisal kekayaan, rezeki, jodoh, tempat tinggal, dan seterusnya. Penjabaran tentang kata ini biasanya juga dilanjutkan dengan pernyataan bahwa semua anugerah atau kenikmatan yang besar terindera ini diberikan oleh Allah kepada seluruh makhluk-Nya tanpa kecuali).

Sementara ketika memaknai kata ar-rahim yang biasa diterjemahkan dengan padanan Yang Maha Penyayang, tradisi pesantren menjabarkannya dengan uraian ayyil mun`imi didaqaiqiha (yaitu Dzat Pemberi segala kenikmatan yang lembut, yang bisa dimaknai dengan anugerah atau kenikmatan yang tidak terindera, semisal perhatian, kasing sayang, dukungan, pertolongan, kebahagiaan, kepuasan, kekekalan, pencapaian derajat kesempurnaan, dan seterusnya. Penjabaran tentang kata ini biasanya juga dilanjutkan dengan pernyataan bahwa jenis anugerah atau kenikmatan ini diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang layak dan berhak saja, yaitu yang bersungguh-sungguh mengharap dan menuju-Nya).

Selain itu, selain sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah juga berkuasa mutlak. Tidak ada sesuatu pun yang mampu membatasi atau mengurangi kekuasaan-Nya. Dan, kehendak-Nya pasti terjadi.

Dengan kenyataan-kenyataan itu, saya menyetujui kesimpulan Ki Sabdalangit bahwa Tuhan lebih dari segala yang bisa dipahami dari sebuah kata dalam kebiasaan penggunaan kata ini di dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapannya: “Betapa Tuhan itu: LEBIH DARI MAHA ADIL”, dan seterusnya. Saya uraikan penyebabnya: Karena pemahaman kita atau pemaknaan kita tentang frasa “Maha Adil” dibatasi oleh sekat-sekat keterbatasan kita: keterbatasan pengetahuan, keterbatasan budaya, keterbatasan lingkungan, keterbatasan fisik dan kemampuan, dan mungkin masih banyak batas-batas lainnya.

Yang saya tidak berani menyetujui adalah pernyataan Ki Sabdalangit yang mengatakan:

BETAPA TUHAN ITU LEBIH DARI MAHA SEGALANYA, DARI SEMUA WUJUD KE-MAHA-AN TUHAN YANG TERTULIS DI DALAM KITAB SUCI DAN AGAMA MANA PUN”

Saya setuju ke-maha-an Allah tidak terjangkau oleh akal pikiran kita; karena itu Nabi berpesan agar kita tidak menganalisa Allah, tetapi cukup menganalisa ciptaan dan karya Allah. Hal itu karena Nabi memahami keterbatasan kemampuan akal. Sabda Nabi merupakan bagian dari agama, dan itu berarti agama telah menampung dan menyampaikan hakikat ini. Dengan begitu, saya merasa ungkapan Ki Sabdalangit pada kalimat “DARI SEMUA WUJUD KE-MAHA-AN TUHAN YANG TERTULIS DI DALAM KITAB SUCI DAN AGAMA MANA PUN” terkesan ‘mengecilkan’ keberadaan semua Kitab Suci dan semua agama.

Padahal tidak mungkin Kitab Suci berupa uraian yang panjang lebar untuk menjelaskan hakikat yang sejatinya. Karena kalau itu terjadi Kitab Suci akan menggemuk berjilid-jilid tanpa henti. Bahkan dalam ayat al-Qur’an (Luqman, 31: 27, juga al-Kahf, 18: 109) disebutkan, Sungguh jika seluruh pohon di muka bumi dijadikan pena dan sebuah samudera ditambah tujuh samudera lainnya menjadi tinta untuk menuliskan “kalimat-kalimat” Tuhan, niscaya itu semua masih belum mencukupi. Kalau itu terjadi, mungkin tidak ada satu makhluk pun yang sanggup membaca Kitab Suci. Karena itu Kitab Suci diturunkan dalam rupa kalimat yang ringkas, tetapi maknanya mencakup semua hakikat yang ada. Memang tidak semua orang sanggup menyelami semua hakikat yang terkandung dalam sebuah kata atau makna ayat Kitab Suci, tetapi itu semua tergantung pada kesungguhan masing-masing dalam menggali dan mendalaminya. Karena itu, penjelasan dan uraian diperlukan.

Penjelasan dan uraian pertama datang dari Allah dalam wujud para rasul dan nabi bersama masyarakat dan lingkungan yang menjadi lokus turunnya Kitab Suci. Bagaimana mereka memahami dan menerapkan apa yang dititahkan Kitab Suci. Hal itu adalah bagian dari penjelasan dan uraian yang diberikan oleh Allah.

Penjelasan berikutnya bisa berupa akal-akal kuat yang mampu menyelami dan mendalami ayat-ayat dalam Kitab Suci. Penjelasan lainnya bisa berupa ketajaman batini atau intuisi dan kemampuannya merajut serta merangkaikan hakikat batiniah sehingga bersesuaian dengan yang tersurat di dalam ayat-ayat lahiriah Kitab Suci.

Dan beribu macam penjelasan lainnya, tetapi (yang benar) tetap dengan menjadikan teks-teks yang tertulis di dalam Kitab Suci sebagai patokan dan panduan yang akan mengarahkan dan membimbing, dan tidak membiarkan “nafsu diri” atau “kehampaan” yang menjadi pembimbing dan pengarah. Dengan begitu Kitab Suci berfungsi sebagai penentu yang menilai suatu penjelasan/uraian bersesuaian dengan Firman Tuhan atau tidak.

Dari literatur para ilmuwan yang mendalami ilmu-ilmu al-Qur’an (Kitab Suci) dan para ahli makrifat saya mendapati pernyataan bahwa satu ayat al-Qur’an bisa dipahami dengan minimal 600 pemahaman yang berbeda, yang semuanya memiliki kemungkinan benar (jumlah minimal ini karena mengingat keterbatasan dan kekurangan manusia itu sendiri.)

Apalagi Kitab Suci Al-Qur’an yang kemurnian dan keutuhannya dijaga oleh Tuhan! Bukankah dengan hal ini bisa dipahami bahwa Allah—dengan kesempurnaan-Nya—telah menurunkan petunjuk yang juga sempurna di dalam al-Qur’an?! Dan karenanya, kita tidak bisa gegabah menyatakan kalimat-kalimat atau ungkapan-ungkapan kebahasaan ayat di dalam al-Qur’an tidak mampu mewakili hakikat yang sesuai dengan Tuhan.

Karena kesempurnaan inilah, al-Qur’an adalah standar dan parameter bagi siapa saja yang ingin berbicara tentang Tuhan. Apakah seseorang berlebih-lebihan atau kekurangan saat menjelaskan tentang Allah, hanya bisa diukur dengan Kitab Suci Al-Qur’an (dalam kapasitasnya sebagai Kitab Suci yang kemurniannya terjaga). Selain itu, orang akan sangat mungkin terjebak dalam mengikuti hawa nafsu dan pikirannya sendiri.

Di dalam ayat Al-Qur’an sering Tuhan menyatakan, “ta`alallahu `amma yusyrikun” yang berarti: maha tinggi Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan; yang sama artinya dengan: maha suci Allah dari apa-apa yang mereka yakini atau mereka katakan tentang persekutuan Allah dengan selain-Nya. Selain itu, di dalam Al-Qur’an kita juga mendapati ayat yang sering kita baca atau kita dengar di penghujung doa yang berbunyi “subhana rabbika, rabbil izzati `amma yashifun” yang berarti: maha suci Tuhan-mu, Tuhan Yang Maha Mulia dari apa-apa yang mereka atributkan/sifatkan; yang sama artinya dengan: maha suci Allah dari apa-apa yang mereka katakan. Artinya, semua perkataan kita, pensifatan kita, pengatributan kita kepada Allah sangat jauh kebenarannya dari kenyataan dan hakikat yang sejati, selama perkataan, pensifatan, dan pengatributan tersebut tidak didasarkan pada “sulthan (pengetahuan, argumentasi dan bukti, hujjah wa dalil)” atau “kitab suci” yang telah diturunkan oleh Allah. Tanpa “sulthan” dan atau “kitab suci” ucapan kita tentang Allah adalah mengada-ada.

[bersambung]

tulisan sebelumnya:
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (1)
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (2)

tulisan berikutnya:
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (4)
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (5)

PERDEBATAN, DALIL DAN ARGUMEN

PERDEBATAN, DALIL DAN ARGUMEN

Dalil

Dalil adalah sarana yang dijadikan bukti untuk menunjukkan kebenaran suatu permasalahan atau kekokohan suatu pendapat.

Dulu, ketika awal-awal keberadaan saya di Mesir, saya masih memiliki keheranan dan perasaan yang mirip dengan perasaan mayoritas kawan-kawan di Indonesia, baik masyarakat umum maupun pesantrennya. Dulu, saya merasa masygul jika dalam suatu pembicaraan sedikit-sedikit keluar dalilnya. Di Mesir, hampir setiap pembicaraan, apalagi ceramah atau halaqah ilmiah, disertai dengan dalil, baik itu dari al-Qur’ân, Hadits maupun dalil-dalil lainnya.

Akhirnya saya yang merenung, kenapa mereka suka sekali membawa-bawa dalil dalam setiap pembicaraan. Kenapa? Apa saya yang salah? Kenapa saya memasygulkan hal itu? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sempat hinggap dalam kehidupan saya. Hasil perenungan saya meyimpulkan, kalau mereka tidak membawa dalil, itu berarti pembicaraannya tidak memiliki sandaran atau referensi sama sekali. Yang artinya, pembicaraannya tidak memiliki bobot secuil pun. Pembicaraan yang disampaikan tanpa menyertakan dalil hanya sepadan dengan suara yang keluar dari rongga menganga, entah itu tong, beduk, atau suara-suara lainnya yang tidak dibebani dengan sebuah makna, arti maupun tujuan.

Karena itulah, selanjutnya, saya bisa menerima dan betah mendengarkan pembicaran-pembicaraan yang di dalamnya diusung banyak dalil. Karena dari dalil-dalil itu akan dapat diketahui seberapa berat bobot pembicaraan yang disampaikan. Jika ia tepat meletakkan dalil, maka si penyampai benar-benar menyadari dan merencanakan apa yang sedang disampaikan. Jika ia tidak tepat merujukkan dalil, berarti si penyampai asal mencomot dalil, tidak teralur atau bahkan tidak paham terhadap apa yang ia sampaikan sendiri. Jika tanpa dalil, berarti si penyampai asal ngomong. Untuk pembicaraan yang asal nyeletuk atau asal ngomong, kita tidak perlu menganggapnya dengan serius. Kita boleh mengabaikan, karena itu hanyalah `abats, kesia-siaan.

Argumen

Argumen adalah alasan yang digunakan untuk mendukung atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan yang disampaikan.

Argumen bisa berupa dalil-dalil, rumus dan kaidah, postulat-postulat maupun alur pemikiran yang jelas yang bisa diterima oleh semua orang, minimal oleh pihak yang menjadi tujuan penyampaian argumen.

Argumen adalah jembatan penghubung antara dalil dengan persoalan yang kita bicarakan. Dalil dan argumen adalah peralatan wajib dalam sebuah perdebatan.

Perdebatan

Perlukah kita berdebat? Untuk apa?

Jika kita berada dalam posisi atau sikap tertentu yang kita yakini kebaikan atau kebenarannya, kemudian ada orang lain yang memprotes atau mengusili sikap atau posisi kita tersebut, maka di sini kita perlu berdebat dengan menggunakan argumentasi berdalil kuat agar pihak yang usil terhadap kita itu tidak mengusili kembali, atau bahkan, syukur-syukur, pihak yang mengusili bisa memahami dan berubah mendukung atau mengikuti sikap kita. Jika sebelumnya kita telah memiliki rujukan dan dalil yang kuat untuk mendukung sikap atau posisi kita, maka posisi dan sikap kita tak akan tergoyahkan (inilah prinsip), namun sebaliknya, jika sikap atau posisi kita sebelumnya tidak memiliki atau tanpa didasari oleh rujukan dalil atau pemikiran yang kuat, maka sikap atau posisi kita akan goyah, kita harus secara jujur mengoreksi diri, demi kebaikan kita sendiri. Kita harus merubahnya; mengganti sikap dan posisi ke yang lebih kuat atau berterima kasih dan bahkan, mungkin, mengikuti pihak yang telah mengingatkan (dengan usilnya itu) kerapuhan atau bahkan kesalahan sikap dan posisi kita semula, jika kita lihat posisi atau sikap si usil itu benar atau lebih kuat. Satu.

Jika kita memiliki suatu gagasan atau pemikiran yang ingin kita sampaikan kepada orang lain untuk diikuti (kita mengajak), dan orang lain tersebut ragu atau bahkan menolak ajakan kita dengan berbagai macam alasan/bantahan, maka pada saat seperti ini kita memerlukan bicara, beradu argumen (debat) tentang baik dan benarnya gagasan kita itu, dan bahwa gagasan itu berlandaskan dalil-dalil yang kuat serta valid. Dua.

Jadi, dalam perdebatan, yang terpenting adalah kekuatan dan kevalidan dalil serta ketepatan dan kesantunan argumentasi, bukan karena suatu masalah itu masuk dalam kategori khilafiyah atau bukan khilafiyyah.

Model kedua (ajakan, kita mengajak) inilah yang sejalan dengan makna dakwah. Jadi, perdebatan yang disertai argumentasi yang baik dengan dalil yang kuat memiliki nilai penting dalam ikut mensukseskan dakwah sebagaimana ditunjukkan oleh Tuhan; ud`uu ilaa sabiili rabbika…; wa jadilhum billati hiya ahsan. Karena alasan ini, di antaranya, maka ada ulama yang berpendapat bahwa perdebatan untuk mengajak kepada kebenaran dan kebaikan, atau kepada kesepakatan (kalimatin sawâ’) merupakan kewajiban (fardhu kifayah).

Dilihat dari ayat ud`uu ila sabiili rabbika (surat an-Nahl, ayat 125), tampak bahwa batas terakhir dari suatu prosesa ajakan (dakwah) adalah perdebatan dengan argumentasi yang lebih baik. Dakwah tidak ditempuh dengan jalan kekerasan atau peperangan. Karena jika cara kekerasan yang digunakan, namanya bukan lagi dakwah, akan tetapi pemaksaan, dan kita tahu, tidak ada pemaksaan yang dibenarkan dalam kaitannya dengan dakwah.

Mengingat perdebatan dengan cara dan argumentasi yang lebih baik merupakan senjata pamungkas dalam rentetan jurus-jurus dakwah, maka prinsip-prinsip dan tatakrama perdebatan harus dikuasai dengan sebaik-baiknya dan sematang-matangnya agar jurus ini efesien digunakan dan jitu untuk menundukkan lawan.

Perdebatan bukan hal baru, apalagi bid`ah. Ia merupakan kebiasaan yang sudah sangat lama. Perdebatan merupakan sunnah para rasul dalam upaya mengajak kaummnya kepada keimanan, sebagaima akan kita lihat di bawah ini.

Nabi Nuh melakukan perdebatan dengan kaummnya dalam upaya mengajak mereka beriman kepada Allah. Dari susunan ayat di bawah ini, tampak Nabi Nuh berhasil mematahkan semua argumen lawan, dan menunjukkan betapa ajakannya merupakan gagasan yang mempunyai sandaran dalil sangat kuat. Akan tetapi, setelah kewalahan menghadapi jurus-jurus argumentasi Nabi Nuh, kaumnya bukannya insyaf diri, malah nekat bunuh diri. Perbuatan nekat ini adalah kesombongan dan sekaligus kebodohan, ia adalah tanggung jawab pribadi, bukan kesalahan orang lain (dalam hal ini, bukan kesalahan Nuh, orang yang menang dalam perdebatan). Kita perhatikan ayat ke 32 dari surat Hud berikut:

قَالُوا يَا نُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

Orang-orang di dalam kaumnya itu pada mengatakan, Wahai Nuh! Kau telah mendebat kami dengan panjang dan sengit, maka datangkan saja apa yang telah kamu ancamkan kepada kami itu, jika kamu termasuk orang-orang yang benar!.

Nabi Ibrahim juga melayani perdebatan dengan Raja Hamurabi, sebagaimana diceritakan dalam surat al-Baqarah ayat 258 berikut ini:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Tidakkah kamu melihat orang yang telah mendebat Ibrahim perihal Allah, Tuhannya, padahal Allah telah memberikan kekuasaan (kerajaan) kepada orang itu! Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku, Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berdalih: “Aku juga bisa menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim menjawab: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka kau terbitkanlah ia dari barat!” Orang yang ingkar itu pun terdiam. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.

Sedikit tentang raja yang mendebat Nabi Ibrahim di atas. Menurut salah satu pendapat sejarawan, ia adalah Raja Hamurabi yang di dalam buku-buku sejarah terkenal dengan Hukum atau Undang-Undang Hamurabi-nya dari Babilonia. Jika selama ini kita mengenal raja tersebut dangan nama Raja Namrudz, maka bisa jadi itu adalah nama atau gelar lain dari Hamurabi, akan tetapi nama ini tidak dikenal dalam catatan sejarah.

Masih banyak ayat-ayat lain yang menceritakan jurus-jurus ampuh perdebatan para rasul Allah lainnya, tetapi dalam tulisan ini akan saya cukupkan dengan perintah Allah melalui nabinya, Muhammad SAW. sebagaimana berikut:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Ajaklah ke jalan Tuhan-mu dengan kebijaksanaan, nasehat yang baik, dan bantahlah mereka dengan argumentasi yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah yang paling tahu tentang siapa saja yang tersesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah yang paling tahu tentang siapa saja yang mendapat petunjuk.

Dari legitimasi kenabian, sebagaimana uraian di atas, kita juga akan mendapati legitimasi dari peradaban lainnya, peradaban para filosof Yunani. Di sana kita akan mendapati perdebatan juga menjadi senjata yang mumpuni untuk mengajak, mempertahankan atau menolak sesuatu. Perdebatan telah menjadi traktor perubahan. Kalau dalam bahasa Arab perdebatan diwakili dengan kata jadal, mujadalah atau ihtijaj, di Barat bahasa perdebatan itu berubah menjadi dialectic. Mulai dari Socrates, Plato, dan yang terkenal, istilah Dialektika Aristoteles (tolong koreksi saya jika keliru), kita melihat para ilmuwan dan motor perubahan tersebut juga membekali diri dengan jurus debat.

Saya belum memaparkan pendapat-pendapat para ulama dan fuqaha muslim tentang ilmu debat ini, lain kali saja, kalau diperlukan. Sampai di sini dulu.

Salam Hangat,

Shocheh Ha.

(Tulisan ini adalah dokumentasi posting saya di milis alumnifutuhiyyah@yahoogroups.com pada tanggal 22 Juli 2008)

YANG MANA ISLAM (2)

YANG MANA ISLAM (2)

Kasus utusan Raja Habsyah ke Nabi saw. barangkali bisa dilirik. 30-an utusan mewakili umat Kristen Habsyah datang ke Nabi bersama Ja`far bin Abu Thalib ketika kembali ke Mekah, dari negeri “suaka”, Habsyah.

Setelah meneliti ciri-ciri dan keadaan Nabi serta mendengarkan apa yang diturunkan kepada Nabi, mereka semua lantas mengimani kebenaran Muhammad.

Bagaimanakah bentuk keimanan mereka? Apakah sama dengan keimanan orang yang keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang? Tidak, keimanan mereka hanya sebatas melanjutkan keimanan yang sebelumnya. Keimanan mereka tidak berupa perpindahan “agama” dari Kristen ke Islam karena salah satu lebih unggul dari yang lain, keimanan mereka hanya melanjutkan keimanan yang sebelumnya telah mereka dapatkan dari Isa. Mereka hanya mengimani bahwa apa yang dibawa Muhammad adalah benar sebagaimana yang telah dibawa oleh Isa dengan Injilnya sebelum ini. Sepulang mereka ke Habsyah mereka tetap beribadah dan bermuamalat sebagaimana yang biasa mereka lakukan. Ayat ke 52 – 55 dari surat al-Qashash/28 barangkali bisa kita renungkan bersama.

Jika umat “Islam” ingin memandang kafir umat Kristen atau Yahudi, itu “bisa” juga karena ada ayat yang menyebut mereka begitu. Hal tersebut sebagai konsekuensi dari kepercayaan Trinitas atau Tuhan beranak yang menyalahi monoteisme. Namun sebutan kafir untuk Ahl Kitab di sini hanya sama dalam sebutan, tetapi berbeda dalam esensi. Mereka memang kafir dari sisi cakupan makna kafir itu sendiri, tapi bukan kafir dalam makna istilahi, makna yang lebih khusus. Dalam makna yang lebih khusus/istilahi ini, mereka bukan kafir, mereka bagian dari umat-umat yang sebelumnya telah mendapatkan syariat dari Tuhan (ahl kitab).

***

Jika kita menerima pendapat yang mengatakan, “Setiap syariat rasul yang datang kemudian menghapus/menyempurnakan syariat rasul yang sebelumnya” maka tidak salah jika Islam bukan saja Akidah, melainkan juga syariat.

Tapi, menurut saya, pendapat ini tidak harus diterima secara rigid. Dengan alasan, masih melanjutkan ayat, “wa likullin ja`alna minkum syir`atan wa minhajan” dalam lanjutannya disebutkan, “walau sya’a Allahu laja`alakum ummatan wahidatan, walakin liyabluwakum fi ma atakum, fastabiqul khairat. Ila Allahi marji`ukum jami`a (al-Maidah/5: 48) Dari sini kita bisa memahami bahwa syariat-syariat tersebut merupakan semacam “rule of game” dalam perlombaan berbuat baik. Yang Islamnya mengikuti Syariat Nabi Muhammad aturannya memakai aturan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., yang Islamnya mengikuti Syariatnya Isa, Musa atau yang lainnya maka aturan mainnya mengikuti aturan yang dibawa oleh masing-masing rasul. Dengan aturan-aturan ini perlombaan berbuat baik bisa dimulai. Juri utamanya bukan kita, tapi Yang Di Sana! Maka kita tak bisa saling menyalahkan sampai bertengkar sendiri-sendiri. Ayat-ayat surat al-Maidah sebelum itu, yakni ayat nomer 43 – 47 mendukung pemahaman model begini, silakan rujuk, dan jika saya keliru memahami, tolong dikoreksi.

Jika syariat yang datang kemudian menghapus yang sebelumnya, mengapa al-Qur’an masih memuji-muji para rahib yang tekun membaca ayat-ayat Allah (bisa jadi Injil, atau lagu-lagu pujian, atau lainnya, orang Kristen yang lebih tahu apa tahajudnya di malam hari:-) di tengah malam yang disertai keimanan kepada Dzat Yang Maha Besar. Jika syariat yang lalu terhapus, mengapa masih diperbolehkan “mencicipi” bagian dari syariat terdahulu itu dalam makanan dan perkawinan?! Sekali lagi, jika syariat terdahulu terhapus, mengapa orang Kristen disebut dengan nada memuji sebagai orang yang paling dekat dengan orang-orang yang mengimani Muhammad, hal itu dikarenakan di dalam Kristen ada pendeta-pendeta dan rahib yang saleh.

(Mungkin, bisa saja, kita menemukan fenomena lain ketika menengok ke ranah lain, yang berbau politis/nafsu ingin menjadi umat yang superior, misalnya, di sana akan disebut, “walan tardla `ankal Yahud wa al-Nashar …”, dengan disebutkannya mereka ini saja, bisa jadi, mengindikasikan keberadaan mereka, bukan keterhapusan mereka)

(tulisan sebelumnya: Yang Mana Islam 1)

Salam,

Shocheh Ha.

(Tulisan ini adalah dokumentasi diskusi saya di milis JIL pada medio bulan Oktober – November 2005. Sudah pernah saya blogkan di: http://fakraa.wordpress.com/2007/10/16/yang-mana-islam-2/ yang saya lupa passwordnya, dan saya buat lagi blog ini http:fakra.wordpress.com.

TANGGAPAN ANGGOTA MILIS

1. Tanggapan Ulil Abshar Abdallah:

Ochie,
Penjelasan anda ini sangat bagus sekali. Terima kasih anda telah menyumbangkan gagasan yang sangat penting.

Saya menunggu sumbangan-sumbangan anda yang lain yang cerdas.

***

2. Tanggapan Ading:

Shocheh menulis:

Jika syariat yang datang kemudian menghapus yang sebelumnya, mengapa al-Qur’an masih memuji-muji para rahib yang tekun membaca ayat-ayat Allah (bisa jadi Injil, atau lagu-lagu pujian, atau lainnya, orang Kristen yang lebih tahu apa tahajudnya di malam hari) di tengah malam yang disertai keimanan kepada Dzat Yang Maha Besar.

Jawaban saya:

Lho, apa kaitan pujian Allah terhadap mereka itu dengan masalah syariat lama dan syariat baru? Kalau yang Anda kutip itu adalah QS 3:113 (mudah-mudahan saya tidak keliru), maka serangkai dengan beberapa ayat sebelum dan sesudahnya, Allah berbicara kira-kira begini: Hai Muhammad, sebagian besar Ahli Kitab itu adalah orang-orang yang fasik meskipun ada juga yang beriman (ayat 110). Mereka mendapat kemurkaan Allah karena kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi (ayat 112). Nun di sana, ada segolongan Ahli Kitab yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, mereka juga bersujud, mereka beriman kepada Allah, mereka menyuruh kepada perbuatan ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar, mereka bersegera dalam melakukan kebajikan, dan mereka adalah orang-orang saleh (ayat 113 dan 114). Untuk mereka itu pahala pasti diberikan oleh Allah (ayat 115).

Ayat-ayat di atas sama sekali tidak menunjuk kepada objek umum. Nabi Muhammad sendiri tidak tahu satu per satu orang yang dipuji oleh Allah itu. Kalau orang-orang semacam itu ada di hadapan Nabi dan mereka mendengar seruan Nabi Muhammad, maka bisa kita pastikan mereka akan beriman kepada Nabi Muhammad dan mengikuti syariat yang baru seraya meninggalkan yang lama.

Kita tentunya masih ingat kisah seorang pendeta Bukhaira yang bertemu dengan Muhammad kecil dalam perjalanan beliau berdagang ke Syam bersama pamannya, Abu Thalib. Saya kira jenis Ahli Kitab semacam itulah yang dimaksud oleh QS 3:113 itu. Dalam peristiwa itu si pendeta berkata kepada Abu Thalib, bahwa jika kelak Muhammad telah dewasa dan diangkat menjadi Nabi, maka ia pasti akan beriman dan mengikuti ajarannya. Sekali lagi, pujian itu tidak bermakna bahwa syariat mereka boleh diberlakukan secara umum walaupun sudah datang syariat Nabi Muhammad.

Kalau Anda berbicara tentang pendeta-pendeta dan rahib-rahib yang nun jauh di sana, yang tidak mendengar seruan Nabi Muhammad, atau mereka yang hingga kini tidak punya akses untuk tahu dan mempelajari Islam, maka it’s oke; syari’at mereka masih boleh berlaku khusus bagi mereka sendiri. Saya termasuk orang yang percaya bahwa jika amal mereka baik, maka Allah pasti akan memasukkan mereka ke dalam surga.

Shocheh menulis:

Jika syariat yang lalu terhapus, mengapa masih diperbolehkan “mencicipi” bagian dari syariat terdahulu itu dalam makanan dan perkawinan?!

Jawaban saya:

Lalu apakah dengan kebolehan itu berarti syariat mereka secara umum masih sah untuk tetap diberlakukan walaupun sudah datang Nabi Muhammad yang membawa syariat baru? Kita belum bisa mengetahui persis apa hikmah di balik keputusan Allah itu. Tapi yang pasti, kebolehan itu hanya menyangkut sebagian saja dari syariat mereka saja, tidak semuanya. Saya hanya menduga, bahwa barangkali makan daging sembelihan mereka dan menikahi wanita-wanita mereka tidak akan menimbulkan konsekuensi yang fatal bagi seorang Muslim. Di lain pihak, hal itu akan mendekatkan hubungan sosial dan kekeluargaan antara kaum Muslim dan Ahli Kitab.

Shocheh menulis:

Sekali lagi, jika syariat terdahulu terhapus, mengapa orang Kristen disebut dengan nada memuji sebagai orang yang paling dekat dengan orang-orang yang mengimani Muhammad, hal itu dikarenakan di dalam Kristen ada pendeta-pendeta dan rahib yang saleh.

Jawaban saya:

Bahwasanya di dalam Ahli Kitab ada pendeta-pendeta dan rahib-rahib yang saleh, Al-Quran sudah menyebutkannya. Dan bahwasanya Al-Quran juga menyebut orang-orang Nasrani itu lebih dekat dengan umat Muhammad, maka itulah faktanya. Bukankah mereka adalah pengikut Nabi Isa yang diutus persis sebelum Nabi Muhammad? Artinya, dibandingkan umat nabi-nabi lain, maka umat Nabi Isalah yang terdekat dengan umat Nabi Muhammad (kira-kira 570 tahun). Saya pribadi berpendapat, bahwa pernyataan Al-Quran ini boleh jadi mengandung aspek politis, untuk membangkitkan rasa hormat dan simpati kaum Nasrani kepada Islam. Dengan begitu, diharapkan mereka mau mendekati dan mempelajari ajaran-ajaran Islam. Wallahu a’lam.

3. Jawaban Shocheh atas Tanggapan Ading:

Buat Mas Ading, (thanks atas responnya).

Untuk melihat keterkaitannya, ada baiknya kalo kita memulai dari ayat 93 sampai yang Anda sebut, 115. Di sana akan ditemukan, “maka ikutilah millah Ibrahim yang hanif, ia bukan orang musyrik” (saya garis bawahi kata millah dikaitkan dengan musyrik. Kita tahu musyrik adalah urusan akidah, maka millah sebagaimana din/agama yuthlaqu `ala aqidah.)

Yang tepat, ayat 110 berbicara tentang umat terbaik. Pada ayat 112 jangan digeneralisir, karena di situ ada “illa/pengecualian” yang kurang diperhatikan. Pada ayat selanjutnya, 113-115 merupakan ayat yang secara implisit saya utarakan. Menurut saya, kurang tepat jika mereka diasumsikan sebagai “nun di sana”, tetapi lebih dekat jika ayat ke 113 ini dipahami sebagai penjelasan dari ayat sebelumnya yang berupa “illa/pengecualian”.

Permasalahannya: kita tidak tahu person-person. Lantas, apakah kita akan menggeneralisir? Jika kita melakukan generalisir, apakah manfaat/tujuan dari ayat ini? Ayat ini tentu saja bukan untuk disia-siakan. Minimal, menurut saya, ayat tersebut untuk menyentuh dan menggugah hati kita agar berlaku bijak dan toleran (kita tak mungkin toleran terhadap sesuatu yang tidak ada, bukan?)

Kedekatan yang dimaksud, saya kira, bukan kedekatan dalam interval waktu. Kedekatan tersebut lebih tepat dipahami sebagai kedekatan “perasaan”. Karena alasan yang digunakan dalam kedekatan ini adalah kesalehan para pendeta dan rahib (qissisin wa ruhban) yang menjalani hidup suci. Perasaan itu adalah kedamaian dan ketenteraman. Ajaran Isa masyhur sebagai ajaran kedamaian,
demikian pula ajaran Muhammad yang kemudian memakai nama Islam adalah ajaran damai–sebagaimana cakupan makna dalam nama Islam itu sendiri.

Terus selanjutnya, saya ajukan “bukti” lain. Kita bisa merenungkan ayat berikut ini: “Andai Allah tidak membuat imbangan di antara manusia maka tentu “sinagog-sinagog”, “gereja-gereja”, “tempat-tempat memuja” dan “masjid-masjid” yang banyak disebut nama Allah di dalamnya akan dihancurkan …” (al-Hajj/22:40)

Bukankah ini sebuah pengakuan akan eksistensi mereka, bukan keterhapusan salah satunya. Andai yang diinginkan keterhapusan, tentu lebih tepat untuk mendukung satu saja dan menghapuskan/menghancurkan yang lainnya.

Ayat berikut juga sangat menarik untuk direnungkan karena meskipun melakukan koreksi agama (baca: akidah), tetapi tidak melakukan koreksi (apalagi penghapusan) syariat agama sebelum Muhammad: “Wahai Ahl Kitab, mari kita sepakati satu ungkapan saja, “kita tidak akan menyembah tuhan selain Allah, tidak akan menyekutukan-Nya dengan apa pun juga, dan tidak akan mengangkat tuhan selain Allah.” Jika kalian menolak, saksikanlah kami “muslimun” (Alu Imran/3: 64). (bukankah pemahaman kata “muslimun” disini lebih tepat jika kita gambarkan sebagaimana “aslama/muslim”nya Ibrahim?! Dan bukan syariat Muhammad!)

***

4. Tanggapan Ading atas Jawaban Shocheh:

Sdr. Shocheh,

Kenapa kata daf’u dalam QS 22:44 Anda terjemahkan sebagai “membuat imbangan”? Saya pastikan terjemahan itu keliru, sebab daf’u berasal dari dafa’a yang artinya “menolak”. Jadi terjemahan yang benar dari QS 22:40 adalah: … Seandainya Allah tidak menolak (kejahatan; keganasan) sebagian manusia terhadap manusia yang lain, niscaya telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, sinagog-sinagog dan masjid-masjid yang di dalam banyak disebut asma Allah

Kesimpulan yang bisa kita petik dari ayat di atas adalah, bahwa Allah tidak menghendaki adanya kejahatan atau keganasan seorang manusia terhadap manusia lainnya, atau satu umat terhadap umat lainnya. Kalau itu dibiarkan terjadi, maka akan ada saling penghancuran tempat-tempat ibadah semua golongan (Yahudi, Nasrani, Islam, dsb). Bukan cuma tempat-tempat ibadah, bahkan seluruh bumi ini bakal hancur kalau Allah tidak mencegah keganasan sekelompok manusia terhadap manusia yang lain (QS 2:251).

Huddimat” (=dihancurkan) dalam ayat itu adalah kata-kerja pasif yang pelakunya bukanlah Allah melainkan manusia itu sendiri. Dalam banyak ayatnya, Al-Quran menggunakan kata-kerja pasif tak bersubjek, untuk menggambarkan bahwa meskipun semua akibat itu terjadi atas izin Allah, tapi
penyebabnya adalah manusia itu sendiri -itulah yang disebut sunnatullah.

***

5. Jawaban Shocheh Atas Tanggapan Ading:

Tentu saja “daf`u” secara harfiah memiliki makna sebagaimana yang Anda sebut, Mas Ading. Dalam terjemahan sebelumnya saya tidak menggunakan makna harfiah tersebut, melainkan hasil yang dicapai “daf’u” nantinya. Pemahaman dari “daf`ullahi al-nasa ba`dlahum bi ba`dl” (garis bawah pada kata ba`dlahum bi ba`dl). Artinya, ada manusia yang kuat, yang lemah, yang lebih
kuat, yang lebih lemah, yang biasa-biasa… dst. Jika yang kuat berbuat melampaui batas, lambat atau cepat, yang semula lemah dan tertindas, bisa saja muncul harga diri dan kekuatannya. Kekuatan itu bisa saja tumbuh dari persatuan orang-orang lemah tertindas atau mendapat “belas kasihan” dari orang/kelompok lain yang lebih kuat yang membantu mereka melawan kekuatan lalim yang menindas, sampai kondisi berubah. Perubahan itu bisa saja berupa hancurnya kekuatan lalim atau berkurangnya kelaliman sampai pada batas wajar. Hasil ini yang saya tuju, dan hasil terakhir ini pasti terjadi karena hal itu merupakan bagian dari sunnatullah (baca: begitulah cara Allah menjaga/membuat keseimbangan kekuatan-kekuatan dalam ciptaan-Nya untuk eksistensi makhluk itu sendiri).

Ya, begitulah “huddimat“, dan itu bisa dipahami: andai Allah tidak membuat “imbangan” (boleh juga, “menolak”) kejayaan suatu kelompok yang melampaui batas (bisa kelompok mana saja) dengan kejayaan yang lain, niscaya kelompok yang melampaui batas tersebut akan menghancurkan “sinagog2″ … dst. Bisa ambil contoh, Israel (yang lemah dalam jumlah & mental) dengan kejayaan ekonomi dan lobinya bisa mengikat Amerika yang kuat untuk melindunginya dan membackingnya. Begitu pula Palestina. Andai Israel tanpa Amerika (atau negara kuat lainnya) entah bagaimana bentuknya, kok berani macam-macam di tengah orang-orang Arab “yang suka tengkar”. Begitu pula Palestina, andai tidak di tengah-tengah Arab, atau andai tidak membawa Islam, entah sudah seberapa jauh Israel semakin berani berlagak!

***

6. Tanggapan Tasning:

Salam,
Saya memiliki beberapa “keluhan” pikiran membaca posting anda di bawah ini. Terus terang saya tidak sedang ingin membela klaim berpikir atau ajaran apapun selain lebih kepada keinginan untuk bersikap “adil” dan bertanggungjawab dalam berpikir. Hebat sekali yah!

Kasus utusan sejumlah umat kristiani dari Raja Habsyah yang mengunjungi Nabi saw apakah bisa kita sebut sebagai upaya mencari tahu ataukah upaya mencari kebenaran yang kemudian menerbitkan iman?

Anda mengatakan seperti di dua paragraf dibawah ini:

Setelah meneliti ciri-ciri dan keadaan Nabi serta mendengarkan apa yang diturunkan kepada Nabi, mereka semua lantas mengimani kebenaran Muhammad.”

Bagaimanakah bentuk keimanan mereka? Apakah sama dengan keimanan orang yang keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang? Tidak, keimanan mereka hanya sebatas melanjutkan keimanan yang sebelumnya. Keimanan mereka tidak berupa perpindahan “agama” dari Kristen ke Islam karena salah satu lebih unggul dari yang lain, keimanan mereka hanya melanjutkan keimanan yang sebelumnya telah mereka dapatkan dari Isa. Mereka hanya mengimani bahwa apa yang dibawa Muhammad adalah benar sebagaimana yang telah dibawa oleh Isa dengan Injilnya sebelum ini. Sepulang mereka ke Habsyah mereka tetap beribadah dan bermuamalat sebagaimana yang biasa mereka lakukan. Ayat ke 52 – 55 dari surat al-Qashash/28 barangkali bisa kita renungkan bersama.

***

Ochie. Tidakkah sebaiknya kita perlu menyelesaikan dulu beberapa soal tentang apa yang kita anggap sebagai iman itu? Dan apa yang bisa kita definisikan tentang agama.

Bagaimana mungkin akal anda tidak sedikitpun “terusik” menghadapi sejumlah keganjilan yang terjadi pada khabar sejarah yang anda sodorkan itu. Saya tidak tahu keganjilan itu bersumber secara intrinsik dari kesalahan menerima keutuhan riwayat ataukah kesalahan memahami riwayat itu. Keganjilan itu biarlah saya urai secara sederhana berikut ini.

1. Pengetahuan sebelum meneliti (sesuai dengan istilah yang anda gunakan) nabi dan setelah meneliti, tentu harus kita asumsikan terjadi dua kondisi pengetahuan yang berbeda. Keadaan tidak cukup pengetahuan dan berkecukupan pengetahuan. Kehendak untuk meneliti oleh utusan kristiani itu secara sederhana kita andaikan sebagai upaya untuk membenarkan atau menafikan sesuatu (nantilah dulu tergesa-gesa menyebut itu sebagai keimanan). Bagaimana mungkin anda mengatakan mereka lantas mengimani kebenaran Muhammad sekaligus mempercayai tidak ada yang berubah dengan utusan itu setelahnya? Kalaulah tetap begitu adanya, masih bisakah kita menyebut apa yang terjadi pada utusan itu sebagai sebentuk keimanan? Bukankah keimanan mensyaratkan penerimaan kepada “sesuatu”? Peralihan dari kondisi tidak mengetahui menjadi mengetahui.

Dengan kata lain, keimanan selalu meniscayakan terjadinya perubahan kesadaran akan sesuatu. Agak lucu bilamana seorang murid tidak melakukan hal-hal yang diperlukan seorang murid terhadap guru yang ia tahu persis (iman) kadar keilmuannya dan kebenaran perannya sebagai guru. Padahal ia tahu persis kebutuhannya sebagai murid dan kemampuan memberi sang guru. Jika begitu masihkah layak murid itu disebut sebagai murid? Benarkah murid telah benar-benar mengetahui jati-diri sang guru?

2. Saya tidak tahu persis apa yang ingin anda sampaikan dengan kalimat:

Bagaimanakah bentuk keimanan mereka? Apakah sama dengan keimanan orang yang keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang? Tidak, keimanan mereka hanya sebatas melanjutkan keimanan yang sebelumnya”.

***

Kita perlu menyelesaikan dua jenis persoalan yang berbeda disitu. Yakni; Apakah yang bisa kita pahami dengan pernyataan “keimanan yang membawa orang keluar dari kegelapan menuju cahaya” dan keimanan yang tidak berkonsekuensi seperti itu. Apakah lantas bisa kita andaikan ada keimanan yang tidak membuahkan cahaya dan tidak bermula dari kegelapan? Ataukah urusan kegelapan dan cahaya harus kita kesampingkan ketika sedang menyoal keimanan yang anda perbincangkan itu. Yang kemudian anda sebut sebagai “keimanan yang sekedar melanjutkan keimanan yang sebelumnya”.

Saya meng-imani Pluto sebagai planet terjauh sekaligus mengimani penemuan terakhir saintis; bahwa telah ditemukan X sebagai planet terjauh setelah Pluto. Untuk semakin membuat runyam saya menyatakan pula keimanan saya ini bukan seperti kegelapan dan bukan pula cahaya. Ochie. Kenapa terasa “berbunyi” seperti itu logika anda. Maafkan ketidaksopanan kesimpulan saya.

Keluhan nomer 3 dan 4 terutama tentang keunggulan agama biarlah saya tunda dulu demi menjaga emosi dan keterjagaan logis saya dari banalitas dan kehendak ego untuk asal beda yang tiba-tiba muncul.

Terus terang saya pusing dengan pujian Mas Ulil pada posting-an anda (tanpa bermaksud meremehkan kelebihan yang anda miliki yang sudah ada). Saya kok tidak dapatkan “feel” seperti yang Mas Ulil rasakan sebagai cerdas dari posting-an anda. Mas Ulil tolong “deliver” esensi posting itu. Apa yang “nampak” untuk anda dan “tersembunyi” bagi saya. Soalnya saya merasa cukup “tersihir” secara ad hominem untuk mempelajari apa yang Mas Ulil anggap baik dan cerdas.

***

7. Jawaban Shocheh atas Tanggapan Tasning:

Sebab kedatangan delegasi Habsyah tentu berkaitan erat dengan kedatangan para sahabat Nabi ke Habsyah yang hendak mencari tempat aman demi mempertahankan keimanan mereka dan menghindari kejaran orang-orang kafir Qurasy. Namun rupanya, orang-orang kafir Qurasy mengejar pula ke Habsyah dan berhasil menghadap raja menenteng oleh-oleh. Orang-orang tersebut meminta agar sahabat Muhammad diserahkan kepadanya. Sang Raja (yang terkenal adil itu) dengan tegas menjawab tidak akan menyerahkan pihak mana pun sebelum mendengar alasan dari masing-masing pihak. Pada kesempatan inilah para sahabat menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dan yang mereka alami.

Setelah mendengar alasan masing-masing, Raja mengambil sikap untuk melindungi para pengikut Muhammad dan meminta pulang orang-orang kafir Qurasy.

Dari uraian yang disampaikan para sahabat Muhammad, tentu saja Raja Habsyah yang juga seorang pemeluk Kristen taat itu tertarik hatinya. Hal ini dikarenakan keimanannya pada ajaran yang dianutnya—yang kita tahu juga terdapat dalam ajaran Yahudi—menubuwatkan ‘akan datangnya seorang nabi atau mesiah’. Ajaran yang mereka anut menyebutkan itu dengan menyertakan
ciri-ciri dan ajaran yang menjadi risalahnya. Al-Qur’an dengan tegas membenarkan penubuwatan ini ketika mengatakan, “orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Ahl Kitab) mengetahuinya sebagaimana mereka mengetahui anak-anak mereka.”

Jadi, kunjungan tersebut bukan dalam ‘upaya mencari tahu’ dan juga bukan dalam ‘upaya mencari kebenaran’, melainkan mencocokkan realita yang ada dengan keimanan yang telah ada dalam diri mereka, juga membuktikan kemukjizatan ajaran mereka yang telah dengan benar menubuwatkan realita tersebut. Maka, ketika ciri-ciri dimaksud ditemukan pada realita, mereka mengakui dan menyatakan kebenaran realita tersebut (iman).

Sekarang tentang iman yang mensyaratkan.

Mari kita renungkan ayat ke 136-137 dari surat al-Baqarah/2 atau ayat ke 84 dari surat Alu `Imran/3, “Katakan! Kami beriman kepada Allah dan mengimani apa yang telah diturunkan kepada kami, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`kub, Asbath dan (pointnya, mengimani) apa yang telah diberikan kepada Musa, Isa dan nabi-nabi lainnya ….”

Kita renungkan, bagaimanakah bentuk iman semacam ini (iman kita terhadap rasul-rasul dan risalah-risalah sebelum Muhammad) dan apa tuntutan serta syaratnya? Bandingkan dengan keimanan delegasi Habsyah, haruskah dibikin berbeda?!

* Biasanya, orang yang sudah tahu lebih dulu ketika ingin membuktikan sesuatu dari orang lain, ia tidak akan bertanya bertele-tele. Ia cukup berbekal pertanyaan singkat tapi langsung pada pokok pembahasan yang sekiranya tak akan bisa dijawab, kecuali oleh orang yang benar-benar khabir dalam hal tersebut. Model seperti itulah pertanyaan Hirakleus kepada Mu`awiyah, dan sangat mungkin, begitu pula model investigasi delegasi Habsyah. Artinya, mereka tidak mempelajari secara rinci ajaran yang dibawa oleh Nabi dan karena itu, tentu saja, mereka bukan pengikut apalagi murid Nabi saw., namun begitu mereka mengimani. Iman mereka bukan berangkat dari titik nol, melainkan sebagai konsekuensi (kelanjutan) dari iman mereka terhadap ajaran yang telah mereka anut sebelumnya.

Saya merasa telah berusaha menetralkan keterusikan Anda, semoga saya tidak gagal.

***

8. Tanggapan Tasning atas Jawaban Shocheh:

Ochie terimakasih. Saya menghargai renungan dan perspektif anda akan sejarah. Mengenai kontinuitas keimanan saya setuju sepenuhnya.

Saya hanya perlu mempertanyakan sejumlah hal yang elementer berdasarkan posting anda terdahulu.

Karena kita mengerti setiap hal penciptaan tuhan pasti memiliki tujuan, maka apa sebenarnya maksud dengan nubuat yang terdapat dalam kitab umat musa dan isa mengenai kedatangan seorang rasul di kemudian hari yang membawa risalah dan membawa kitab allah? Mungkinkah itu bermakna menambah ramai perlombaan keimanan yang telah berlaku sebelumnya terhadap ajaran Musa dan Isa? Kalau yang dibawa oleh Musa atau Isa sudah cukup, maka untuk apa lagi kiranya tuhan mengutus rasul dan menyematkan qur’an di “dada”-nya? Apakah yang terakhir itu datang untuk sekedar membenarkan yang terdahulu ataukah pula menyempurnakan?

Sori, jika terkesan agak “fundamentalis” karena memang fundamental.

***

9. Jawaban Shocheh atas Tanggapan Tasning:

Sebelumnya, Selamat Idul Fitri untuk semuanya. Mohon maaf lahir dan batin. Amma ba`du,

Berbicara tentang nubuwatan, kita akan banyak menemukan hal semacam itu, tak terkecuali di dalam Islam. Ada Imam Mahdi, Dajjal, turunnya Isa as., dst.

Qabla kulli syai’, nubuwatan tersebut akan kita percayai (imani) kebenarannya, meskipun kita tidak tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap syariat-syariat yang telah ada sekarang ini. Ada diriwayatkan Nabi Isa akan datang dan menghancurkan salib-salib, tapi hal itu tak bisa dipahami bahwa Nabi Isa mendukung pendapat yang mengatakan syariat yang datang belakangan menghapuskan yang sebelumnya. Hal itu justru bisa dipahami karena Nabi Isa ingin meluruskan syariat yang penyimpangan akidahnya dimulai dari kisah penyaliban. (Lagi-lagi, inti masalahnya ada pada akidah)

Maha suci Tuhan untuk melakukan sesuatu yang sia-sia. Segala ciptaan-Nya mempunyai hikmah, tujuan dan tanda-tanda (ayat) bagi kebesaran dan keagungan-Nya. Namun begitu, kita tak selalu bisa menangkap maksud yang dikehendaki-Nya, sebagaimana para malaikat tak bisa menangkap maksud penciptaan Adam dan menjadikannya sebagai khalifah, kecuali jika Dia yang
Maha Agung memberitahukan maksud tersebut.

Kalau kita rujuk ke dalam al-Qur’an, disana akan banyak ditemukan kata “mushaddiqun” atau “mushaddiqan“, yang memiliki arti “membenarkan/mendukung” rasul atau kitab yang telah ada sebelumnya dan, sependek tahu saya, tidak ditemukan kata yang memiliki arti “menghapus”, “mengganti” atau “menyempurnakan” rasul atau kitab sebelumnya. Ada kata yang berarti “mengganti” tapi didahului dengan penegasian sehingga menjadi “tak akan kau temukan perubahan/penggantian atas sunnatullah”, ungkapan ini tentu saja mendukung pemahaman arti “membenarkan/mendukung” bukan “menghapus atau menyempurnakan”.

Barangkali ayat ke 81 dari surat Ali `Imran bisa kita renungkan, “Ketika Allah mengambil mitsaq (janji setia) para nabi, Dia berkata: ‘sungguh yang Ku-berikan kepada kalian adalah kitab dan hikmah, kemudian datang seorang rasul yang membenarkan (mushaddiqun) apa yang ada pada kalian …”

Fenomena lain, kita tahu tidak semua nabi atau rasul hidup saling menggantikan (maksud saya, satu meninggal datang yang lain secara berurutan), melainkan tak sedikit nabi dan rasul yang hidup dalam satu masa yang sama, tetapi berbeda lokasi penyeruan. Apakah ajaran masing-masing saling mengoreksi, saling menyempurnakan?! Yang pasti, mereka saling membenarkan/mendukung.

Hanya dengan dasar, syariat masing-masing benar sajalah ungkapan “perlombaan berbuat baik” (sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah: 48, yang telah saya sebut ketika menjelaskan tentang syariat, dan masih terdapat ayat-ayat lain di surat lainnya) bisa dimulai. Kalau syariat yang lain sudah jelas salah maka tidak akan ada artinya perlombaan ini. Tak ada lomba, yang ada cuma satu melejit, yang lainnya terperosok sebelum naik gelanggang perlombaan.

Termasuk fundamental adalah agar semua orang yang mengimani Tuhan juga mengimani firman-firman-Nya. Firman-Nya lebih layak didahulukan sebelum ucapan-ucapan selain-Nya.

Firman Tuhan selalu konsisten (karena Dia Maha Tahu segala hakikat), berbeda dengan ucapan selain-Nya (yang hanya meraba-raba mencari hakikat) yang sangat mungkin berubah-rubah bahkan berlawanan, “walau kana min `indi ghairillahi lawajadu fihi ikhtilafan katsiran.” Dan kita tak mungkin bisa memahami sesuatu itu konsisten atau saling berlawanan, kecuali jika kita bisa
menempatkan segala sesuatu tersebut pada tempatnya. Jika masing-masing ditempatkan pada tempatnya yang tepat, maka tak perlu terjadi saling silang apalagi sampai benturan dan tabrakan.

***

(tulisan sebelumnya: Yang Mana Islam 1)

YANG MANA ISLAM (1)

YANG MANA ISLAM (1)

Islam muncul sebagai pengakuan Nabi Ibrahim ketika tidak menemukan ketuhanan pada semua benda, semisal bintang, bulan, matahari dan makhluk-makhluk lainnya. Islam adalah kepasrahan Beliau kepada Dzat yang maha tinggi, maha besar, maha kuasa dan serba maha lainnya. Di hadapan dzat yang semacam itu, yang serba maha, tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain tunduk dan pasrah.

Selanjutnya, semua rasul diutus dengan satu pesan, “la ilaha illa Allah“, tak ada tuhan selain Allah. Hal ini tak lain, karena dzat yang serba maha itu menamakan dirinya Allah untuk merujuk suatu dzat yang spesifik, dzat yang serba maha. Asal kata Allah itu sendiri adalah gabungan dari definite article “al” dan kata “Ilah” dalam bahasa Arab.

Kata ilah sebelumnya sudah dikenal oleh semua orang, tapi maksud kata itu dipakai oleh manusia bukan untuk merujuk pada satu dzat atau ilah yang serba maha. Melainkan untuk menyebut segala sesuatu yang mereka anggap berjasa untuk memberi kebaikan atau keburukan dalam kehidupannya. Sesuatu itu bisa matahari yang berjasa memberi penerangan, sesuatu itu bisa air yang berjasa memberi kesuburan, bisa ruh dlsb… Jadi, kata ilah masih bersifat umum dalam pemahaman manusia. Penambahan “al” pada kata tersebut untuk menunjukkan bahwa ilah yang ini, yang serba maha, tidak sama dengan ilah-ilah yang telah dikenal sebelumnya, ilah yang ini tidak umum seperti pemahaman sebelumnya.

Dan ilah yang serba maha inilah ilah yang hakiki, Allah dalam bahasa Arabnya. Tetapi sebenarnya, nama apa pun jika hal itu dimutlakkan untuk menyebut dzat yang serba maha, yang menguasai semesta raya, maka pada intinya ia telah menyebut tuhan yang benar. Karena itulah, Allah juga memberikan banyak nama dan disebut dengan banyak nama pula, bahkan Dia bisa saja mengilhamkan kepada siapa saja yang dikehendaki untuk menyebut-Nya dengan sebuah nama yang belum pernah kita tahu sebelumnya.

Karena semua rasul diutus dengan sebuah kalimat pengenalan dan penetapan “la ilah illa Allah”–Allah adalah Dzat yang serba maha itu sendiri—maka sebagaimana Ibrahim, tak ada apa pun yang bisa dilakukan oleh makhluk di hadapan Dzat yang serba maha ini selain tunduk dan pasrah. Dan itulah Islam atau Muslim, kata yang mewakili sikap tunduk dan pasrah ini dalam bahasa Arab.

Dzat yang serba maha, yang ditemukan oleh Ibrahim, ini tidak pernah dilihat oleh Ibrahim atau makhluk mana pun sebelumnya. Dzat itu ditemukan bukan dengan indera melainkan dengan perenungan dan pemikiran terhadap bukti-bukti yang terdapat di sekeliling kita, betapa agungnya semesta, karena itu Ibrahim berkeyakinan betapa maha agungnya pencipta semesta ini, dan selanjutnya pasrah pada Dzat yang maha agung tersebut (aslamtu li rabbil `alamin).

Dari sini kita bisa mulai menarik benang merahnya. “la ilaha illa Allah” atau pengakuan dan kepasrahan kepada Dzat yang serba maha adalah sebuah keyakinan, akidah.

Pengakuan dan kepasrahan seperti itu disebut dengan islam atau muslim dalam bahasa Arab. Jadi, muslim dan juga agama Islamyuthlaqu `alal `aqidah” bukan syariah. Islam digunakan untuk menunjukkan keyakinan monoteisme yang dibawa para rasul, bukan untuk menunjukkan syariah yang dibawa para rasul. Karena itu, ungkapan “agama disisi Allah hanyalah Islam” adalah benar belaka dan tak belawanan dengan apa pun. Sementara untuk syariahnya, setiap rasul memiliki syariah yang berlainan, (likullin ja`alna minkum syir`atan wa minhaja). Ibrahim punya syariat sendiri, Musa punya syariat sendiri, Isa punya syariat sendiri dan Muhammad juga punya syariat sendiri.

Nah, bagaimana bisa disebut Islam adalah akidah dan juga syariah sekaligus, artinya keduanya tidak bisa dipisahkan?!

Hal ini bisa terjadi jika kita menerima pendapat yang mengatakan, “setiap syariat rasul yang datang kemudian menghapus syariat rasul yang sebelumnya.” Pendapat ini didasarkan pada kenyataan yang bisa kita temui dalam al-Qur’an ketika menceritakan Isa yang mengatakan “aku datang kepada kalian untuk menghalalkan sebagian makanan yang sebelumnya diharamkan bagi kalian”. Dari sini tampak, syariat Isa merubah syariat yang ada sebelumnya.

Nah, bagaimana dengan syariat Muhammad saw?!

(tulisan berikutnya: Yang Mana Islam 2)

Salam,

Shocheh Ha.

(Tulisan ini adalah dokumentasi diskusi saya di milis JIL pada medio bulan Oktober – November 2005. Sudah pernah saya blogkan di: http://fakraa.wordpress.com/2007/10/16/yang-mana-islam-1/ yang saya lupa passwordnya, dan saya buat lagi blog ini http:fakra.wordpress.com.

TANGGAPAN ANGGOTA MILIS

1. Tanggapan Adli Usuluddin:

Salam,
Setuju. Secara generik memang demikian, cuma saja Islam yang dipahami mainstream sekarang berbeda dengan pengertian Islam yang disebut Al-Quran. Pengertian Islam yang berbeda inilah sumber masalah……. (jadi tafsir kan?….. semua orang kembali ke al-Quran,…dan untuk memengertinya perlu tafsiran…..tafsiran berbeda-beda……)

***

2. Tanggapan Ulil Abshar Abdallah:

Ochie,
Poin kamu bagus sekali. Saya belum belum pernah memikirkan seperti yang anda utarakan itu. Benar, Islam yang disebut sebagai “agama yang diridlai” Allah itu adalah terkait dengan sisi akidah. Pada aspek inilah terjadi titik temu antara Islam dengan agama-agama lain di lingkungan tradisi Abrahamik.

Pada level syariah, agama berbeda-beda.

Suatu ketika, saya pernah mendengar seseorang bicara seperti ini. “Sesuai dengan kaidah ushul fiqh, bahwa hukum dasar dalam ibadah adalah mengikuti contoh Nabi (ittiba’). Jika ibadah dilakukan dengan tidak mengikuti contoh Nabi, maka ibadah itu batal atau tidak diterima oleh Allah.”

Oke, itu semua benar. Tapi, dengarkan kelanjutan keterangan orang itu. “Karena orang Kristen dan Yahudi beribadah tidak sesuai denga aturan yang dicontohkan Nabi Muhmmad, maka ibadah mereka tidak diterima oleh Tuhan.”

?????

Saya terbengong-bengong mendengar pendapat seperti ini. Saya tentu tak merasa perlu menanggapi orang itu (dalam suatu diskusi), karena pendapat itu sendiri hanya bisa diucapkan oleh seseorang yang memang belum tahu apa-apa.

Ya sudahlah.

Sedih, tradisi membaca di kalangan umat Islam begitu buruknya saat ini. Karena tradisi membaca lemah, dengan sendirinya tradisi berfikir juga lemah. Sebab, tradisi berfikir berjalan beriringan dengan tradisi membaca.

***

3. Tanggapan Tasning:

Mas Shocheh dan Ulil yang budiman,

Secara amat gamblang tentulah bisa kita katakan konsekuensi dari sikap islam sebagai kategori akidah; pasrah, berserah diri dan ketauhidan, dalam pengertian “yuthlaqu `alal `aqidah” membawa juga konsekuensi kepasrahan lainnya yakni kepasrahan menerima titah Allah atas turunnya rasul pembawa dan penggenap risalah (yang tentu saja didalamnya turut serta menyempurnakan
syariat atas manusia sebelumnya).

Likullin Ja`alna Minkum Syir`atan wa Minhaja sebagai aktivitas pembawa syariat, konon telah Allah genapkan dan sempurnakan pada kerasulan Muhammad. Setelah itu Allah tetapkan fungsi kerasulan sebagai pembawa syariat ditutup sampai disitu (“agama disisi Allah hanyalah
Islam”).

Sampai disitu jalan “islam” sebagai konsekuensi kepasrahan dan pengakuan ternyata berliku-liku dan mengakibatkan sejumlah firqah. Ada kelompok yang cuma mau mengakui “islam” ala Zaman Musa dan Isa saja ada yang mengakui “Islam” Muhammad namun tidak mengakui
Islam Musa dan Isa (ini aneh, mengingat sebagai evolusi kepasrahan “islam Muhammad” datang belakangan menyempurnakan yang sebelumnya, mana bisa yang menyempurnakan menolak eksistensi yang disempurnakan sebelumnya) terakhir, ada golongan yang menerima semuanya dan meyakini kebenaran Muhammad sebagai last messanger sesuai apa yang dinginkan tuhannya. (sebenarnya yang golongan ini yakininya adalah Allah semata; sebagai konsekuensi world-view nya).

Sesuai dengan doktrin Lex Specialis Derogat Legi Generalis; Yang khusus dan kini menggantikan yang umum dan lampau, hal seperti itu terjadi pula dengan para rasul-rasul Allah dalam ber-risalah. Jika tidak demikian pertanyaan paling mendasar adalah; lantas apa fungsi dan faedahnya bagi manusia risalah yang datang belakangan itu? Amatlah tidak mungkin inefisiensi serta kesia-sia-an dilakukan Allah yang maha adil dan sempurna itu. Karenanya diktum bahwa “Setiap syariat rasul yang datang kemudian menghapus/menyempurnakan syariat rasul yang sebelumnya” sungguhlah bersesuaian dengan prinsip akal.

Akidah yang mengajarkan prinsip ushul berupa tauhid dan keimanan tak perlu berganti dengan bergantinya rasul, syariat-lah yang berubah dan menyempurna. Sebagaimana Isa menghalalkan yang diharamkan sebelumnya, Muhammad pula menyempurnakan dan menganulir syariat yang sebelumnya (mengambil contoh Mas Ulil; berpaling kiblat dari Yerussalem ke Ka’bah–meskipun saya tak setuju motif politik kekuasaan pada perubahan itu seperti yang disampaikan Mas Ulil, agak aneh rasanya menerima nalar bahwa Allah menyuruh Muhammad pindah haluan kiblat disebabkan alasan political envy semacam Mas Ulil sampaikan). Lebih jauh dari itu semua secara fundamental, Muhammad yang belakangan ini mendeklarasikan kesempurnaan wahyu yang turun sebelumnya seraya berseru “saat ini telah sempurna evolusi risalah islam sebagai pengakuan dan kepasrahan kepada tuhan yang tunggal yang monoteis. Anehnya sejak saat itu pula banyak golongan “islam” sudah tidak menjadi “islam” setia lagi.

***

4. Tanggapan Hilman Latief:

Assalamu’alaikum

Islam yang mana yang dikritik dan apa itu al-Islam nampaknya kini menjadi salah satu topik hangat di sini. Saya tidak tahu, apakah ini bisa dijembatani oleh penggunaan terminologi lain yang cukup bisa memisahkan Islam “generik” dan yang “non-generik.” Saya hanya akan ikut sumbang pikiran melalui sudut yang lain.

Ketika menulis The Veture of Islam (3 Volumes), Marshall G. S. Hodgson, sejarahwan cukup berpengaruh dari Universitas Chicago, menjelaskan berbagai istilah penting dan teknis pada bab awal bukunya. Tentang kata “Islam” misalnya, yang memang multi-interpretasi baik secara akademis maupun ideologis, Hudgson mencoba menawarkan terminologi-termonologi alternatif.

Dalam konteks studi Islam, misalnya, ia menuliskan: “Though I use the term ‘Islamics’ I feel it does not distinguish clearly enough between studies as Islam as such and studies as Islamdom.”

Menurutnya, dalam konteks kesarjaanaan modern, menggunakan term ‘Islam’ atau ‘Islamic’ terlalu sederhana (too casually) untuk menyebut ‘agama’ atau untuk menyebut keseluruhan masyarakat dan budaya yang secara historis diasosiasikan dengan istilah tersebut.

Jadi, ketika kritik disampaikan oleh Mas Ulil terhadap islam, akhirnya secara terminologis, banyak mengundang keberatan dari pihak lain.

Hodgson lagi2 mengungkapkan bagaimana kita membedakan islam sebagai faith (Islamic faith) dengan term Islam dalam konteks yang lain, misalnya ‘Islamic literature,’ ‘Islamic art,’ ‘Islamic philosopy,’ atau mungkin saja seseorang bisa mengatakan “Islamic despotism”. Tapi tentu ini lain dengan Islam sebagai sebuah ‘faith.’ Benard Lewis, scholar yang lain, menggunakan adjective Islam dalam konteks “the cultural sense”, sedangkan adjective Muslim dalam konteks “the religious sense”. Tentu ini masih bisa diperdebatkan.

Anyway, Hodgson kemudian menawarkan beberapa terminologi sebagai “jembatan” khususnya dalam konteks studi Islam, yakni:

‘Islamdom’ (dari Cristendom): yang ia definiskan “the society in which the Muslims and their faith are recognized as prevalent and socially dominant, in one sense ot another–a society in which, of course, non-Muslims have always formed an integral, if subordinate, element, as have Jews in Christendom.”

Terminologi lain yang menarik adalah ‘Islamicate’ “would refer not directly to the religion, Islam, it self, but to the social and cultural complex historically associated with islam and the Muslims, both among Muslims themselves and even when found among non-Muslims.”

Nah, boleh jadi bahwa istilah “ada yang salah dalam Islam,” terminologi yang diperdebatkan beberapa hari ini, bisa dijembatani dengan istilah “ada yang salah dalam Islamicate,” sehingga yang ‘berkeberatan’ pun mungkin dapat sedikit lega…..

Ya..itu saja

***

(tulisan selanjutnya: Yang Mana Islam 2)

SALAF, SALAFIY(YAH) & SALAFI(YYUN)[3]

SALAFIYYUN*

Secara bahasa salafiyyun berarti orang-orang yang mengikuti langkah salaf. Sementara salaf itu sendiri berarti orang-orang terdahulu yang telah berlalu.

Dalam terma pemikiran Islam, salafiyyun berarti mencakup mayoritas aliran-aliran pemikiran yang ada, dengan berbagai sekte dan aliran sekolah yang dianutnya meskipun dengan kadar yang berlainan dan makna yang berpautan. Karena, mayoritas aliran-aliran tersebut memiliki masa lalu (baca: latar belakang atau sejarah, al-maadlii, salaf) yang menjadi rujukan dan model teladan yang dianut. Mereka menisbatkan dirinya kepada salaf, mengikuti kurikulum (metode) mereka dan senantiasa menjunjung prinsip-prinsipnya.

Dengan sendirinya, terma salafiyyun tidak mencakup mereka yang tidak memiliki keterkaitan epestemik (kesadaran) dengan khazanah yang diwarisinya, masa lalu (baca:salaf).

Jika salaf berarti yang telah lalu, maka kita semua adalah salafiyyun. Akan tetapi salafiyyun (baca: salafi/salafy—orang yang mengikuti jejak salaf) bermacam-macam rupa:

[untuk memudahkan, dari sini kami membuat penegasan bahwa Salafi berarti orang yang mengikuti salaf, ia adalah pengikut; sementara Salaf adalah generasi awal yang dijadikan acuan, ia adalah teladan yang diikuti]

Ada Salafi yang langkahnya hanya meniru para Salaf, mereka inilah biasanya orang-orang yang kaku, jumud dan hanya bisa menjadikan dirinya sebagai imitasi, mengkilap namun sebatas kulit luar.

Dalam realita praktis kita bisa melihat sekeliling kita, kepada kawan-kawan dan saudara-saudara kita sendiri yang mungkin telah memilih menjadi bagian dari salafi ini. Mereka berteriak lantang, bahkan menawarkan diri sebagai tumbal hanya untuk menegakkan nilai-nilai yang, entah, mereka sadar atau tidak, hanya nilai imitatif. Nilai yang kurang atau bahkan sama sekali tidak menyentuh kemaslahatan umat. Seperti teriakan harus memanjangkan jenggot, berjubah atau bercelana cekak dan sejenisya itu.

Ada Salafi yang langkahnya merujuk kepada para Salaf, namun mereka bekerja keras mempelajari dan mengolah warisan, peninggalan para Salaf itu untuk dipilah antara nilai prinsip dengan nilai temporal, antara nilai yang baku dengan nilai yang bisa atau bahkan harus berubah. Memilah sesuatu yang layak dipertahankan dan mencari inspirasi baru melaui warisan lama yang sudah tak sesuai dengan perkembangan zaman, kebiasan dan adat-istiadat yang beragam. Memilah dan memilih demi kemaslahatan yang lebih sesuai dengan realita baru.

Mungkin salafi kedua ini yang sesuai dengan semboyan kita, semboyan Futuhiyyah dan, sepertinya, semboyan NU juga: al-muhaafadhah`ala al-qadiim al-shaalih wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah (menjaga nilai-nilai lama yang bagus dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih bagus). Dengan memproklamirkan semboyan ini, berarti Futuhiyyah menegaskan diri berada pada barisan umat yang lentur dan kreatif demi menuju pembaruan terus menerus untuk kebaikan umat sampai akhir hayat. Dengan semboyan itu, berarti Futuhiyyah tidak akan merasa alergi dengan berbagai ujicoba dan pengalaman-pengalaman baru untuk diambil berkah kemaslahatannya yang lebih besar. Nilai lama akan tetap dipertahankan selama nilai itu harmoni dengan realita yang dihadapi dan membawa kemaslahatan untuk umat. Namun pada saat yang sama tak segan-segan mengambil nilai baru jika dirasa nilai baru itu akan membawa kemaslahatan yang lebih besar (dan tentunya jika nilai baru ini tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip pokok yang menjadi dasar).

Di antara para Salafi ada yang menjadikan pemahaman Salaf sebagai inspirasi menuju pemahaman baru yang sesuai dengan realita baru. Namun, di antara para Salafi, juga ada yang berusaha lari dari realita hidup yang kini dihadapi dengan dalih mengajak (mundur) kembali ke realita Salaf yang telah lampau. Lari menuju pengalaman dan percobaan lama milik Salaf yang telah dilipat zaman.

Di antara para Salafi ada yang masa lalunya berupa masa kemajuan dan kreatifitas dalam sejarah peradaban kita. Namun, ada juga di antara para Salafi yang masa lalunya berupa masa kemelaratan, ketakberdayaan dan kemunduran dalam sejarah peradaban kita.

Di antara para Salafi ada yang warisan peninggalannya berupa budaya dan peradaban milik sendiri, kekayaan sendiri, serta wawasan keislaman yang original (untuk membedakan dengan Islam yang telah diterapkan oleh suatu masyarakat/bangsa tertentu di wilayah atau masa tertentu). Namun, ada pula di antara para Salafi yang warisan peninggalannya berupa budaya dan peradaban milik orang lain. Kekayaan orang lain.

Di antara para Salafi ada yang masa lalunya berupa mazhab dan aliran tektualis dalam sejarah turats kita. Namun, di antara para Salafi ada juga yang masa lalunya berupa mazhab dan aliran rasionalis dalam sejarah turats kita, bahkan ada di antara para Salafi yang masa lalunya berupa kecenderungan sufistik dalam warisan peradaban kita.

Di antara para Salafi ada yang masa lalunya berupa mazhab dan aliran turast itu sendiri (hanya menerima pengetahuan lama, bahkan ada yang menentukan siapa penulisnya) disertai kefanatikan terhadap mazhab ini. Namun, ada juga di antara para Salafi yang rujukannya berupa seluruh khazanah warisan umat dari berbagai aliran dan mazhab, merangkul semuanya dengan bangga lalu memilah yang terbaik di antara mutiara-mutiara yang ada.

Dengan penuh kejujuran, semua aliran yang tersebut di atas memang tercakup dalam terma salafi. Akan tetapi, masyhur diketahui, ada kelompok yang ingin mengklaim terma ini, sehingga hanya berlaku untuk kelompok mereka. Bahkan, hampir-hampir, mereka memonopoli istilah ini. Mereka adalah kelompok yang meletakkan dirinya dalam barisan tektualis literalis, yang memahami teks-teks berdasarkan pemahaman permukaan serta menolak Kias dan pendapat ahli. Kelompok ini lebih sering memperhatikan riwayat-riwayat dibanding mengolah dan menganalisa teks. Teks-teks yang ada dimandulkan dari upaya melahirkan inspirasi penerapan yang sesuai realita. Kelompok inilah yang dari dulunya mengharamkan seorang muslim mempelajari Ilmu Kalam (sering dibaca dengan Ilmu Tauhid) dan, tentu saja, Ilmu Filsafat yang notabenenya merupakan pendatang dalam ranah keilmuan Islam. Mereka menolak ilmu-ilmu penalaran, teoritis dan analitis. Merekalah kelompok yang sering disebut dengan Ahl al-Hadits karena kesibukannya menekuni ilmu-ilmu riwayat serta proses transmisinya.

Guru besar sekolah ini adalah Abu Abdullah, Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H./780 – 855M.), di samping deretan nama lainnya yang tak asing bagi kita, yaitu para imam agung yang memilih lebih mendalami ilmu-ilmu riwayat, semisal Ibn Rahawaih, para pakar Jarh wa Ta´dil dan para Imam Hadits seperti Imam Bukhari, Abu Daud, al-Darimi, al-Thabrani, al-Baihaqi dan lain-lainnya. Akan tetapi, pada masa Ibn Taimiyyah (661 – 728H./1263 – 1328 M.) dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691 – 751 H./1292– 1350 M.) sekolah ini mengalami sedikit perubahan. Pada masa mereka berdua ilmu nalar sedikit diberi tempat, meskipun mayoritas dan prioritas rujukannya tetap pada bunyi literal teks dan transmisi riwayat.

Belakangan Ibnu Qayyim mengatakan: “teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah sudah mencakup seluruh hukum dari semua permasalahan yang ada. Allah dan Rasul-Nya juga tidak membenarkan kita melakukan pengkiasan maupun perujukan pada pendapat akal. Syariat sama sekali tidak membutuhkan Kias. Syariat sudah kenyang dari sekedar pendapat akal, Kias dan kebijakan serta kebajikan pengalaman manusia, akan tetapi hal itu semua baru bisa dicapai jika didasari dengan pemahaman yang dianugerahkan oleh Allah kepada hamba-Nya.”

Bagi Salafi jenis ini, teks tetap merupakan satu-satunya rujukan. Meskipun pada perkembangan selanjutnya, mereka merasa tidak cukup dengan hanya melihat teks-teks tersebut secara literal.

Keberpihakan Salafi Tekstualis terhadap superioritas dan hegemoni teks yang berlebih-lebihan ini diakibatkan oleh banyak faktor, diantaranya: ketakutan yang berlebihan terhadap fanatisme kelompok lawannya, yaitu para filosof rasionalitas Yunani yang terlepas dari kontrol teks-teks keagamaan. Faktor lainnya adalah kecenderungan sufistik kelompok Iluminasi Batiniah yang memilih inklinasi dan intuisi (al-dzauq wa al-hads) sebagai sumber inspirasi hukum syariat, tanpa ada kawalan dari teks dan pertimbangan akal.

Namun karena semua kecenderungan kelompok yang ada, baik yang tekstualis, rasionalis maupun intuitif batiniyyah—sedikit banyak—telah terjebak pada fanatisme berlebih-lebihan, maka kelompok-kelompok tersebut tetap tak kuasa mengkutubkan mainstream umat ke dalam kubu mereka. Mainstream umat akhirnya mengkutub pada kecenderungan salafiyyah moderat, yaitu salafiyyah yang menggabungkan antara teks dan akal, lalu mengharmonikan antara keduanya. Salafiyyah inilah yang dikenal dengan nama asy`ariyyah. Salafiyyah moderat yang dibangun oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy`ary, Ali bin Ismail (260 – 324 H./874 – 936 M.)

Dalam sekolah asy`ariyyah ini, teks-teks keagamaan dan transmisi riwayat menyatu dengan pemahaman akal. Salafi kelompok ini terbuka menerima pelajaran Ilmu Kalam (sering dibaca dengan Ilmu Tauhid) yang diharamkan oleh Salafi Tekstualis. Salafi Asy`ariyyah juga mempelajari Ilmu Ushul Fiqh yang merupakan filsafat rasionalitas Islami dalam perundang-undangan.

Sekolah Asy`ariyyah ini selanjutnya berkembang di tangan imam-imam besarnya, terutama ditangan Imam al-Baqillani, Abu Bakr Muhammad bin Abi al-Thayyib (453H./1013 M.), Imam al-Haramain, al-Juwainy (Abu al-Maali Abd al-Malik bin Abdullah Ibn Yusuf [419 – 478 H./1028 – 1085 M.]) dan Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H./1058 – 1111 M).

Dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, tampak bentuk dan perimbangan sekolah-sekolah salafi sebagaimana urutan (baca: kuantitas) di atas terekam dalam catatan sejarah yang panjang. Pada masa modern sekarang, kecenderungan salafi tekstualis tampak diwakili oleh seruan Syaikh Muhammad bin Abd al-Wahhab (1115 – 1206 H./1702 – 1792 M.) yang biasa kita kenal dengan nama Wahabiyah. Sementara sekolah Asy`ariyyah tetap merupakan salafi tekstualis rasionalis yang menjadi kubu mainstream umat Islam, kubu jumhuur al-ummah (kubu mayoritas).

tulisan sebelumnya: Salafiyyah

tulisan yang lalu: Salaf

*) diambil dan dikondisikan dari tulisan Dr. Muhammad Imarah dalam al-Mausu`ah al-Islamiyyah al-`Ammah, terbitan Kementrian Wakaf, Majlis A`la li al-Syuun al-Islamiyyah, Republik Arab Mesir. walhamdulillah, bini`matihi tatimmu al-shaalihah.

Salam,

Shocheh Ha.

(Tulisan ini adalah dokumentasi posting saya di milis alumnifutuhiyyah@yahoogroups.com pada medio sekitar bulan Mei-Juni tahun 2008)

SALAF, SALAFIY(YAH) & SALAFI(YYUN)[2]

SALAFIYYAH*

Secara bahasa kata salafiyyah merupakan bentuk kata penisbatan kepada semua yang bernuansa lampau atau kepada pokok yang menjadi awal dan permulaan sesuatuyang paling dulu atau paling lampau (salaf).

Sebagaimana diuraikan pada tulisan sebelumnya, kata salaf berarti: yang telah lalu atau telah lewat (al-maadlii), dan kata al-saalif berarti: yang terdahulu atau yang dulu.

Sementara salafiyyah dalam terma pemikiran intelektual muslim berarti: merujukkan hukum-hukum syariat (keagamaan, Islam) kepada sumber-sumber pertama, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah serta mengabaikan selain dua sumber tersebut.

Definisi di atas sejalan dengan bunyi Hadits, ¨taraktu fiikum amrain, in tamassaktum bihimaa lan tadhilluu abada, kitaaballahi wa sunnata rasuulih

Meskipun definisi salafiyyah di atas sangat gamblang, akan tetapi dalam warisan pemikiran intelektual Islam yang kita terima, salafiyyah memiliki aneka macam kelompok dan aliran.

[untuk memudahkan, mulai dari sini kami membuat penegasan bahwa Salafi berarti orang yang mengikuti metode salaf; ia adalah orangnya atau pengikutnya; sementara Salafiyyah adalah metode yang ditempuh, ia adalah cara dan metode yang digunakan]

Semua Salafi merujukkan pemahaman keagamaan mereka kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, akan tetapi di antara para Salafi tersebut ada kelompok yang cenderung memahami teks-teks al-Kitab dan al-Sunnah berdasarkan bunyi dan bentuk literal semata. Dan, ada juga kelompok Salafi yang memahami teks-teks al-Kitab dan al-Sunnah menggunakan analisa akal. Dari kelompok yang menggunakan akal untuk memahami teks ini, ada di antara mereka yang cenderung berlebih-lebihan dalam mengedepankan akalnya, ada yang moderat, dan ada yang seperlunya saja.

Di antara para Salafi, ada kelompok yang cenderung rigid, kaku dan hanya mau meniru (taklid) atau mengulang dari contoh yang telah ada. Namun, ada juga di antara para Salafi itu kelompok yang terbuka, lentur dan siap melakukan pembaruan, bukan hanya meniru dan mengekor. Kelompok kedua ini merujuk sumber-sumber awal untuk dijadikan ilham dalam ijtihad-ijtihad baru yang lebih sesuai dengan realita masanya.

Di antara para Salafi, ada yang masa lalunya memiliki latar belakang gagasan dan pemikiran peradaban berkembang (baca: maju), padat karya dan penuh terobosan. Sementara ada juga di antara para Salafi itu yang masa lalunya diwarnai dengan berbagai gagasan dan pemikiran peradaban yang sedang surut (baca: mundur), penuh kekakuan, kejumudan dan hanya bisa meniru serta kurang inovatif.

Di antara para Salafi ada yang aktifitasnya hanya memfotokopi semua warisan yang dimiliki tanpa membedakan antara gagasan ideal dan pengalaman. Ide-ide pemikirannya mencampur-adukkan antara prinsip-prinsip pokok dengan nilai-nilai temporal. Namun, ada juga di antara para Salafi itu yang menjadikan prinsip-prinsip pokok yang mereka terima dari warisan (baca: turats) sebagai ilham yang memandu untuk dimulainya percobaan-percobaan dan pengalaman-pengalaman baru yang diselaraskan dengan pasang surutnya sejarah.

Di antara para Salafi ada yang hidup di masa lalu atau melestarikan kehidupan masa lalu. Namun, di antara para Salafi juga ada yang mengharmonikan kehidupan masa lalu dengan kehidupan masa kini serta kehidupan modern.

Keragaman kelompok Salafi yang terkadang nyaris menyerupai kubu yang saling berlawanan itu, merekalah yang tercakup di dalam istilah salafi ini. Terutama dalam arena pemikiran kita saat ini. Sebuah istilah yang penuh dengan ambiguitas, mudah disalahpahami dan bahkan menjadi ajang untuk berburuk sangka!!

Di antara madrasah pemikiran yang paling getol berusaha memonopoli istilah salafiyyah ini—dalam khazanah intelektual kita (baca: turast)—adalah Sekolah Hadits (madrasah ahl hadits) yang ketakutan terhadap kedatangan sekolah Yunani—Filsafat dan Logika—serta kaget terhadap rasionalitas Yunani yang jauh dari teks-teks agama. Mereka (madrasah ahl hadits) lantas berlindung di balik kesucian teks-teks agama dengan cara mengedepankan pemahaman literal. Bahkan mereka rela berlindung di balik teks agama yang lemah dan rapuh sekalipun, demi menentang argumentasi akal, kias, takwil dan tafsir serta jenis-jenis penalaran lainnya. Madrasah inilah yang tampuk kepemimpinannya dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H./780 – 855 M.). Sehingga, ada sebagian dari umat ini yang mengira bahwa merekalah salafiyyah sejati! Padahal, sebenarnya, mereka hanyalah satu bagian dari berbagai kelompok aliran salafiyah yang ada.

Kurikulum sekolah ini sangat mengutamakan naskah dan bunyi-bunyi teks sebagai sumber rujukan ketimbang sumber-sumber pengetahuan lainnya. Bahkan, hampir-hampir, teks sajalah yang merupakan sumber satu-satunya. Bagi aliran ini hanya teks yang bisa diterima sebagai dasar argumentasi. Tak ada celah bagi sumber lainnya. Urutan naskah teks yang mereka gunakan adalah: teks-teks dari al-Kitab dan al-Sunnah, Fatwa Sahabat, Fatwa Pilihan jika ada perbedaan dalam fatwa-fatwa sahabat, Hadits Mursal dan Hadits Dlaif (lemah), lalu baru Kias jika terpaksa. Itulah lima fondasi yang ditentukan oleh Imam Ahmad sebagai pilar kurikulum Sekolah Hadits seraya menolak argumentasi pemikiran akal seseorang (baca: pendapat ulama, ilmuwan, pakar, ahli dan sejenisnya). Mereka juga menolak Kias, Takwil, Tafsir, Intuisi, Logika dan hukum kausalitas dalam pemikiran keagamaan.

Salah seorang tokoh sekolah ini, Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah (691 – 751 H./1292 – 1350 M.) mempertegas kurikulum sekolah salafiyyah tektualis ini, sebagaimana telah di-blue print-kan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, dalam pernyataannya:

Dasar Pertama: Teks-Teks al-Kitab dan al-Sunnah.

¨Jika sebuah perkara tertera di dalam nash/teks, maka itulah yang dijadikan fatwa. Tidak ada lagi sumber lain yang akan dilirik, apa pun yang terjadi.”

Dasar Kedua: Fatwa Sahabat

“Jika sebuah permasalahan dijumpai di dalam Fatwa para Sahabat dan tak ada seorang sahabat pun yang menentang fatwa itu, maka itulah yang dijadikan fatwa. Tidak ada rujukan lain yang akan dilirik.”

Dasar Ketiga: Jika Fatwa Sahabat Berbeda

“Jika sebuah permasalahan diperselisihkan dalam pendapat para sahabat, maka dipilih pendapat yang paling mendekatial-Kitab dan al-Sunnah. Jika masing-masing pendapat tidak ada yang lebih dekat kepada al-Kitab dan al-Sunnah, maka masing-masing pendapat disebutkan tanpa merekomendasikan salah satunya.”

Dasar Keempat: Menggunakan Hadits Mursal dan Hadits Dlaif

“Jika sebuah kasus tidak ditemukan dasar rujukannya selain di dalam Hadits Mursal atau Hadits Dlaif, maka yang tertera di dalam kedua teks sumber itu yang akan digunakan.”

Dasar Kelima: Kias jika Terpaksa

“Jika suatu perkara tidak ditemukan sumber rujukannya di dalam teks-teks al-Kitab, al-Sunnah, Fatwa Sahabat, atau salah satu pendapat Sahabat, juga hal itu tidak ditemui di dalam Hadits Mursal atau Dlaif, maka terpaksa menggunakan Kias.”

***

Sementara kurikulum pembaruan, sekolah salafiyyah rasionalis terangkum dalam ucapan Imam Muhammad Abduh (1265 – 1323 H./1849 – 1905 M.) ketika mengatakan:

“Dengan lantang saya telah mengajak umat ini untuk membebaskan akal kita dari belenggu taklid. Saya mengajak agar umat ini memahami agama sebagaimana cara yang telah ditempuh oleh para Salaf (ingat! Salaf tidak sama dengan Salafi) sebelum munculnya perbedaan dan pertentangan. Saya mengajak umat ini agar menggali pengetahuan dari sumber-sumber awalnya serta menghormatinya (baca: menghormati teks) sebagai bagian dari penyelaras akal kemanusiaan yang telah dianugerahkan Allah untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan akal, juga sebagai alat kendali yang akan menghambat terjadinya benturan dan kerancuan pemikiran agar hikmah dan kebijakan Allah dalam memelihara harmoni kehidupan manusia terlaksana dengan sempurna. Dengan begitu, agama akan menjadi kawan bagi ilmu pengetahuan, ia akan menjadi energi pembangkit bagi munculnya eksplorasi-eksplorasi rahasia semesta. Agama juga akan menjadi penyeru bagi penghormatan terhadap realita-realita baku serta menerimanya dengan penuh ketenteraman jiwa dan semangat berkarya.”

Dalam kurikulum salafiyyah rasionalis ini ditemukan persaudaraan antara teks-teks agama dengan akal kemanusiaan, persahabatan antara ilmu pengetahuan dengan doktrin keagamaan, serta di sini pula ditemukan salafiyyah berkelindan dalam satu baju dengan pembaruan.

*) diambil dan dikondisikan dari tulisan Dr. Muhammad Imarah dalam al-Mausu`ah al-Islamiyyah al-`Ammah, terbitan Kementrian Wakaf, Majlis A`la li al-Syuun al-Islamiyyah, Republik Arab Mesir.

tulisan sebelumnya: Salaf
tulisan mendatang, insyaallah, tentang: Salafiyyun

Salam,
Shocheh Ha.

(Tulisan ini adalah dokumentasi posting saya di milis alumnifutuhiyyah@yahoogroups.com pada medio sekitar bulan Mei-Juni tahun 2008)

SALAF, SALAFIY(YAH) & SALAFI(YYUN)[1]

SALAF*

Dalam bahasa Arab, kata salaf berarti yang telah lalu atau yang telah lewat atau yang lebih dulu, pendahulu. Kata itu merujuk segala sesuatu yang telah lampau.

Sebagai terma spesifik dalam kancah pemikiran, kata salaf merujuk pada: masa keemasan pemikiran dalam memahami dan menerapkan sumber-sumber keagamaan secara murni sebelum munculnya sekte-sekte dan aliran-aliran (madzahib), akibat dari meluasnya ekspansi, dan sebelum masuknya filsafat-filsafat non-Islam ke dalam cara memahami para pendahulu yang saleh (al-salaf al-shalih). Kata Salaf juga merujuk pada segala amal baik yang telah dilakukan oleh manusia.

Sementara dalam terma ekonomi kata salaf merujuk pada pinjaman finansial yang didasari rasa keikhlasan (pinjaman cuma-cuma), tanpa diiringi pamrih apa pun yang bersifat keduniaan.

Meskipun segala sesuatu yang telah lampau sah disebut sebagai salaf, akan tetapi istilah salaf telah meluas dipahami sebagai terma yang merujuk pada generasi pendiri agama yang mempraktekkan metode-metode ajaran Islam. Mereka adalah para sahabat Nabi yang telah menerjemahkan semua ajaran yang ada dalam risalah wahyu Qur’ani ke dalam praktek-praktek kehidupan tertentu, sesuai realita yang dihadapi. Istilah salaf ini berlaku untuk semua sahabat secara umum dan mutlak, lalu pada perkembangan selanjutnya istilah ini meluas mencakup para generasi yang dalam kehidupannya menjalani praktek keagamaan sesuai petunjuk dan ajaran para sahabat tersebut. Generasi berikutnya ini biasa disebut dengan istilah tabiin dan tabiu tabiin.

Jadi, dalam hal ini, salaf berarti setiap orang (dari generasi-generasi di atas) yang jejak perilaku keagamaannya ditiru dan dijadikan acuan. Pembatasan acuan pada tiga generasi di atas bisa disimpulkan dari Sabda yang mengatakan, “khairu qarnin qarnii tsumma alladzi yaliih, tsumma alladzi yaliih,” dan hadits-hadits lainnya yang senada dengan hal itu.

Setelah generasi pertama, salaf (para sahabat Nabi), generasi kedua, tabiin (para pengikut/murid Sahabat Nabi) dan generasi ketiga, tabiu tabiin (para pengikut/murid dari Murid/Pengikut Sahabat Nabi—dimana pada masa ini muncul imam-imam agung pendiri mazhab-mazhab besar), generasi berikutnya adalah mereka yang biasa disebut dengan istilah khalaf, yaitu yang hidup setelah masa tiga generasi pertama. Setelah generasi khalaf datang generasi selanjutnya yang biasa disebut dengan istilah generasi belakangan, mutaakhirin.

Ungkapan yang mendukung bahwa salaf memiliki arti yang telah lalu atau telah lewat diantaranya adalah:

1. Alqur’an, surat al-Baqarah, 2 : 275, “fa man jaa-ahu mau`idhatun min rabbihi fan-tahaa falahuu maa salaf.” (… barangsiapa mengindahkan  peringatan Tuhan-nya setelah peringatan itu datang kepadanya maka baginya apa yang telah lewat [sudah terlanjur dilakukan sebelum datang aturan Tuhan])

2. Alqur’an, surat an-Nisaa’, 4 : 22, “wa laa tankihuu maa nakaha aabaa-ukum min an-nisaa’i illa maa qad salaf” (dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita (ibu tiri) yang telah dinikahi oleh bapak-bapak kalian, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau).

3. Hadits riwayat Fatimah dari Rasul, “…. ni`ma al-salafu ana laki” (sebaik-baik masa lalu/pendahulu bagimu adalah aku); Hadits riwayat Ibn Abbas yang menceritakan bahwa ketika Zainab (putri Rasulullah) meninggal, Rasulullah mengucapkan, “ilhaqii bi salafina al-shaalih al-khair, utsmaan ibna madh`uun.” (bergabunglah dengan pendahulu kita yang saleh dan baik, Utsman bin Madh`un)

4. Sementara ungkapan yang mendukung bahwa salaf dalam istilah ekonomi berarti pinjaman tanpa pamrih duniawi adalah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Saib ibn Abi Saib, partner bisnis Rasulullah sebelum datangnya Islam, “ya saaib qad kunta ta`malu a`maalan fil jaahiliyyah laa tuqbalu minka, wa hiya al-yaum tuqbalu minka. kaana dzaa salafan wa shillatan.” (Wahai Saib, di masa Jahiliyyah dulu kau telah melakukan amal yang tidak diperhitungkan (diterima) sebagai kebaikanmu, tetapi hari ini amal tersebut diperhitungkan (diterima) sebagai kebaikanmu. Amalmu dulu itu memiliki nilai (diperhitungkan) sebagai pinjaman dan pemberian).

*) diambil dan dikondisikan dari tulisan Dr. Muhammad Imarah dalam al-Mausu`ah al-Islamiyyah al-`Ammah, terbitan Kementerian Wakaf, Majlis A`la li al-Syuun al-Islamiyyah, Republik Arab Mesir.

tulisan mendatang, insyaallah, tentang: *Salafiyyah*

Salam,

Shocheh Ha.

(Tulisan ini adalah dokumentasi posting saya di milis alumnifutuhiyyah@yahoogroups.com pada medio sekitar bulan Mei-Juni tahun 2008)

PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (2)

PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (2)
sebuah komentar agamis

“Mengapa mereka tidak dalam siksaan Tuhan?”

Dalam pengalaman gaibnya (http://sabdalangit.wordpress.com/pengalaman-gaib/), Ki Sabdalangit menceritakan:

Konon menurut cerita orang tua kami, leluhur-leluhur yang namanya tersebut dalam silsilah, dan pernah kutemui di dalam dimensi gaib itu, ada yang beragama Hindu Syiwa, Kabuyutan, Budha, Katolik dan juga eyang saya lainnya yang dulunya seorang penghayat nilai-nilai hakekat Islam. Termasuk eyang canggah yang seorang penghayat ajaran Kejawen. Aku mulai berfikir dan bertanya, mengapa beliau masih bisa kutemui dalam keadaan baik-baik semua? Jika agama di dunia ini yang benar hanya satu, mengapa beliau semua tetap dalam kondisi baik. Sebab waktu itu bayanganku sebagai “anak kemarin sore” yang masih awam, jika si A tidak memeluk agama ini, itu … berarti salah dan menjadi orang tersesat, maka mereka tak akan diterima di sisi Tuhan. Tetapi kenyataannya kok demikian adanya?! Walau mereka dari berbagai latar-belakang keyakinan yang berbeda-beda kok tidak dalam siksaan Tuhan?

Mengenai hal ini ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Allah tidak berlaku sewenang-wenang dalam menyiksa hamba-Nya.

Ayat pertama terletak di dalam surat Al-Isra’, surat ke 17, ayat ke 15. Terjemahannya kira-kira begini: Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengikuti petunjuk maka sesungguhnya ia tengah memberikan petunjuk untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa melakukan perbuatan tanpa berdasarkan petunjuk (sembarangan, ngawur, asal-asalan) maka sesungguhnya ia tengah menyesatkan dirinya sendiri. Seseorang tidak akan menanggung dosa yang dilakukan oleh orang lain. Dan Kami tidaklah memberikan siksaan hingga Kami mengutus rasul (penyampai petunjuk).

Pointnya terletak pada bunyi ayat: wama kunna mu`adzdzabina hatta nab`atsa rasula… (Dan Kami tidaklah memberikan siksaan hingga Kami mengutus rasul).

Dari situ barangkali Ki Sabdalangit bisa menanyakan kepada arwah yang ditemui, apakah semua orang yang pernah dikenal oleh leluhurnya semasa hidup–entah orang yang baik maupun orang yang jahat—mendapatkan kehidupan yang sama seperti yang dialami oleh para leluhur itu, ataukah tidak.

Jika jawabannya iya (semua sama, mendapatkan kehidupan damai di alam sana), maka rasul yang dimaksudkan oleh ayat al-Qur’an diatas adalah sosok manusia yang berperan menyampaikan petunjuk-petunjuk kebenaran dan kebaikan dari Tuhan. Dan itu berarti, belum pernah ada sosok manusia rasul yang diutus kepada mereka sehingga mereka pun tidak menerima siksaan, sebagaimana firman Allah di atas berlaku, “Kami tidaklah memberikan siksaan hingga Kami mengutus [seorang] rasul.”

Dan memang sejauh pengetahuan kita, tidak ada sosok manusia yang secara resmi menjadi utusan Tuhan–yang diberi tugas menyampaikan petunjuk kebenaran dari Tuhan–dari bumi Nusantara. Karena itu kita anggap tidak ada utusan Allah di bumi Nusantara. Dan oleh karenanya, semua orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Entah orang ini baik maupun tidak baik. Semua berhak mendapatkan kehidupan tanpa siksaan di alam gaib. Kenapa? Karena tidak ada petunjuk Tuhan mengenai kebaikan atau keburukan; tidak ada petunjuk Tuhan mengenai kebenaran atau kesalahan yang sampai kepada mereka. Berarti memang tidak ada aturannya. Dan karenanya, sudah seharusnya firman Allah berlaku atas mereka, yaitu tidak mendapatkan siksaan–karena tidak ada utusan yang dikirim untuk mereka.

Namun jika jawabannya tidak (dimana terdapat perbedaan perlakuan antara orang yang berperilaku buruk dengan orang yang berperilaku baik, sehingga orang yang berperilaku buruk tidak bisa masuk ke dalam kelompok kehidupan eyang-eyang yang mendapatkan kebahagiaan di alam gaib), berarti telah ada rasul Tuhan di tengah-tengah kehidupan mereka. Hanya saja, kita yang tidak mengenalnya.

Atau,

Jika dalam kenyataannya terbukti memang tidak pernah ada rasul berwujud manusia yang menyampaikan petunjuk-petunjuk kebenaran dan kebaikan Tuhan, maka rasul dalam ayat tersebut bisa dipahami—menurut pendapat sebagian ulama—sebagai akal. Akal merupakan rasul atau utusan Tuhan untuk menyampaikan pesan kebaikan dan kebenaran kepada manusia. Dengan akal, Tuhan memberi kemampuan kepada manusia untuk berpikir, menilai, menimbang dan menemukan bahwa ada Dzat Tunggal yang maha tinggi dan maha berkuasa yang mencipta dan mengatur semesta. Bahkan dengan akal manusia mampu menentukan suatu perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah (seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim saat masa-masa pencariannya).

Jadi, kata ‘rasul‘ menurut pendapat sebagian ulama bisa berwujud akal yang mampu menemukan Dzat Tunggal yang paling berkuasa, dan juga mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan, lalu mengikuti yang baik darinya.

Ayat kedua terletak di dalam surat al-Baqarah, surat ke 2, ayat ke 62. Di dalam ayat ini Allah menyatakan:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa pun dari mereka yang benar-benar mengimani Allah, Hari Akhir, dan berbuat kebajikan, niscaya mereka memiliki pahala di sisi Tuhannya; dan tidak ada ketakutan maupun kesedihan bagi mereka. (al-Baqarah, 2: 62)

Penjelasan istilah:
orang-orang mukmin (dalam ayat ini): adalah orang-orang yang mengimani risalah Nabi Muhammad dengan kitab sucinya, al-Qur’an (sama dengan kata Muslim atau pemeluk agama Islam saat ini).
orang-orang Yahudi: adalah orang-orang yang mengimani risalah Nabi Musa dengan kitab sucinya, Taurat, Zabur dan lainnya, yang biasa dikenal dengan Perjanjian Lama (sama dengan pemeluk agama Yahudi saat ini).
orang-orang Nasrani: adalah orang-orang yang mengimani risalah Nabi Isa dengan kitab sucinya, Injil yang biasa dikenal dengan Perjanian Baru (sama dengan pemeluk agama Kristen saat ini).
orang-orang Shabiin adalah orang-orang yang: menyembah planet atau bintang; atau menyembah malaikat; atau tidak memiliki agama (bukan mengingkari agama, lho); atau mereka yang mengesakan Allah dengan tanpa memiliki kitab suci, tanpa memiliki nabi dan tanpa memiliki ritual peribadatan tertentu (uraian ini bisa dilihat di dalam kitab al-Mafahim al-Islamiyyah).

Semua orang itu—baik dari kelompok pemeluk agama tertentu maupun bukan pemeluk agama mana pun—dengan tiga syarat:
1. Benar-benar mempercayai Allah dari lubuk hati yang paling tulus.
2. Mempercayai Hari Akhir (bahwa segala sesuatu akan berakhir dan tiba saat pembalasan atas semua perbuatan yang pernah dilakukan)
3. Berbuat kebaikan dan kebajikan.
… jika ketiga syarat tersebut terpenuhi maka semuanya akan memiliki pahala di sisi Tuhan dan tidak perlu bersedih, juga tak perlu mengkuatirkan apa pun.

Ini secara mendasar. Namun perkembangannya, kenapa ada pernyataan bahwa agama di sisi Allah hanya Islam?

Karena Islam-lah yang secara resmi dinyatakan oleh Allah sebagai agama. Dan karena hanya Islam-lah yang memiliki dan mengakui nilai-nilai sempurna tersebut. Nilai-nilai yang merangkul keberadaan orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen, dan orang-orang Shabiin yang tak beragama, hanya ketulusan pengakuan akan Tuhan yang maha Esa.

Adakah agama selain Islam memiliki nilai-nilai semacam itu dan mengukuhkannya secara resmi dan permanen di dalam kitab sucinya?! Betapa agama Islam mampu mencakup mereka semua!

Secara mendasar semua orang yang tulus mengesakan Allah, meyakini hari akhir, dan mengamalkan kebajikan akan mendapatkan pahala, kebahagiaan dan ketentraman, tetapi di alam kebahagiaan yang abadi di sana juga terdapat derajat kehormatan yang berbeda-beda. Salah satu kehormatan itu misalnya, surga tidak akan dimasuki oleh umat lain sebelum umat Muhammad memasukinya. Ini berarti pengakuan adanya umat-umat lain yang masuk surga, hanya saja derajat kehormatan yang lebih tinggi diperuntukkan bagi umat Muhammad (kaum Muslimin). Bukan berarti umat lain tidak ada yang masuk surga, tetapi hanya tingkat kehormatannya yang berbeda. Di alam keabadian terdapat perbedaan yang sifatnya prestige, bukan perbedaan yang sifatnya asasi. Secara asasi semua orang yang mengesakan Allah bisa memasuki surga, tetapi tingkatan tertinggi diduduki oleh siapa, ini yang saya maksudkan dengan prestige dan derajat kehormatan.

Ayat yang lain senada dengan ayat di atas. Di dalam surat Al-Maidah ayat ke 69 dinyatakan:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan berbuat kebajikan, niscaya tidak ada ketakutan maupun kesedihan atas mereka. (al-Maidah, 5: 69)

Perbedaan ayat ini dengan ayat sebelumnya: di dalam ayat ini urutan kelompok Shabiin berada sebelum kaum Nasrani, dan tidak disebutkan bahwa mereka memiliki pahala di sisi Tuhan.

Ayat ke 17 dalam surat al-Hajj menyebutkan:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabiin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memisahkan (memberi keputusan yang berbeda-beda kepada) mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (al-Hajj, 22:17)

Sebagaimana uraian di atas, meskipun masing-masing mendapatkan pahala dan ketentraman tetapi mereka tetap memiliki perbedaan–diantaranya dalam derajat yang diperolehnya, kelak pada Hari Kiamat. Karena itu mereka dipisahkan. Keputusan Allah tidak sama untuk semuanya, dan tentu orang yang musyrik bukan termasuk peraih surga. Inilah diantaranya pemisahan itu.

Penjelasan istilah:
orang-orang Majusi: adalah orang-orang yang mengikuti ajaran Zarathustra atau Zoroaster (zoroastrianisme) yang ritual ibadahnya dilakukan di Kuil Api. Disebut Kuil Api karena di dalam kuil, api dibiarkan terus-menerus menyala sebagai lambang kehadiran Tuhan dan sekaligus sebagai simbol kesucian. Karena itu mereka sering disebut sebagai penyembah api. Dalam sejarahnya, Majusi muncul dan dianut oleh bangsa Persia, Iran hingga Islam datang yang membuat keyakinan ini surut.
orang-orang musyrik: adalah orang-orang yang mengakui keberadaan Tuhan lebih dari satu, atau mengakui Tuhan memiliki rekan sepadan dalam menjalankan urusan ketuhanan.

Dari semua kelompok yang ada (mukmin, yahudi, nasrani, shabiin, majusi, musyrik) yang disebut di dalam ayat-ayat Al-Qur’an di atas, mereka semua adalah kelompok orang-orang yang mengimani dan mengakui keberadaan Tuhan, meskipun berbeda pada detail dan rincian sifat-sifat Tuhan yang disembah. Adapun kelompok yang tidak mengimani dan tidak mengakui keberadaan Tuhan (ateis), mereka tidak pernah disebut di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Karena pada hakikatnya kelompok ini tidak pernah ada. Orang yang menyatakan bahwa Tuhan tidak ada adalah orang-orang yang tidak jujur kepada dirinya sendiri. Mereka adalah orang yang menyalahi fitrah dan kenyataan.

Mengimani dan mengakui Tuhan bisa dilakukan dengan cara menganut agama, maupun tanpa menganut agama. Hal ini tercakup dalam istilah shabiin atau shabiah sebagaimana uraian di atas.

Jadi, kalau leluhur Ki Sabdalangit yang secara lahiriah menganut aneka macam sistem kepercayaan dan tidak mendapatkan siksaan, hal itu bisa dipahami dan dijelaskan dengan uraian di atas: bahwa intinya keselamatan itu ada pada pengakuan hati secara tulus akan keberadaan Tuhan yang Maha Esa; meyakini adanya masa akhir kehidupan dan pembalasan bagi setiap amal yang dilakukan; serta senantiasa melakukan amal kebajikan.

Lantas kenapa ada ayat yang menyebutkan, Barangsiapa menjadikan selain Islam sebagai agama maka hal itu tidak akan diterima dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi?

Kata Islam oleh para ulama dipahami dengan dua hal:

Pertama, Islam dipahami sebagai bentuk pengesaan dan kepatuhan kepada Tuhan, at-tauhid wal inqiyad. Dengan pemahaman ini Islam berarti ketulusan hati menyerahkan diri hanya kepada Allah serta tunduk dan patuh pada kehendak-Nya. Ini berarti tidak pandang bulu, apa pun nama agama atau kepercayaannya asalkan berintikan penyerahan diri hanya kepada satu Tuhan Yang Maha Kuasa dan taat menjalaninya maka ia termasuk beragama Islam.

Dan orang yang tidak beragama seperti itu (tidak Islam dalam artinya ketulusan hati menyerahkan diri hanya kepada satu Tuhan yang serba maha dan patuh kepada-Nya) akan mendapatkan kerugian di alam baka. Kerugiannya total, ia akan terhalangi mendapatkan pahala-pahala kebaikan yang seharusnya ia dapatkan jika tetap mengikuti agama fitrah (agama fitrah adalah agama Islam dengan perngertian di atas, at-tauhid wal inqiyad). Dan dengan begitu ia tidak memiliki kebaikan, ia hanya akan mendapatkan kerugian dan kesengsaraan.

Kedua, Islam dipahami sebagai ajaran dan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Disini Islam telah memiliki bentuk formal dengan penyangga-penyangga yang harus dipenuhi. Islam dalam arti ini berarti:
1. Memberikan kesaksian dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah sang penyampai ajaran, utusan-Nya (syahadatain).
2. Mendirikan shalat, yaitu melakukan ritual peribadatan sebagai bentuk komunikasi dengan Tuhan.
3. Berpuasa pada bulan Ramadan, sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya yang membimbing kita agar mampu mengontrol dan menguasai diri untuk terus berada di jalan-Nya, takwa.
4. Membayarkan zakat sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya agar kita peduli kepada saudara dan sesama, dan
5. Melaksanakan haji, sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya agar kita melakukan kunjungan fisik ke tempat yang telah menjadi lokus dan saksi keberlangsungan penurunan risalah Tuhan yang dengan itu diharapkan menjadi penyempurna keislaman, keimanan dan keyakinan kita.

Kenapa ajaran dan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad, bukan nabi yang lain? Hal itu karena ajaran dan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan puncak ajaran dan syariat yang telah dibawa oleh para nabi sebelumnya. Ajaran dan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah penyempurna ajaran dan syariat sebelumnya. Allah yang telah menyempurnakannya dengan firman: alyauma akmaltu lakum dinakum, wa atmamu `alakum ni`mati, wa radhitu lakumul islaama diina (Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku kepada kalian, dan telah Aku restui kalian menjadikan Islam sebagai agama).

Dan, produk yang telah sempurna inilah yang dikeluarkan untuk dikonsumsi oleh seluruh umat manusia. Sehingga orang yang tidak mengikuti agama sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad akan mendapatkan kerugian di alam baka berupa, bisa kerugian total atau kerugian parsial berupa perbedaan derajat yang diraih.

Kenapa Islamnya Nabi Muhammad? Karena hanya produk yang telah sempurna yang berhak mendapatkan lisensi untuk beredar secara luas. Dan kaitannya dengan agama formal, hal itu adalah Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Islam ini adalah agama yang telah sempurna, lengkap dan mencakup keseluruhan. Maka jika ada orang yang lebih memilih sesuatu yang tidak sempurna maka bersiap-siaplah untuk kecewa dan merugi. Kerugian ini akan bertambah besar manakala Dzat yang kita tuju hanya mau menerima sesuatu yang telah sempurna.

Sementara sesuatu yang tidak sempurna, berarti masuk kategori cacat. Dan sesuatu yang cacat tidak akan dipasarkan, tidak akan ditampilkan dalam etalase kebanggaan. Dan mungkin pula malah dimusnahkan. Sesuatu yang cacat akan diperlakukan sesuai kadar kecacatannya.

Barangsiapa melakukan kebaikan sekecil debu pun ia akan melihat kebaikan itu untuk dirinya. Dan barangsiapa melakukan keburukan sekecil debu pun ia akan melihat keburukannya itu menimpa dirinya.

* Berkaitan dengan “petunjuk” maka petunjuk bisa didapatkan darimana saja, dari nasehat, ilham, inspirasi, pengalaman, pengetahuan, dan yang paling penting dimana semua orang memilikinya adalah dari pemikiran akal. Namun begitu ada petunjuk yang memberikan jaminan bahwa ia merupakan petunjuk yang paling tepat dan paling lurus (tidak mbulet dan berliku-liku) yaitu petunjuknya Kitab Suci Al-Qur’an. Di dalam salah satu ayatnya Al-Qur’an menegaskan bahwa dirinya adalah Kitab Petunjuk yang menunjukkan kepada jalan yang paling lurus, tidak ada yang lebih lurus darinya (yahdi lillati hiya aqwam).

[bersambung]

tulisan sebelumnya:
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (1)

tulisan berikutnya:
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (3)

PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (1)

PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT
sebuah komentar agamis

SUNGGUH. Saya merasa sangat senang dan beruntung bisa menemukan blog sabdalangit. Bagi saya tulisan-tulisan di http://sabdalangit.wordpress.com (selanjutnya perkenankan saya menyapa dengan Ki Sabdalangit) sangat menarik. Bukan semata-mata nuansa spiritual dan kebatinannya yang kental, tetapi juga penyampaiannya yang santun dan logis.

Entah, tanggapan-tanggapan saya nanti bisa diterima atau tidak karena saya merasa belum pernah menguasai ilmu-ilmu kebatinan dan spiritualitas sebagaimana dikuasai oleh Ki Sabdalangit. Padahal ilmu-ilmu itulah (dan pengalaman Ki Sabdalangit) yang menjadi landasan tulisan-tulisan yang beliau paparkan). Tetapi perkenankan saya melihatnya dari dimensi keilmuan yang lain, yaitu dari dimensi keilmuan agama Islam.

Saya ingin mencoba menguraikan pengalaman gaib seperti dialami dan dipaparkan oleh Ki Sabdalangit di http://sabdalangit.wordpress.com/pengalaman-gaib/ dengan berfokus pada sabda-sabda agama, baik yang berupa ayat-ayat Alquran maupun hadis-hadis Nabi. Juga saya ingin membandingkannya dengan pengalaman dan pengamalan tokoh-tokoh agama Islam pada masa terbaik generasinya. Yaitu generasi yang biasa disebut dengan nama generasi salafussalih (generasi yang hidup pada masa sekitar 300 tahun pertama sejak kemunculan ajaran Islam). Tepatnya generasi para sahabat Nabi; lalu generasi para sahabat dari sahabat-sahabat Nabi (tabiin), dan kemudian generasi sahabat-sahat dari para sahabat yang menjadi sahabat-sahabat Nabi (tabiu tabiin).

Sampai disitu berarti saya sedang berusaha menyebutkan landasan-landasan yang mendasari uraian-uraian saya selanjutnya. Maka jika dalam uraian-uraian saya nanti ternyata keluar dari landasan-landasan tersebut, dimohon perkenannya para pembaca yang mengetahui dan menyadari hal itu untuk mengoreksi dan mengingatkan saya. wa jazakallahu khaira.

Komentar saya mulai dari masalah waktu dimana Ki Sabdalangit sewaktu kecilnya biasa ‘kehilangan kesadaran’, sesaat memasuki dunia gaib.

“Waktu sore”

Saya tidak tahu apakah waktu sore yang disebut Ki Sabdalangit itu waktu dimana hari mulai gelap karena matahari terbenam ataukah waktu sebelum itu.
Dalam sebuah hadis, Nabi melarang umatnya membiarkan anak-anak kecil dan hewan ternak mereka berkeliaran di luar rumah pada saat matahari mulai terbenam. Karena pada saat ini bangsa setan sedang lalu-lalang ke mana-mana. (hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim).

Dari situ kita mendapat sedikit informasi mengenai aktifitas dan waktu pada salah satu alam halus. Yaitu makhluk-makhluk sebangsa setan (dari bangsa jin) mulai berkeliaran atau berlalu-lalang pada saat matahari mulai terbenam hingga awan merah di ufuk barat sirna.

Barangkali Ki Sabdalangit mempunyai pengalaman tersendiri mengenai waktu matahari terbenam ini dalam kaitannya dengan dunia makhluk halus. Sejauh ini saya belum membaca pengelaman beliau tentang masalah ini.

“Siapakah orang-orang itu?”

Siapakah orang-orang yang telah ditemui Ki Sabdalangit dalam ketidaksadarannya, seperti yang telah beliau kisahkan dalam pengalaman gaibnya ini?

Mereka adalah leluhurnya, eyang-eyangnya terdahulu yang telah meninggal dunia. Begitu yang saya simpulkan dari dialog Ki Sabdalangit bersama mereka di dalam kisah Pengalaman Gaib ini.

Sebagai orang yang belum mampu melihat alam lelembut, saya tentu tidak bisa memberikan penilaian mengenai kebenaran atau kesalahan pernyataan kesimpulan saya sendiri yang didasarkan pada pengalaman Ki Sabda di masa kecil itu.

Namun sebagai pembanding saja, di dalam ajaran agama Islam selain mengakui adanya arwah (yaitu ruh atau nyawa kehidupan yang dulu pernah menyatu di dalam tubuh manusia sebelum meninggal), agama juga mengakui keberadaan makhluk halus lain yang bukan arwah manusia. Makhluk halus ini diciptakan bersamaan dan menyertai kelahiran setiap manusia. Ia memiliki rupa, bentuk dan ukuran yang sama persis dengan manusia yang lahir tersebut. Makhluk halus ini selalu menyertai manusia kembarannya semasa hidupnya. Sehingga makhluk ini mengetahui hampir segala hal yang dilakukan oleh manusia kembarannya. Mungkin satu-satunya hal yang tidak diketahuinya adalah isi hatinya yang masih tersimpan. Makhluk halus ini termasuk kelompok makhluk yang tidak bisa dilihat oleh mata biasa, atau dalam bahasa agamanya makhluk ini berasal dari bangsa jin (kata jin secara bahasa berarti ‘tidak tampak karena tertutup’; seperti tertutup oleh selubung alam lain, beda alam). Makhluk inilah yang sering disebut dengan istilah ‘qarin’ (baca: korin, yang secara bahasa berarti ‘pasangan’, ‘kawan’ atau ‘rekan’).

Hadis Nabi mengenai qarin bisa ditemukan diantaranya di dalam kitab Sahih Muslim:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينٌ مِنَ الْجِنِّ
Juga bisa ditemukan di dalam al-Qur’an, diantaranya di dalam surat Az-Zukhruf 36 & 38:
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
dan
حَتَّى إِذَا جَاءَنَا قَالَ يَا لَيْتَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ بُعْدَ الْمَشْرِقَيْنِ فَبِئْسَ الْقَرِينُ

Selain itu, keberadaan qarin juga bisa ditemukan dalam keyakinan agama bangsa Mesir kuno. Dalam keyakinan Mesir kuno disebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah yang dikeringkan seperti tembikar. Dan disaat kelahirannya manusia ini bertemu dengan ‘Ka’, yaitu pasangan atau kawan (qarin) yang persis menyerupai dirinya, hanya saja ia tidak bisa dilihat. Selain ‘Ka’, ada ‘Ba’ yang diciptakan bersamaan dengan penciptaan manusia. Wujud ‘Ba’ biasanya dikhayalkan dalam rupa burung berwajah manusia. ‘Ba’ ini tidak lain adalah ruh bagi tubuh tanah manusia.

Di dalam sebuah hadis, Nabi memberitahukan bahwa qarin manusia yang tak tampak itu cenderung mengajak manusia kembarannya untuk memperturutkan hawa nafsu, kecuali qarin beliau. Qarin Nabi telah disetup oleh Allah untuk tidak mengajak, kecuali pada kebaikan.

Terlalu jauh tentang qarin. Bagaimana dengan orang-orang yang ditemui oleh Ki Sabdalangit? Apakah ia ruh para leluhurnya ataukah ia qarin-qarinnya? Saya tidak bisa memberikan jawaban yang pasti. Saya hanya mampu memberikan informasi di atas sebagai awal bahan renungan dan perbandingan.

Di dalam kitab Ar-Ruh karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah disebutkan: “Ketika ingin mecabut nyawa seseorang, Malaikat Pencabut Nyawa mengulurkan tangannya ke arah ruh yang ada di dalam jasad manusia. Lalu ruh pun keluar dalam bentuk cahaya seperti sinar matahari dan berbau harum [atau berbau busuk tergantung amal perbuatan pemilik ruh sebelumnya].”

Di dalam kitab ini juga disebutkan bahwa ruh di dalam dunianya (dunia arwah) tidak dikenali berdasarkan rupa fisiknya, tetapi berdasarkan ciri-ciri dan sifat-sifatnya.

Apakah berarti yang ditemui Ki Sabdalangit adalah para qarin? Saya tidak tahu, tetapi tidak otomatis begitu. Karena menurut kitab tersebut, ruh-ruh yang bebas (yang tidak sedang menjalani siksaan) bisa pergi ke mana pun yang dikehendaki dan bisa menemui siapa pun yang ingin ditemuinya. Banyak kisah dari para salafussalih yang menyebutkan bahwa ruh-ruh itu menemui sahabat-sahabat atau keluarganya, meskipun ada juga yang menemui orang lain (bukan kategori sahabat atau keluarga) yang diingininya. Hanya saja, pertemuan ini bisa segera terjadi ketika si arwah yang menghendaki pertemuan, bukan orang yang masih hidup berjasad yang menginginkan pertemuannya. Orang yang masih hidup bisa mengharapkan bertemu dengan arwah orang yang telah meninggal melalui permohonan doa kepada Allah supaya bisa dipertemukan. Dan ini berarti terserah kehendak Allah, apakah akan mempertemukan mereka atau tidak.

Kapankah pertemuan bisa berlangsung? Biasanya pertemuan terjadi ketika masing-masing arwah berada dalam dunia yang sama, yaitu ketika masing-masing arwah berada dalam genggaman Allah bukan saat terkungkung dalam tubuh jasmani. Dan itu berarti ketika seseorang yang masih hidup dalam keadaan tidur, pingsan, atau keadaan yang sejenis dengan keadaan itu–dimana kesadaran penuh tidak sedang mengontrol jasmani.

Al-Quran menyebutkan bahwa Allah menggenggam ruh orang-orang yang telah mati dan orang-orang yang masih hidup di saat tidurnya (Q.S. Az-Zumar, 39: 42). Pada saat-saat seperti inilah dimungkinkan terjadinya pertemuan antara ruh orang yang masih hidup dengan ruh orang yang telah meninggal dunia.

Pertemuan semacam itu, menurut keterbatasan saya, berbeda dengan pertemuan yang diusahakan melalui cara-cara ritual menghadirkan arwah, jaelangkung, kesurupan dan sejenisnya. Dan mungkin juga berbeda dengan melalui cara lolos sukma atau meraga sukma yang menurut uraian Ki Sabdalangit mampu mengidentifikasi berbagai dimensi alam gaib. Karena dalam pertemuan-pertemuan yang diusahakan semacam ini sangat mungkin terjadi campur tangan makhluk halus lain yang kita tidak mengetahui dan mengenali hakikatnya. Jadi, masih menyisakan keraguan dan ketidakpastian informasi atas kebenarannya.

Meskipun begitu saya harus mengakui, saya belum mengetahui hakikat ilmu meraga sukma ini dan alam apa saja yang bisa ditembus dengan ilmu ini, serta seberapa jauh kebenarannya bisa diyakini.
[bersambung]

tulisan berikutnya:
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (2)
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (3)