Monthly Archives: November 2012

SOLILOKUI – AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH

solilokui:

AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH

Seperti yang tampak dalam definisi salaf, salafiyyah, dan salafiyyun—dan dengan mengaitkan hal tersebut pada Hadits yang berbunyi `alaikum bisunnatii wa sunnatil khulafaa´ al-raasyidiin (teladanilah perilakuku dan perilaku para penggantiku yang bijaksana—lurus mengikuti petunjuk), atau pada Hadits yang menyebutkan perpecahan umat menjadi 73 golongan, dan hanya satu dari 73 golongan ini yang selamat, yaitu ahlussunnah wal jamaah—maka kita bisa mengetahui apa atau siapa sebenarnya Ahlussunnah wal Jamaah.

Siapakah Ahlussunnah wal Jamaah? Mereka adalah golongan: maa ana `alaihi wa ashhaabi (yaitu golongan yang meneladaniku dan para sahabatku). Dari situ kita mendapati bahwa terma salaf, salafiyyah dan salafiyyun telah mampu mewakili (secara sempurna) makna dan pemahaman tentang ahlussunnah wal jamaah itu sendiri.

Jadi, batasan seseorang itu termasuk ahlussunnah wal jamaah atau bukan, adalah: hadir atau absennya teladan ajaran yang digariskan oleh Nabi dan para sahabatnya. Jika seorang muslim mengamalkan ajaran-ajaran yang ada di dalam al-Qur´an, tetapi pada saat yang sama menolak atau mengingkari panduan yang diberikan oleh Nabi atau para sahabatnya, maka ia bukan termasuk ahlussunnah wal jamaah. Dan begitu seterusnya.

Jika begitu, ahlussunnah wal jamaah tidaklah berdasarkan pada nama atau label, akan tetapi pada keyakinan dan praktek. Seorang muslim yang dalam label atau nama golongannya menggunakan frasa ahlussunnah wal jamaah belum tentu merupakan kelompok ahlussunnah wal jamaah jika prakteknya menyalahi maa ana `alaihi wa ashhaabi. Sebaliknya, seorang muslim yang menerapkan prinsip maa ana `alaihi wa ashhaabi adalah kelompok ahlussunnah wal jamaah meskipun label atau nama kelompoknya tidak menggunakan frasa ahlussunnah wal jamaah. Ini berarti, bisa saja ditemukan muslim-muslim yang ahlussunnah wal jamaah di dalam kelompok-kelompok lain yang tidak menggunakan label atau nama ahlussunnah wal jamaah.

Dan, dengan begitu, tidak gampang bagi siapa pun untuk menghakimi secara sepihak bahwa suatu kelompok tidak termasuk golongan ahlussunnah wal jamaah, kecuali jika kelompok tersebut atau individu itu secara terang-terangan menyatakan mengingkari dan menolak petunjuk Nabi dan sahabat-sahabat Nabi.

Ungkapan Nabi, “maa ana `alaihi wa ashhaabi” merupakan kalimat pendek namun sangat jelas, dan pada saat yang sama sangat luas cakupan maknanya. shalla `alaikallahu, yaa rasuulallah!. Ungkapan Nabi termasuk dalam kategori maa qalla wa dall, ungkapan pendek namun padat berisi yang merupakan bagian dari khairul kalam dalam teori balaghah.

Di antara keluasan maknanya adalah, kita bisa menjadikan praktek-praktek yang dilakukan oleh para sahabat Nabi sebagai petunjuk dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama tanpa harus takut dicap bid´ah atau keluar dari kelompok ahl sunnah wal jamaah.

Di antara keluasan cakupannya adalah bahwa sahabat Nabi itu banyak dan masing-masing, tidak jarang, memiliki cara pemahaman yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dan meskipun begitu, kita tetap dibenarkan mengikuti siapa pun di antara mereka yang mau kita acu pemahaman dan praktek keagamaannya. Siapa pun dari sahabat-sahabat Nabi itu (selama mereka ‘ar-rasyidun‘, selama mereka lurus mengikuti petunjuk Nabi). Sabda Nabi, sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang (di angkasa), yang mana pun di antara mereka yang kau pilih sebagai pedoman maka kau akan mendapatkan petunjuk. Kita lihat, betapa luasnya cakupan ini, dan kita lihat betapa luas dan menariknya ajaran Islam ini.

========

tambahan

========

Di dalam buku al-maghfurlah Hadhratus Syaikh Romo Yai Asrori Al-Ishaqi—pengasuh Pesantren Kedinding Surabaya dan Jamaah Al-Khidmah, yang juga seorang mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah—yang berjudul Al-Muntakhabat fi Rabithatil Qalbiyyah wa Shillatirruhiyyah, juz pertama halaman 161, pada edisi aslinya yang berbahasa Arab, saya membaca uraian Dzun Nun al-Mashry berikut ini:

فقد شبه الرسول – صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم—أصحابه رضي الله عنهم بالنجوم لا بالكواكب، لأن النجوم ما يهتدى بها في البر والبحر لكبرها وكثرة ضوئها ونورها بخلاف الكواكب، هي الصغار التى ﻻ يهتدى بها

Rasulullah s.a.w. menyerupakan sahabat-sahabatnya r.a. dengan “nujum” (secara konotatif saat ini kata nujum mengarah pada arti bintang), tidak menyerupakan mereka dengan “kawakib” (secara konotatif saat ini kata kawakib mengarah pada arti planet). Karena “nujum”-lah yang bisa digunakan sebagai petunjuk di daratan dan lautan, sebab ukurannya yang besar dan terangnya sinar/cahaya yang dimiliki. Berbeda dengan “kawakib”, ukurannya kecil; sehingga tidak cukup digunakan sebagai penunjuk.

Dalam tradisi keilmuan kita, bintang berarti benda langit yang terdiri dari gas menyala, sehingga disebut bersinar. Sementara planet berarti benda langit yang tidak mengeluarkan panas atau tidak menyalakan sinar/cahaya. Begitu pula yang lazim dipahami dalam tradisi keilmuan Arab masa kini, dan hal itu sepertinya mendapat dukungan Kitab Suci Alquran saat menyatakan, “huwa alladzi ja`alas syamsa dhiyaan wal qamara nura.” Dari kata “dhiya‘” dan “nur” diperoleh perbedaan antara cahaya asli dan cahaya pantulan. Hal ini untuk mengukuhkan pemahaman mengenai benda langit yang menyala dari dalam dirinya dan benda langit yang tidak menyala dari dalam dirinya, tetapi mampu memantulkan cahaya yang mengenai dirinya sehingga juga tampak bercahaya/menyala.

Akan tetapi uraian dalam buku ini tidak melihatnya dari sisi tersebut, melainkan dari sisi ukuran besar dan kecilnya. Dimana nujum adalah benda langit yang bisa dibuat petunjuk arah di daratan maupun di lautan karena penampakannya yang besar, sinarnya yang kuat dan terang. Berbeda dengan kawakib, dimana kawakib dalam uraian ini adalah benda langit yang penampakannya kecil sehingga tidak bisa dijadikan penunjuk arah.

Jadi benda langit itu disebut bintang atau planet (nujum atau kawakib) tergantung pada ukuran penampakannya dan kemampuannya untuk dijadikan petunjuk (cahaya yang diberikan), bukan pada hakikat kemampuannya mengeluarkan sinar dari dalam diri sendiri atau bukan. Sehingga apa yang biasa kita kenal sebagai planet (kawakib)–Merkurius, Mars, Saturnus, Jupiter dan Venus—dalam kaitan ini mereka adalah bintang (nujum) karena cahaya yang dipantulkannya lebih terang dan lebih besar dari pada benda-benda langit lainnya. Dan karenanya lebih bisa dijadikan petunjuk daripada ribuan bintang (kawakib) lainnya yang kecil, jauh dan redup.

Pada halaman sebelumnya, tepatnya halaman 140, disebutkan:

فالنجوم: هن الطوالع السوائر الغوارب: عطارد والمريخ وزحل ومشتري والزهرة وسميت نجوما لأنها تنجم أي تطلع من مطالعها في أفلاكها. وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (7) (الأنعام: 97) وما عدا ذلك: كواكب. إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) (الصافات: 6)

فالكواكب :معلقات من السماء كالقناديل. والنجوم لها مطالع ومغارب. فهن أمان لأهل السماء، فإذا ذهبت أتى أهل السماء ما يوعدون. وعلى هذا يؤول قوله صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم: مثل أصحابي مثل النجوم بأيهم اقتديتم اهتديتم – اخرجه البيهقي.

Nujum adalah benda-benda langit yang terbit, beredar dan tenggelam, seperti Merkurius, Mars, Saturnus, Jupiter, dan Venus. Mereka dinamai nujum karena memiliki permulaan, yakni terbit dari tempat-tempat terbitnya di angkasa. “Dia-lah yang telah menjadikan nujum untuk kalian agar kalian menjadikannya sebagai penuntun/petunjuk dalam kegelapan-kegelapan daratan dan lautan. Sungguh Kami telah merincikan tanda-tanda ini kepada kaum yang mengetahui” (al-An`am: 97). Selain itu adalah kawakib. “Sungguh Kami telah menghiasi langit bawah (dunia) dengan hiasan berupa kawakib. Dan (kawakib ini) sebagai penjaga dari setiap setan yang usil” (as-Shaffat: 6)

Kawakib adalah benda-benda langit yang tidak tampak permulaan terbit dan tenggelamnya (ia tampak menetap di tempat tersebut, seperti uplik/lentera yang digantungkan). Nujum memiliki tempat terbit dan tempat terbenam. Nujum menjadi tanda ketentraman penduduk langit. Jika nujum sirna maka datanglah (Hari Kiamat) yang dijanjikan kepada penduduk langit.

Berdasarkan hal inilah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi ditafsirkan, “Perumpamaan sahabat-sahabatku adalah seperti nujum (bintang). Dengan nujum yang mana pun kalian menjadikan pedoman maka kalian akan mendapatkan petunjuk.

Jadi sahabat di sini bukan sekedar sahabat dalam pengertian: setiap orang yang pernah berjumpa dengan Rasulullah SAW; atau orang yang pernah berbaiat kepadanya; atau orang yang pernah melihat beliau meskipun hanya sekali waktu. Tetapi, yang dimaksud adalah: para sahabat Nabi yang sering mendampingi beliau, mempelajari wahyu yang masih segar dari beliau, mempelajari syariat yang menjadi kurikulum umat dari beliau, menyaksikan tatakrama dan kebaikan Islam dari beliau, sehingga kemudian mampu menjadi imam yang sanggup memberikan bimbingan dan arahan sepeninggal Nabi SAW. Sahabat dengan kualifikasi semacam inilah yang boleh dijadikan panutan sebagai lentera penunjuk.

==============

selesai tambahan

==============

Dengan mempertimbangkan banyaknya sahabat Nabi yang menjadi “bintang” maka sampai disini tak perlu dikuatirkan, kita masih dalam koridor terma ahlussunnah wal jamaah dan—juga—belum keluar dari batasan terma salaf. Kita belum tersesat ke mana-mana. Jika perbedaan-perbedaan para sahabat Nabi dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam tersebut mendapat justifikasi dari Sabda Nabi, maka bagi umat-umat generasi setelahnya perbedaan-perbedaan itu merupakan rahmat, bukan laknat. Perbedaan itu menjadi rahmat karena kita (umat setelah mereka) diberi keleluasaan untuk memilih bintang (baca: petunjuk sahabat) yang sesuai dengan kondisi, lingkungan dan semangat yang kita miliki atau kita hadapi. Kita tidak pernah dipaksa untuk mengikuti satu bintang (baca: satu sahabat) tertentu, akan tetapi semua sahabat Nabi (yang bintang) boleh kita pilih. Karena bisa jadi, satu sahabat belum bisa mewakili kesempurnaan ajaran yang dibawa Nabi. Abu Bakar yang lembut, Umar yang keras, Utsman yang dermawan Ali yang cendikiawan dan seterusnya, hanyalah salah satu contoh yang mengibaratkan sisi-sisi perbedaan, akan tetapi saling menyempurnakan.

Menuju Contoh Praktis.

Perbedaan yang sekarang (dan dulu juga) sering dijadikan amunisi pemecah belah umat, padahal awalnya ditujukan sebagai rahmat demi mengasihi umat-umat belakangan yang tidak sempat menyaksikan kemuliaan dan kesempurnaan ajaran Islam, juga kesempurnaan dan kemuliaan akhlak Rasulnya, diantaranya:

Contoh pertama, kullu bid`atin dlalaalah, wakullu dlaalatin fin naar.

Ada sebagian umat Islam yang memahami sabda tersebut secara letterlijk, sehingga mereka memahami semua bid´ah adalah sesat dan tak ada tempat lain bagi pelakunya selain neraka.

Kalau kita mau menggunakan lentera di atas, yaitu maa ana `alaihi wa ashhaabi dan juga sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang (di angkasa), yang mana pun di antara mereka yang kau pilih sebagai pedoman maka kau akan mendapatkan petunjuk maka akan kita dapati para sahabat Nabi telah melakukan banyak sesuatu yang secara letterlijk merupakan bid´ah. Namun rupanya mereka tidak memahami kullu bid´atin dlalaalah, wakullu dlalaalatin fin naar dengan cara yang letterlijk ini. Sebut saja yang telah dilakukan oleh Umar Ibn Khattab: pengumpulan al-Qur´an, penundaan pemotongan tangan pencuri bahkan penambahan salat tarawih menjadi 20 rakaat yang disertai dengan ucapannya: “Ini adalah sebaik-baik bid´ah (ni`mat al-bid`ah hadzih!)”

Jika semua bid´ah sesat dan dengan begitu mengantarkan pelakunya ke neraka maka Umar Ibn Khattab akan menuju ke sana, tapi bukankah sahabat Umar, yang sering mendapat ilham ini, adalah satu di antara 10 orang yang dijamin masuk surga?! (minal mubasysyirin bil jannah?) Dengan begitu tidak semua bid´ah akan mengantar pelakunya ke neraka, melainkan ada di antara bid´ah itu yang akan mengantarkan pelakunya ke surga, insyaallah. Bid´ah semacam inilah yang masuk dalam cakupan man sanna sunnatan hasantan falahu ajruhaa wa ajru man `amila bihaa.

Bukan hanya Umar, sahabat-sahabat yang lain pun melakukan. Ada Utsman yang berani memindahkan dinding kiblat Masjid Nabawi, dan lain-lainnya. Apakah itu berarti para sahabat telah tersesat, terjebak dalam lobang bid´ah?! Tentu tidak. Yang pasti, pemahaman mereka tentang bid´ah tidak sama dengan pemahaman sebagian umat Islam berikutnya tentang bid´ah yang kulluhaa dlalaalah wa fin naar, kamaan!

Dalil terkuat yang menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika mengusulkan pengumpulan Al-Qur’an adalah bid`ah adalah ucapan Khalifah Abu Bakr yang mempertanyakan, “kaifa af`alu ma la yaf`aluhu rusulullah?!” Di sini Abu Bakr jelas-jelas melihat pengumpulan al-Qur’an sebagai tindakan bid’ah. Dengan perkataan ini, “Bagaimana aku akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah?!” Bukankah pertanyaannya ini merupakan inti yang bisa dipahami dari kata bid’ah: sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah!” Tetapi apa jawaban `Umar, “wallahi hadza khair! Demi Allah ini adalah baik”. Dengan jawaban Umar ini, akhirnya Abu Bakar pun menyetujui, juga Zaid bin Tsabit dan selanjutnya para sahabat Nabi. Dengan jawaban Umar ini para ulama mampu membuat kesimpulan bahwa di antara bid`ah ada yang “khair” atau “hasanah” atau “baik”.

Contoh kedua, pembacaan puji-pujian, atau bahkan syair dan nyanyian untuk Nabi, baik dalam moment Maulid Nabi maupun di luar moment itu, seperti yang dilakukan di musola-musola dan masjid-masjid di banyak tempat di nusantara. Itu bukan murni bid´ah.

Kalau kita menengok lentera di atas, yaitu maa ana `alaihi wa ashhaabi dan sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang (di angkasa), yang mana pun di antara mereka yang kau pilih sebagai pedoman maka kau akan mendapatkan petunjuk, maka akan kita dapati seorang sahabat yang dikenal sebagai pujangganya Nabi, Hisan bin Tsabit (tolong koreksi jika saya keliru). Di samping syair-syair yang menunjukkan keagungan Islam, Hisan juga mendendangkan syair-syair yang memuji kepribadian dan akhlak Nabi. Nabi membiarkan penyairnya bersyair selama dalam bait-bait syairnya memiliki sandaran kebenaran, bukan omong kosong atau malah kesesatan. Begitulah para penyair berikutnya mengikuti jejak Sahabat Nabi, Hisan. Hal seperti itu pula yang dilakukan oleh Ad Dibai, Imam Bushairi, Ahmad Syauqi dan lain-lain, banyak hitungannya. Melihat kenyataan ini, berarti kita salah jika menuduh kebiasaan memuji Nabi melalui bait-bait syair merupakan produk Syiah. Ia (pujian) memiliki sandaran kuat pada Sunnah Taqririyyah Nabi.

Contoh ketiga, peringatan Natal Nabi atau Maulid Nabi.

Memperingati atau merayakan hari kelahiran, ulang tahun, maulid atau natal bukan bid´ah. Ulang tahun, maulid atau natal telah ada sejak dulu, minimal sejak masa Nabi Isa lewat ucapannya yang diabadikan oleh al-Qur´an salaamun `alayya yauma wulidtu wa yauma amuutu yang secara sederhana bisa kita artikan selamat natal (bisa juga: selamat datang/lahir) dan selamat jalan untuk diriku.

Tampaknya, sejak dulu kala hingga saat ini, hari kelahiran itu dirayakan atau diperingati secara individual, artinya terbatas pada pihak yang bersangkutan dan orang-orang dekat yang dilibatkan/diundang, bukan peringatan dan perayaan secara massal. Nabi pun begitu, beliau memperingati hari lahirnya secara pribadi dengan cara melakukan kebaikan atau ibadah taqarrub kepada Allah, puasa di hari lahirnya sebagai bukti kesyukuran kepada Sang Pencipta. Nabi telah memberikan alasan, mengapa beliau puasa pada hari Senin. Mustinya, puasa pada hari itu terbatas untuk Nabi, karena beliau yang lahir pada hari itu, tapi mengapa kita-kita umat pengikutnya juga mendapatkan pahala ketika melakukan puasa pada hari itu dan dengan alasan yang sama, mengapa peringatan/perayaan yang sebenarnya individual itu boleh, bahkan sunnah, merata ke massa yang lebih besar, seluruh umat Islam? Jika begitu, kiaskan sendiri dengan praktek perayaan Maulid Nabi yang (katanya) dilakukan sejak zaman Shalahuddin al-Ayyubi itu. (saya masih mencoba menelusuri sumber-sumber yang menyebutkan permulaan Perayaan Maulid Nabi ini. Karena, perasaan, saya pernah membaca tentang ini dan tokohnya bukan Panglima Shalahuddin, kalo saya tak salah ingat:-). Dalam penilaian saya, orang yang pertama kali merayakan Maulid Nabi secara massal, dengan disertai sedekah (bukan puasa), memberi makan orang-orang kelaparan telah melakukan sanna sunnatan hasanatan, sama dengan yang telah dilakukan oleh Umar Ibn Khattab ketika menambahi jumlah rakaat tarawih.

Contoh keempat, ziarah kubur.

Banyak sahabat, tabiin dan tabiu tabiin serta ulama berikutnya yang melakukan ziarah kubur dan berpendapat ziarah kubur boleh bahkan sunnah dilakukan, karena Nabi sendiri melakukannya. Nabi sering menziarahi pemakaman umum Baqi´ semasa hidupnya. Bahkan sejak kecil Nabi telah diajak menziarahi makam ayahnya oleh ibundanya.

Pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa di pekuburan pun bisa ditelusuri prakteknya pada masa para sahabat dan Tabiin. Diantara isyarat yang bisa dirujuk adalah kisah Imam Ahmad bin Hanbal yang menganggap bid’ah seseorang yang tengah membaca Al-Qur’an di pemakaman. Namun setelah mendapat konfirmasi dari salah seorang sahabatnya (Muhammad bin Qudamah al-Jauhari) yang turut bersamanya dalam pemakaman itu, akhirnya Imam Ahmad bin Hanbal pun menyuruh orang tersebut untuk meneruskan bacaannya. Dan, begitulah!

Sampai sejauh ini, adakah orang-orang atau kelompok yang melakukan semua contoh-contoh di atas telah keluar dari: maa ana `alaihi wa ashhaabi dan sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang (di angkasa), yang mana pun di antara mereka yang kau pilih sebagai pedoman maka kau akan mendapatkan petunjuk, dan dengan begitu layak disebut sebagai bukan termasuk golongan ahlussunnah wal jamaah atau salafi?

(baca tulisan-tulisan panas, bukan hanya hangat, Mas Admin!) di sini:

http://salafy.wordpress.com/ terutama yang ini http://salafy.wordpress.com/2008/03/13/salafiyah-paling-ditakuti-nu-sejak-awal/)

(saat saya coba cek ulang pada hari ini: 21 oktober 2012, halaman-halaman situs tersebut sudah tidak ada).

Jika kawan-kawan berkesempatan membaca tulisan-tulisan yang semacam itu, maka ingat tulisan Prof. Dr. Muhammad Imarah bahwa SALAFI ITU BERMACAM-MACAM, satu diantaranya seperti itu, satu lainnya seperti kita, dua, tiga, banyak lagi…. Jangan kaget!!!

Dan yang lebih penting…. JANGAN TENGKAR!!!

Salam,

Shocheh Ha.

(Tulisan ini adalah dokumentasi posting saya di milis alumnifutuhiyyah@yahoogroups.com on Wed Jul 9, 2008 20:34, dengan penambahan dan perbaikan untuk blog fakra ini)

PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (3)

PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (3)
sebuah komentar agamis

Dari pengalaman gaibnya, Ki Sabdalangit sampai pada kesimpulan:

Betapa Tuhan itu :

LEBIH DARI MAHA ADIL
LEBIH DARI MAHA BIJAKSANA
LEBIH DARI MAHA BESAR
LEBIH DARI MAHA KUASA
LEBIH DARI MAHA KASIH DAN PENYAYANG
LEBIH DARI MAHA LEMBUT
LEBIH DARI MAHA PEMURAH

Akhirnya, sampailah saya pada pemahaman:

ALANGKAH DAMAINYA DUNIA INI
JIKA SEMUA ORANG MENGALAMI SAMA DENGAN APA YANG PERNAH SAYA ALAMI
JIKA TUHAN MEMBERI KESEMPATAN KEPADA SELURUH MANUSIA
UNTUK MELIHAT RAHASIA KEKUASAAN“NYA”
PASTI LAH TAK KAN ADA LAGI PERANG ANTAR AGAMA
TAK KAN ADA LAGI DEBAT KUSIR SIAPA SEJATINYA TUHAN
TAK KAN ADA LAGI RASA KEBENCIAN DAN PERMUSUHAN ANTAR AGAMA
TAK KAN ADA LAGI SALING CURIGA DI ANTARA UMAT

SAYA TELAH MENDAPATKAN PEMAHAMAN YANG AMAT SANGAT BERHARGA,
SAMPAILAH PADA PEMAHAMAN BETAPA TUHAN ITU LEBIH DARI MAHA SEGALANYA,
DARI SEMUA WUJUD KE-MAHA-AN TUHAN
YANG TERTULIS DI DALAM KITAB SUCI DAN AGAMA MANA PUN

Betapa Tuhan itu:”

Saya setuju, bahasa tutur standar atau bahasa tutur biasa yang ditulis, memiliki banyak keterbatasan dalam mengungkap hakikat-hakikat yang kita alami. Misalnya kata gembira pada situasi tertentu, bisa jadi, hanya mewakili sedikit ruang perasaan yang ketika itu kita rasakan. Lebih-lebih jika bahasa tutur ini digunakan untuk menjelaskan hakikat kesempurnaan Tuhan Yang Maha Agung, tentu kekurangannya semakin terasa. Belum lagi keterbatasan makna kata dalam bahasa yang sangat ditentukan oleh pengetahuan, kebudayaan, dan lingkungan penutur bahasa itu sendiri.

Tetapi permasalahannya harus berbeda ketika menyangkut Kitab Suci. Makna kata dalam bahasa Kitab Suci harus dipahami melampaui batas-batas yang mempersempitnya, baik batas pengetahuan, batas kebudayaan, batas lingkungan dan batas-batas lainnya jika masih ada. Kenapa? Karena penuturnya adalah Dzat Maha Sempurna yang tidak tersekat dalam batas-batas tersebut. Para pengikut Tasawuf telah memahami ini dengan lebih mendalam. Sehingga mereka lebih memilih mengungkapkan ketidakterungkapan bahasa tutur melalui perilaku aneh dan bait-bait vulgar, sajak orang yang tengah mabuk atau tak waras; hingga karena hal ini, diantaranya, mereka sering mendapat cercaan.

Kenyataan kebahasaan ini juga telah jamak diketahui oleh mereka yang mendalami disiplin ilmu-ilmu keislaman lainnya. Hal itu bisa dibuktikan dengan maraknya kitab pensyarah atau penjabar bagi kitab-kitab yang lain dalam tradisi literer Muslim. Bahkan biasanya kitab tersebut langsung mengusung judul “syarh” atau “syuruh” yang berarti penjabar. Kitab jenis ini memiliki uraian yang lebih panjang lebar mengenai sebuah kata atau kalimat tertentu, atau permasalahan tertentu. Dan termasuk ke dalam kategori kitab pensyarah atau penjabar adalah kitab-kitab tafsir.

Sebagai contoh, dalam tradisi pesantren klasik ketika memaknai kata ar-rahman yang biasa diterjemahkan dengan padanan Yang Maha Pengasih, tradisi pesantren menjabarkannya dengan uraian ayyil mun’imi bijalailin ni`am, (yaitu Dzat Pemberi segala kenikmatan yang besar. Kenikmatan yang besar ini bisa dimaknai dengan segala jenis kenikmatan yang terindera, semisal kekayaan, rezeki, jodoh, tempat tinggal, dan seterusnya. Penjabaran tentang kata ini biasanya juga dilanjutkan dengan pernyataan bahwa semua anugerah atau kenikmatan yang besar terindera ini diberikan oleh Allah kepada seluruh makhluk-Nya tanpa kecuali).

Sementara ketika memaknai kata ar-rahim yang biasa diterjemahkan dengan padanan Yang Maha Penyayang, tradisi pesantren menjabarkannya dengan uraian ayyil mun`imi didaqaiqiha (yaitu Dzat Pemberi segala kenikmatan yang lembut, yang bisa dimaknai dengan anugerah atau kenikmatan yang tidak terindera, semisal perhatian, kasing sayang, dukungan, pertolongan, kebahagiaan, kepuasan, kekekalan, pencapaian derajat kesempurnaan, dan seterusnya. Penjabaran tentang kata ini biasanya juga dilanjutkan dengan pernyataan bahwa jenis anugerah atau kenikmatan ini diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang layak dan berhak saja, yaitu yang bersungguh-sungguh mengharap dan menuju-Nya).

Selain itu, selain sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah juga berkuasa mutlak. Tidak ada sesuatu pun yang mampu membatasi atau mengurangi kekuasaan-Nya. Dan, kehendak-Nya pasti terjadi.

Dengan kenyataan-kenyataan itu, saya menyetujui kesimpulan Ki Sabdalangit bahwa Tuhan lebih dari segala yang bisa dipahami dari sebuah kata dalam kebiasaan penggunaan kata ini di dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapannya: “Betapa Tuhan itu: LEBIH DARI MAHA ADIL”, dan seterusnya. Saya uraikan penyebabnya: Karena pemahaman kita atau pemaknaan kita tentang frasa “Maha Adil” dibatasi oleh sekat-sekat keterbatasan kita: keterbatasan pengetahuan, keterbatasan budaya, keterbatasan lingkungan, keterbatasan fisik dan kemampuan, dan mungkin masih banyak batas-batas lainnya.

Yang saya tidak berani menyetujui adalah pernyataan Ki Sabdalangit yang mengatakan:

BETAPA TUHAN ITU LEBIH DARI MAHA SEGALANYA, DARI SEMUA WUJUD KE-MAHA-AN TUHAN YANG TERTULIS DI DALAM KITAB SUCI DAN AGAMA MANA PUN”

Saya setuju ke-maha-an Allah tidak terjangkau oleh akal pikiran kita; karena itu Nabi berpesan agar kita tidak menganalisa Allah, tetapi cukup menganalisa ciptaan dan karya Allah. Hal itu karena Nabi memahami keterbatasan kemampuan akal. Sabda Nabi merupakan bagian dari agama, dan itu berarti agama telah menampung dan menyampaikan hakikat ini. Dengan begitu, saya merasa ungkapan Ki Sabdalangit pada kalimat “DARI SEMUA WUJUD KE-MAHA-AN TUHAN YANG TERTULIS DI DALAM KITAB SUCI DAN AGAMA MANA PUN” terkesan ‘mengecilkan’ keberadaan semua Kitab Suci dan semua agama.

Padahal tidak mungkin Kitab Suci berupa uraian yang panjang lebar untuk menjelaskan hakikat yang sejatinya. Karena kalau itu terjadi Kitab Suci akan menggemuk berjilid-jilid tanpa henti. Bahkan dalam ayat al-Qur’an (Luqman, 31: 27, juga al-Kahf, 18: 109) disebutkan, Sungguh jika seluruh pohon di muka bumi dijadikan pena dan sebuah samudera ditambah tujuh samudera lainnya menjadi tinta untuk menuliskan “kalimat-kalimat” Tuhan, niscaya itu semua masih belum mencukupi. Kalau itu terjadi, mungkin tidak ada satu makhluk pun yang sanggup membaca Kitab Suci. Karena itu Kitab Suci diturunkan dalam rupa kalimat yang ringkas, tetapi maknanya mencakup semua hakikat yang ada. Memang tidak semua orang sanggup menyelami semua hakikat yang terkandung dalam sebuah kata atau makna ayat Kitab Suci, tetapi itu semua tergantung pada kesungguhan masing-masing dalam menggali dan mendalaminya. Karena itu, penjelasan dan uraian diperlukan.

Penjelasan dan uraian pertama datang dari Allah dalam wujud para rasul dan nabi bersama masyarakat dan lingkungan yang menjadi lokus turunnya Kitab Suci. Bagaimana mereka memahami dan menerapkan apa yang dititahkan Kitab Suci. Hal itu adalah bagian dari penjelasan dan uraian yang diberikan oleh Allah.

Penjelasan berikutnya bisa berupa akal-akal kuat yang mampu menyelami dan mendalami ayat-ayat dalam Kitab Suci. Penjelasan lainnya bisa berupa ketajaman batini atau intuisi dan kemampuannya merajut serta merangkaikan hakikat batiniah sehingga bersesuaian dengan yang tersurat di dalam ayat-ayat lahiriah Kitab Suci.

Dan beribu macam penjelasan lainnya, tetapi (yang benar) tetap dengan menjadikan teks-teks yang tertulis di dalam Kitab Suci sebagai patokan dan panduan yang akan mengarahkan dan membimbing, dan tidak membiarkan “nafsu diri” atau “kehampaan” yang menjadi pembimbing dan pengarah. Dengan begitu Kitab Suci berfungsi sebagai penentu yang menilai suatu penjelasan/uraian bersesuaian dengan Firman Tuhan atau tidak.

Dari literatur para ilmuwan yang mendalami ilmu-ilmu al-Qur’an (Kitab Suci) dan para ahli makrifat saya mendapati pernyataan bahwa satu ayat al-Qur’an bisa dipahami dengan minimal 600 pemahaman yang berbeda, yang semuanya memiliki kemungkinan benar (jumlah minimal ini karena mengingat keterbatasan dan kekurangan manusia itu sendiri.)

Apalagi Kitab Suci Al-Qur’an yang kemurnian dan keutuhannya dijaga oleh Tuhan! Bukankah dengan hal ini bisa dipahami bahwa Allah—dengan kesempurnaan-Nya—telah menurunkan petunjuk yang juga sempurna di dalam al-Qur’an?! Dan karenanya, kita tidak bisa gegabah menyatakan kalimat-kalimat atau ungkapan-ungkapan kebahasaan ayat di dalam al-Qur’an tidak mampu mewakili hakikat yang sesuai dengan Tuhan.

Karena kesempurnaan inilah, al-Qur’an adalah standar dan parameter bagi siapa saja yang ingin berbicara tentang Tuhan. Apakah seseorang berlebih-lebihan atau kekurangan saat menjelaskan tentang Allah, hanya bisa diukur dengan Kitab Suci Al-Qur’an (dalam kapasitasnya sebagai Kitab Suci yang kemurniannya terjaga). Selain itu, orang akan sangat mungkin terjebak dalam mengikuti hawa nafsu dan pikirannya sendiri.

Di dalam ayat Al-Qur’an sering Tuhan menyatakan, “ta`alallahu `amma yusyrikun” yang berarti: maha tinggi Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan; yang sama artinya dengan: maha suci Allah dari apa-apa yang mereka yakini atau mereka katakan tentang persekutuan Allah dengan selain-Nya. Selain itu, di dalam Al-Qur’an kita juga mendapati ayat yang sering kita baca atau kita dengar di penghujung doa yang berbunyi “subhana rabbika, rabbil izzati `amma yashifun” yang berarti: maha suci Tuhan-mu, Tuhan Yang Maha Mulia dari apa-apa yang mereka atributkan/sifatkan; yang sama artinya dengan: maha suci Allah dari apa-apa yang mereka katakan. Artinya, semua perkataan kita, pensifatan kita, pengatributan kita kepada Allah sangat jauh kebenarannya dari kenyataan dan hakikat yang sejati, selama perkataan, pensifatan, dan pengatributan tersebut tidak didasarkan pada “sulthan (pengetahuan, argumentasi dan bukti, hujjah wa dalil)” atau “kitab suci” yang telah diturunkan oleh Allah. Tanpa “sulthan” dan atau “kitab suci” ucapan kita tentang Allah adalah mengada-ada.

[bersambung]

tulisan sebelumnya:
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (1)
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (2)

tulisan berikutnya:
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (4)
PENGALAMAN GAIB KI SABDALANGIT (5)

Ceramah Halal bi Halal 1431

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 

الحمد لله رب العالمين، والعاقبة للمتقين، ولا عدوان إلا على الظالمين، الحمد لله الذي جعل لنا عيدا لنفرح فيه أكلا وشربا وسرورا، ولنشكره على نعمه شكرا كثيرا، ولنكبره على ما هدانا تكبيرا، وقد قال الله جل و علا: ولتكملوا العدة ولتكبروا لله على ما هداكم ولعلكم تشكرون. سبحانه ما أعظم لطفه وأرحمه، واعز سلطانه واقدمه، له الحمد فى الأولى وفى الآخرة، وله الشكر كما ينبغى له، لا إله إلا الله، ما من إله سواه وما من رب غيره. نشهده أنه وحده، لا شريك له.

وصل اللهم وسلم وبارك على نبينا خير الأنام وخير الهادي محمد الذي قال: ان لكل قوم عيدا وان اليوم عيدنا، وهو يقول: ايام التشريق ايام اكل وشرب وذكر لله عز وجل. وصلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما كثيرا.

  وبعد،

Hadirin yang berbahagia….

Alhamdulillah pada malam hari ini kita bisa berkumpul di tempat yang berkah ini (apa sih maksudnya tempat yang berkah, tempat yang bisa membuat kita mendapatkan tambahan kebaikan, karena kita melakukan aktifitas kebaikan di tempat tersebut. Kebaikannya bisa berupa penambahan pengetahuan, pengalaman, pelajaran, dzikir, pengolahan rasa yang membuat kita menjadi sensitif dan waspada atas segala sesuatu yang berlangsung di sekeliling kita, membuat hati kita mudah tersentuh dengan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah dalam keteguhan kebenaran yang kita yakini. Itu diantaranya berkah yang bisa diperoleh dari tempat-tempat semacam ini. Jadi sebuah tempat bisa menjadi berkah dan laknat sekaligus, tergantung pada kegiatan yang dilakukan di tempat tersebut. Kalau sebuah tempat digunakan untuk kegiatan yang baik, yang bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan ketakwaan, maka itu adalah tempat yang berkah. Kalau sebaliknya, tempat itu digunakan untuk kegiatan yang merusak kebaikan, baik kebaikan yang ada di dalam diri seseorang maupun yang ada pada tatanan masyarakat, maka tempat itu menjadi tempat yang terlaknat.)

Alhamdulillah kita bisa berkumpul di tempat ini untuk menyemarakkan salah satu syiar agama yang kita anut, yaitu perayaan Hari Idul Fitri.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah untuk baginda Nabi, panutan dan junjungan kita umat Islam, Muhammad khairil anam.

Berkaitan dengan Idul Fitri,

Apa sih Hari Idul Fitri itu dan mengapa kita merayakannya?

Hari Id berarti hari berkumpul atau hari bertemu. Ia berasal dari bahasa Arab `âda – ya`ûdu yang berarti kembali: jadi sesuatu di anggap kembali jika ia memiliki asal lalu meninggalkan asal kemudian kembali ke asal. Contohnya, seperti orang mudik. Misalnya seseorang berasal dari keluarga di Dinar Mas lalu merantau ke tempat lain kemudian setelah itu datang lagi ke Dinar Mas, maka ia disebut kembali. Kembali berkumpul atau kembali bertemu dengan sanak keluarga di Dinar Mas.

`âda – ya`ûdu juga bisa berarti berulang: jika sesuatu itu memiliki awal terus berakhir dan diulangi lagi. Contohnya, seperti perputaran bulan dalam setahun. Di mulai dari Januari berakhir pada Desember dan di mulai lagi bulan Januari, maka diantara akhir Desember dan awal Januari yang berikutnya disebut Id, karena akhir dan awalnya bertemu atau berkumpul untuk mengulang perputarannya kembali. Atau dalam bulan hijrah, dimulai dari Muharram berakhir pada Dzul Hijjah, maka diantara akhir Dzul Hijjah dan awal Muharram terdapat pengulangan dan terjadi pertemuan, hal semacam ini bisa disebut dengan kata Id. Begitu Juga dalam perputaran hari yang berakhir dalam tujuh hari dan dimulai lagi dengan hari yang sama.

Dengan makna semacam itu, praktek kembali ke kampung halaman atau yang biasa diistilahkan dengan kata mudik lebaran yang dilakukan oleh masyarakat kita yang merantau sejalan dengan makna kata “Id” secara bahasa, yaitu kembali dan berkumpul.

Itu tadi arti kata Id, sekarang, apa arti kata Fitri. Dalam bahasa Arab kata fitri bisa berarti sarapan, dan bisa berarti alami atau asli juga bisa berarti ciptaan.

Jadi, Idul Fitri bisa berarti, kembali sarapan dan juga bisa berarti kembali pada aslinya atau asalnya, yaitu kembali seperti saat diciptakan (tidak memiliki noda dan dosa, karena noda dan dosanya telah dihapus dengan amalan-amalan ibadah selama bulan ramadhan).

Jika kita memiliki dua makna tersebut untuk memaknai Idul Fitri, maka selanjutnya terserah kita, kita mau memilih makna yang mana.

Kalau kita memilih makna yang pertama, yaitu: kembali sarapan maka hal ini riil. Semua orang Islam yang berpuasa berhak merayakannya. Karena selama bulan ramadhan, kita berpuasa dan tidak melakukan sarapan. Maka dengan berakhirnya bulan ramadhan, kita kembali melakukan sarapan seperti sebelum ramadhan. Semua bisa melihat hal itu.

Sementara kalau kita memilih makna kedua, yaitu: kembali pada aslinya, dalam artian tidak memikul dosa seperti bayi yang baru diciptakan, maka itu tergantung seberapa sungguh-sungguh, seberapa banyak, seberapa benar dan seberapa ikhlasnya kita melakukan ibadah pada bulan ramadhan. Seberapa sempurna puasa kita, shalat kita, dzikir kita, sedekah kita, mulut kita, pikiran kita, perilaku kita dan hati kita…. Semua itu bisa menjadi ukuran seberapa bersih dosa-dosa yang bisa kita hapuskan pada bulan ramadhan. Jadi, untuk memilih makna Idul Fitri yang kedua ini diperlukan syarat-syarat yang harus kita perjuangkan dan kita laksanakan dengan gigih selama ramadhan.

Demikian tadi makna Idul Fitri.

Lalu, perlukah kita merayakannya, mengapa kita merayakannya?

Kita ketahui, kita tidak akan merayakan hari apa pun sebagai hari raya jika tidak didahului oleh sebuah peristiwa besar sebelumnya. Kita merayakan hari kemerdekaan karena kita telah berjuang dengan berat untuk meraih kemerdekaan itu.

Kita merayakan hari kelahiran, karena hal itu oleh kita atau oleh orang tua kita dianggap sebagai tonggak bersejarah yang mengawali kehidupan kita.

Sebagian bangsa tidak akan pernah merayakan hari raya musim semi yang sejuk dan nyaman, jika sebelumnya tidak pernah mengalami musim-musim ekstrim yang tidak bersahabat.

Sebagian masyarakat tidak akan merayakan hari panen jika mereka tidak pernah berjuang dengan menanam dan lalu memanennya terlebih dahulu…

Begitu pula kita dalam beragama… Kita tidak akan pernah merayakan Hari Idul Fitri atau Hari Idul Adha tanpa didahului dengan sebuah perjuangan besar untuk meraihnya. Apa bentuk perjuangannya, melaksanakan puasa selama sebulan penuh untuk meraih Idul Fitri dan melaksanakan ibadah haji di tanah suci untuk meraih Idul Adha. Semua perjuangan ini berujung untuk meraih ampunan Allah dan ridha-Nya.

Jadi, sudah menjadi tabiat manusia, kita merayakan keberhasilan atau kemenangan setelah perjuangan berat yang kita lakukan.

Itu yang pertama.

Yang kedua, perayaan hari raya dibakukan dalam ajaran agama melalui Sabda Nabi yang mengatakan:

ان لكل قوم عيدا وان اليوم عيدنا

setiap kaum atau kelompok memiliki hari raya/hari berkumpul besar-besaran, dan hari ini (maksudnya, hari setelah melakukan ibadah puasa atau ibadah haji) adalah hari raya kita.”

Jadi, perayaan Hari Raya atau Hari Berkumpul besar-besaran, bukan hanya selaras dengan tabiat manusia, tetapi juga memiliki nilai ketaatan dan peribadatan kepada Allah.

***

Kenapa kita merayakan Idul Fitri dan Idul Adha dan tidak merayakan kemenangan-kemenangan peperangan pada masa Nabi dahulu? Kenapa?

Karena hanya Idul Fitri dan Idul Adha-lah yang riil berulang setiap tahun, berulang bersama perjuangannya dan kemenangannya, bukan hanya perayaannya.

Kalau kita merayakan hari kemerdekaan, misalnya, kita (para generasi berikutnya) hanya merayakan kenangannya saja, atau ingatannya saja, tanpa pernah merasakan hakikat perjuangannya itu sendiri.

Karena itu, dalam perayaan-perayaan hari nasional semacam itu, biasanya kita kurang mampu menghayati makna perjuangannya yang sebenarnya. Dalam perayaan semacam itu, kita seringnya hanya disibukkan dengan persiapan-persiapan yang bersifat protokoler formal, tanpa menyelami hakikat perjuangannya itu sendiri. Kenapa? Karena kita tidak pernah terlibat di dalamnya.

Berbeda dengan hari raya Idul Fitri atau Idul Adha…

Kita seharusnya mampu menyelami dan menghayati makna perayaan kemenangan pada hari-hari tersebut! Kenapa? Karena kita semua bersama-sama telah berjuang untuk meraihnya. Masing-masing kita telah bertempur dan berjuang melawan hawa nafsu dan melawan keinginan-keinginan yang menghalangi tercapainya tujuan. Kita sendiri ikut mengemban perjuangan ini, lalu setelah berhasil, kita merayakan kemenangannya.

Ini berarti, kita merayakan sesuatu yang telah kita lakukan dan kita perjuangkan sendiri, bukan merayakan sesuatu yang dilakukan atau diperjuangkan oleh orang lain padahal kita tak pernah melakukan atau memperjuangkannya sedikit pun.

Itu diantaranya yang bisa menjadi alasan mengapa kita merayakan Idul Fitri dan Idul Adha dan bukan hari-hari kemenangan pertempuran pasukan muslim.

Bagaimanakah cara merayakan hari raya?

Cara merayakan hari raya Idul Fitri yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya adalah: begitu pagi hari raya menjelang, mereka mandi, lalu berdandan dengan pakaian yang terbaik yang dimilikinya (bukan terbaru, karena kalau terbaru bisa disalah-pahami harus memaksakan anggaran belanja untuk membeli baju baru), setelah itu sarapan (atau makan makanan ringan) sebelum berangkat menuju tempat shalat Id. Setelah makan, mereka keluar rumah sambil membaca takbir, berjalan kaki (bukan berkendaraan) menuju tempat dilaksanakannya shalat Id. Selama perjalanan mereka terus mengumandangkan takbir hingga khutbah Id dimulai. Selesai khutbah mereka kembali ke rumah masing-masing. Itu yang pertama.

Setelah itu apa yang mereka lakukan. Selesai shalat, mereka mengucapkan “selamat” satu sama lain ketika bertemu atau berpapasan. Mereka mengucapkan selamat dengan mengatakan, “taqabbalallahu minna wa minka” (semoga Allah menerima jerih payah saya dan jerih payah Anda)

Selain ucapan itu, menurut Ibnu Taimiyyah, mereka juga mengatakan, “waahalallu`alaik” (semoga Allah menerima atau rela kepada Anda), dan ucapan-ucapan lain yang sejenis itu.

Selain itu apa lagi yang mereka lakukan pada hari raya? Hari Raya adalah hari untuk makan-makan dan minum-minum serta berdzikir kepada Allah, seperti yang disabdakan oleh Nabi bahwa:

ايام التشريق ايام اكل وشرب وذكر لله عز وجل

Hari-hari dilaksanakannya shalat pagi (maksudnya shalat Idul Adha dan shalat Idul Fitri) adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azzawa Jalla.”

Jadi, berbagi makanan dan minuman serta berdzikir kepada Allah, termasuk cara merayakan hari raya.

Selain itu apa lagi yang mereka lakukan pada hari raya? Hari Raya adalah hari untuk bergembira dan bersuka-ria selama tidak melanggar aturan-aturan Allah yang telah ditentukan, Sabda Nabi,

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

Orang yang berpuasa memiliki dua saat bersukaria, yaitu saat Idul Fitrinya dan saat berjumpa dengan Tuhannya,”

Jadi, lupakan duka nestapa dan bergembiralah di hari raya.

Isi perut dengan makanan dan minuman yang baik dan bersyukurlah kepada Allah.

Ajak orang lain untuk bergembira agar kita semakin merasa gembira.

Bantu orang lain yang sedang kesusahan agar ikut menikmati kegembiraan. Kita akan bisa bergembira melihat orang lain bergembira, dan sebaliknya kita akan sulit menikmati kegembiraan jika melihat kesusahan ada di hadapan kita.

Itulah di antaranya, teladan yang bisa dirujuk dalam merayakan hari raya dari generasi terbaik. Generasi Nabi dan para sahabatnya.

Sekarang kita akan turun ke dalam tradisi di lingkungan masyarakat kita. Di antaranya adalah tradisi:

Halal bi Halal.

Kita ingat, tadi disebutkan bahwa di antara ucapan selamat yang diucapkan para sahabat ketika saling berpapasan adalah kata: “wa ahallahhu`alik” (begitu menurut Ibn Taimiyyah). Barangkali, dari kata wa ahallahu`alaik inilah muncul istilah “halal bi halal” dalam tradisi masyarakat kita.

Dan rupanya, untuk melestarikan tradisi ini pula kita berkumpul di sini pada malam hari ini.

Apa sebenarnya maksud dari kata halal bi halal tersebut. Jika kata tersebut berasal dari ungkapan “wa ahallahu`alaik” (semoga Allah rela/puas kepada Anda, rela/puas karena kita telah berjuang sekuat tenaga dan tidak mengecewakan Allah dengan keteledoran dan penyia-nyiaan kesempatan), jika diambil dari kata itu, barangkali yang dimaksudkan dengan kata halal bi halal adalah “saling mendoakan semoga Allah rela/puas kepada kita”

Tapi sepertinya yang menonjol dalam tradisi kita, “halal bi halal” dimaknai dengan arti “saling bermaaf-maafan”. Kalau dimaknai “saling bermaafan” seperti ini, berarti masing-masing saling mengharapkan “kerelaan saudaranya, sanaknya, rekannya, temannya atau siapa saja” yang memiliki sangkut-paut yang bisa membuat seseorang merasa tidak rela.

Jadi dalam tradisi kita, yang diharapkan adalah “kerelaan/kepuasan saudara, rekan dan handai tolan dengan cara mendapatkan maafnya,” bukan mengharapkan kerelaan Allah secara langsung.

Yang diharapkan adalah kerelaan sanak dan kawan atau orang lain dengan cara mendapatkan pemberian maaf dari mereka. Bolehkah hal seperti ini. Tentu saja, orang meminta maaf kepada orang lain adalah perbuatan terpuji. Minta maaf dianjurkan oleh agama dan tidak dibatasi waktunya. Boleh dilakukan kapan saja, tidak harus pada hari raya. Tapi kenapa hari raya sering dipilih menjadi saat untuk meminta maaf dan memberi maaf?! Kenapa?!

Karena momennya pas. (dalam bahasa iklan klop momennya!) Hari raya adalah momen saat seseorang bergembira. Dan orang yang sedang bergembira, secara kejiwaan, akan mudah memberi. Entah memberi maaf atau memberi apa saja. Kenapa? Karena sedang bahagia, sedang gembira, hatinya sedang lapang dan berbunga-bunga, itu saja! Dan ini adalah kepuasan batin tersendiri bagi orang yang mengalaminya.

Terus biasanya, orang tersebut menginginkan saat-saat gembiranya berlangsung lama dan terus-menerus. Ia tak ingin kegembiraan atau kebahagiaannya hilang dalam sekejap hanya karena tak memberi maaf pada kesalahan orang lain.

Mengetahui hal ini, maka orang lalu memanfaatkan momen hari raya, hari bergembira ini untuk meminta maaf. Dan hasilnya orang dengan mudah mengatakan, iya sama-sama… saya juga minta maaf. Kalau sebelumnya, sebelum bermaafan di hari raya, hubungan mereka terasa beku dan kaku, setelah bersalaman dan mengatakan ucapan maaf, biasanya hubungan mereka akan menjadi cair dan luwes, minimal tidak merasa terlalu bersalah lagi.

Bukti bahwa orang itu meinginginkan kegembiraan dan kebahagiannya bisa berlangsung lama, ya, acara halal bi halal pada malam ini. Hari rayanya sudah berlangsung dua minggu yang lalu, tapi kegembiraannya masih diulur sampai malam halal bi halal sekarang ini.

Memilih saat yang tepat merupakan salah satu kunci mendapatkan kesuksesan. Jika pingin sukses mendapat maaf dari seseorang, pilih di antaranya waktu atau saat ia bergembira. Di antaranya, ya pas hari raya itu.

Jika kepingin sukses mendapatkan hadiah atau traktiran, pilih saat orang itu mendapat gajian atau saat mendapat bonus atau kenaikan pangkat… atau saat gembira lainnya, insyaallah tidak akan ditolak.

Oleh karena itu, ibu-ibu kalo kepengin mendapat sesuatu dari suaminya, ajukan permintaan saat suami merasa gembira, saat ia senang. Itu lebih tepat dari pada memintanya saat jengkel, sumpek atau kesusahan.

Begitu pula bapak-bapak…. pilih saat ibu-ibunya sedang senang jika ingin meminta sesuatu dari mereka.

Pilih saat atasan senang kalo ingin mengajukan proposal, atau kenaikan gaji… Jangan saat ia jengkel, bisa monyong!

Pilih saat-saat yang menyenangkan, bukan membuat mereka senang, lho… kalo membuat mereka senang, bisa dianggap malah menyuap, atau memiliki pamrih. Meskipun mungkin bisa mendapatkan hasil yang sama, antara memilih saat senang dan membuatnya senang, tetapi berbeda pada gengsi dan modalnya, yang satu pake modal dan sedikit menurunkan gengsi, sementara yang satunya lagi tanpa modal dan tetap dengan gengsi yang sama.

Di dalam tradisi masyarakat kita, perayaan hari raya di antaranya dilakukan dengan mengadakan acara Halal bi Halal untuk memanfaatkan momen gembira ini sebagai sarana mendapatkan kerelaan atau pemberian maaf dari orang yang kita kehendaki. Ini sah-sah saja.

Tapi jangan dilupakan, pertama kali hendaklah kita berhalal-halalan kepada Allah, dalam artian memohon perkenan Allah agar menerima amal kebaikan kita dan mengampuni dosa-dosa kita setelah sebulan penuh berjuang demi mendapatkan keridlaan-Nya. Baru setelah itu, kita berhalal-halalan kepada sanak dan handai tolan serta kaum muslimin dan orang-orang lainnya, dalam artian mengucapkan selamat berhari raya, dan meminta maaf atas kesalahan yang kita lakukan terhadapnya.

Adakah maksud lain yang lebih kuat, secara agamis, yang diharapkan dalam tradisi meminta maaf di hari raya ini? Tampaknya ada.

Apa itu? Hal itu karena kita tidak ingin kehilangan pahala. Setelah sebulan penuh kita berpuasa, melakukan shalat tarawih dan shalat malam, membaca al-Qur’ân, memberikan sedekah dan membayar zakat, menjaga ucapan dan perilaku dan semua bentuk kebaikan lainnya yang kita lakukan pada bulan puasa dengan harapan akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat, maka kita ingin pahala itu tetap menjadi tabungan kita sendiri, menjadi bekal untuk membeli tiket surga dan tidak diutak-atik untuk membayar denda ini atau denda itu, menebus kesalahan itu atau tanggungan itu…

Maka kita pun mencari solusi dengan cara meminta maaf kepada orang-orang tertentu yang kita lukai, yang kita lalimi, yang kita salahi yang kita gunjing dan seterusnya yang buruk-buruk.

Kita ingin memiliki semua pahala yang telah kita raih dan tidak ingin menguranginya, kalau perlu kita masih ingin menambahnya… maka kita pun mencari solusi dengan cara meminta maaf.

Mau meminta maaf dan mengakui kesalahan berarti akan mendapatkan pahala tersendiri dari Allah. Mendapatkan maaf dari orang yang bersangkutan berarti akan menghapuskan tanggungan kita kepadanya.

Mau memberi maaf berarti akan mendapatkan pahala yang lebih besar dari Allah Ta’ala dari pada pahala tebusan yang akan diterimanya, juga akan menambah kerukunan atau kecairan suasana yang selama ini membeku.

Yang melatarbelakangi solusi semacam ini barangkali Sabda Nabi yang mengatakan:

أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ، قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ

Artinya… tahukahkaliansiapakahorangyangbangkrut? Para sahabat menjawab orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan kekayaan. Jawab Nabi, bukan yang itu… orang yang bangkrut dari golongan umatku adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan membawa shalatnya, puasanya dan zakatnya. Akan tetapi ia juga datang dengan perilaku buruknya. Ia datang dengan umpatannya terhadap si anu, ia datang dengan fitnah/tuduhan kejinya kepada si anu, ia datang dengan mengkorupsi harta si anu, melukai tubuh si anu, berlaku kasar kepada si anu… maka semua itu akan ditebus dengan memberikan pahala kebaikannya kepada masing-masing anu… jika pahalanya habis sebelum semuanya terlunasi, maka akan diambilkan dari dosa kejelekan masing-masing anu… lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dilemparkan ke dalam neraka…”

==========

Pemahaman Hadits

==========

Dari redaksi pertanyaan ini ini bisa dilihat bahwa orang yang bangkrut, berarti bukan orang yang miskin, tetapi orang yang kaya (kaya pahala) tetapi tak bisa memanfaatkan kekayaannya itu karena harus diberikan kepada orang lain, harus dibayarkan untuk menebus atau melunasi tanggungannya.

==========

Ini ibarat pedagang atau pengusaha sedang meraup banyak keuntungan. Tetapi, ternyata ia salah mengelolanya, sehingga keuntungan yang banyak itu akhirnya ludes untuk melunasi dan membayar kesalahan-kesalahannya.

Keuntungan atau kekayaannya yang berupa pahala kebaikannya itu akhirnya diberikan kepada setiap orang yang pernah disalahinya sampai kekayaan itu habis–jika kesalahannya benar-benar fatal—tergantung seberapa besar kesalahannya. Jika kekayaannya sudah habis dan masih belum mencukupi untuk melunasi, maka akan ditimpakan keburukan orang yang disalahi lalu dilemparkan ke dalam neraka.

Itulah orang yang bangkrut! Orang yang seharusnya menikmati laba dan keuntungan besar, tetapi karena salah mengatur, memanage, akhirnya jatuh ke lubang kesengsaraan, neraka.

Orang bangkrut pada awalnya bukan orang miskin, alias tidak punya pahala kebaikan sama sekali. Kalau sudah jelas miskin, yaitu tak punya kebaikan sama sekali (alias selalu berbuat dosa dan durhaka di dalam hidupnya) ya memang sudah jalurnya menuju lubang kesengsaraan, masuk neraka.

==============

Semua itu bisa terjadi karena kita memiliki tanggungan atau keterikatan dengan orang lain.

Pahala kebaikan kita yang banyak (hasil memborong proyek ramadhan, misalnya) bisa habis ludes bahkan minus ketika kita menghadap Allah dengan membawa kesalahan-kesalahan yang memiliki sangkut-paut dengan hak-hak orang lain (hak adami, atau huquq adamiyah begitu istilah yang sering digunakan).

Kesalahan kita kepada orang lain akan kita bayar lunas dengan menyerahkan pahala kebaikan kita atau mengambil dosa keburukan orang bersangkutan. Kalau kesalahan kita kepada Allah, ada kemungkinan mendapatkan ampunan dan belas kasih dari Allah, tapi kalo sesama manusia harus dibayar secara riil…. dibayar dengan tabungan pahala yang kita punya.

Urusan hutang-piutang hak sesama manusia tak bisa dihapuskan kecuali dengan meminta kerelaan dan maaf dari orang bersangkutan. Meminta maaf atas kesalahan atau kejahatan yang pernah kita lakukan kepadanya. Jika orang bersangkutan mau memberi maaf, maka lunas deh…

Jika kita mendapat maaf dan kerelaan orang bersangkutan maka tabungan pahala kita akan aman, tak berkurang sedikit pun. Tak akan diutak-atik untuk menebus ini atau itu… bahkan akan mendapat saldo tambahan dari pahala meminta maaf.

Karena alasan inilah di antaranya, yaitu alasan karena kita tak menginginkan pahala yang telah kita kumpulkan selama bulan ramadhan berkurang atau bahkan habis, maka kita mengadakan acara halal bi halal ini. Yang tujuannya, di antaranya, untuk menebus dan membayar kesalahan kita selama ini dengan cara meminta maaf dan memohon kerelaan orang bersangkutan.

Barangkali inilah diantaranya yang menjadi dasar munculnya tradisi halal-bi-halal di masyarakat kita. Tujuannya baik, demi kebaikan hidup kita di dunia dan di akhirat kelak.

Dengan Halal bi Halal, kebaikan hidup di dunia bisa mewujud dalam bentuk kecairan hubungan antara satu dengan yang lainnya, terutama antara pihak yang pernah berseteru, pihak yang bersalah dan pihak yang disalahi. Hubungan antara keduanya akan kembali cair dan berjalan wajar dengan cara maaf-memaafkan itu tadi.

Kesadaran diri atas kekurangan dan kesalahan lalu dilanjutkan dengan tindakan meminta maaf dan bertanggung jawab atas kesalahan itu akan mendorong tumbuhnya masyarakat yang bermartabat dan berperilaku jujur, yang pada gilirannya akan menguatkan rasa saling percaya dan rasa aman di antara sesama warga masyarakat.

Begitu pula kelapangan dada dan kebaikan hati menerima dan memberi maaf akan mendorong tumbuhnya rasa simpati, rasa hormat dan menyayangi serta menghargai antara sesama, sehingga pada gilirannya akan bisa memperkokoh tali kebersamaan dan persaudaraan di dalam komunitas masyarakat itu sendiri.

Untuk itu, jangan ragu untuk meminta maaf dan siap menanggung semua resiko kesalahan yang mungkin akan dituntut oleh orang yang bersangkutan.

Begitu pula jangan ragu untuk memberi maaf dan merelakan semua pahit getir atau kerugian yang pernah diderita akibat kesalahan orang yang meminta maaf, kenapa? Karena Allah mengatakan:

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ

Jika kalian memaafkan, itu lebih dekat pada ketakwaan

Dan, jika kalian bersedekah (di antaranya, dengan merelakan atau meikhlaskan kerugian), itu lebih baik bagimu!”

Jika baru mampu memaafkan dan tidak bisa merelakan kerugian, maka mintalah ganti rugi yang sepadan. Tetapi merelakan tetap lebih baik dari pada meminta ganti rugi.

Barangkali, ini dahulu yang bisa saya sampaikan. Kurang lebihnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya dan meminta koreksi dari yang ahlinya. Jika ada yang baik dalam ceramah ini, itu datangnya dari Allah, dan jika ada yang salah atau buruk dalam ceramah ini, itu karena kekurangan dan kebodohan saya semata.

wa akhiru da’wana `anil hamdu lillah rabbil `alamin. aqulu qauli hadza wa astaghfirullaha li wa lakum.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Khutbah Idul Adha 1433

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلآ وأنتم مسلمون
يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما

الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر.
الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر.
الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر.
لا اله إلا الله، والله أكبر. الله أكبر ولله الحمد. الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا     وسبحان الله بكرة وأصيلا، لا إله إلا الله وحده، صدق وعده، ونصر عبده، وأعز     جنده وهزم الأحزاب وحده، لا إله إلا الله، والله أكبر، الله أكبر ولله الحمد.

أما بعد،

عـبـــــاد الله، أوصيكم ونفسي بتقوى الله، فإن تقوى الله هي خير وسيلة نتقرب بها إلى خالقنا يوم القيامة، يوم لا تملك نفس لنفس شيئا والأمر يومئذ لله.

عـبـــــاد الله، إن يومكم هذا يوم عيد الأضحى، وهو يوم ضيافة الله عباده، أحل الله لكم فيه الطعام وحرم عليكم فيه الصيام. وما من أيام، العمل الصالح أحب إلى الله عز وجل من هذه الأيام.

Hadirin, Jamaah Shalat Idul Adha yang berbahagia,

Mari, kita merenung sejenak. Sudah sejauh mana kita mampu menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama yang kita anut. Karena sungguh bukan perilaku yang tepat kalau kita mengamalkan ajaran-ajaran agama, tetapi tidak pernah mengetahui dan memahami makna pengamalan itu sendiri. Memang, mungkin, sudah cukup kalau kita memahami bahwa apa pun yang kita lakukan dari ajaran agama tidak lain adalah wujud ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT. Tetapi, tidakkah kita ingin mendapatkan makna yang lebih jauh, lebih mendalam dan lebih nikmat dari sekedar ketaatan dan kepatuhan yang batas-batasnya sering kita lupakan? Tidakkah kita ingin sampai pada tahapan dimana hati kita berdegup gemuruh ketika nama Allah disebut?

Tahapan semacam itu bisa digapai melalui perenungan dan penghayatan. Karena dengan perenungan dan penghayatan, segenap perasaan dan indra terlibat, dan dengan itu keimanan semakin menebal dan ketakwaan semakin matang dan kukuh.

Dan pada hari ini, Hari Raya Idul Adha ini, dimana semua bentuk amal kebaikan mendapatkan kecintaan yang berlebih dari Allah, terdapat satu kesempatan yang sangat tepat untuk merenungi dan menghayati ajaran agama yang kita anut ini.

Mengenai hari-hari ini, yakni hari raya Idul Adha ini (hari ke sepuluh di bulan Dzul Hijjah dan sembilan hari sebelumnya), Rasulullah SAW diantaranya pernah bersabda:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

Tidak ada hari dimana amal kebaikan lebih dicintai oleh Allah azza wa jalla dari pada hari-hari sepuluh ini! (yang dimaksud hari-hari sepuluh adalah sepuluh hari di bulan Dzul Hijjah sejak tanggal pertamah hingga hari Idul Adha ini).

Para sahabat lantas bertanya, “Bagaimana dengan jihad/berperang di jalan Allah, apakah juga kalah dicintai dibanding amal kebaikan, wahai Rasulullah?”

Nabi menjawab, “Iya, kecuali jika seseorang pergi berjihad dengan membawa seluruh kekayaannya lalu tak pernah kembali lagi (alias gugur syahid).”

Jadi pada hari-hari tersebut, berkurban lebih dicintai oleh Allah dibanding berjihad. Berdzikir membaca takbir, tasbih, tahmid dan tahlil lebih dicintai oleh Allah dibanding berjihad. Sedekah, puasa dan amal-amal kebaikan lainnya lebih dicintai oleh Allah dari pada jihad/perang.

Selain itu, Nabi juga bersabda:

عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ” مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّحْمِيدِ، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّهْلِيلِ

Tidak ada hari yang lebih agung di sisi Allah, dan tidak ada amal yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal-amal pada hari-hari sepuluh ini. Karena itu, perbanyaklah membaca tahmid (alhamdulillah), takbir (allahu akbar) dan tahlil (la ilaha illa allah) pada hari-hari ini.

Berdasarkan hadits ini berarti, hari raya Idul Adha lebih besar/agung di sisi Allah dibandingkan hari raya Idul Fitri. Karena itu, usahakan rayakan hari raya ini dengan cara yang lebih meriah (dengan cara menyembelih kurban dan melakukan amal kebaikan) dari pada hari raya Idul Fitri.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaha illa Allah wa Allahu akbar, allahu akbar wa lillahil hamd.

Hadirin, Jamaah Shalat Id yang berbahagia,

Menilik awalnya, hari raya Idul Adha bermula dari ketaatan Nabi Ibrahim memenuhi nadzarnya untuk mempersembahkan putranya sebagai kurban yang dihidangkanan, jika memang dirinya memiliki putra. Saat mengatakan nadzarnya itu Nabi Ibrahim sudah berusia senja dan belum memiliki anak. Maka ketika selanjutnya Nabi Ibrahim memiliki putra, Allah pun menagih janji nadzarnya tersebut. Dan demi mendapatkan kerelaan Rabb Yang Maha Kuasa, Ibrahim pun melaksanakan nadzarnya, menyembelih putra semata wayang yang tercinta. Akan tetapi kelanjutannya berubah, pengorbanan karena memenuhi nadzar itu beralih menjadi jamuan kehormatan dan kegembiraan. Berkat ketaatan dan ketulusan Nabi Ibrahim, Allah menjadikan pengorbanannya menjadi jamuan agung dari Yang Maha Mulia.

Itu Nabi Ibrahim. Lalu, bagaimanakah kita bisa memahami bahwa pengorbanan yang kita lakukan juga merupakan jamuan Allah Yang Maha Mulia, sementara tampak jelas kita sendiri yang mengeluarkan uang atau ternak, menyembelih dan menghidangkannya dalam rupa-rupa daging kurban?

Hadirin yang berbahagia, bagaimanakah kita memahami dan merasakan kurban yang kita lakukan? Atau yang akan kita lakukan? Apakah kita memahami dan merasakannya sebagai semacam upeti atas nama agama yang ditarik dari harta-harta yang kita miliki? Apakah kita merasakannya sebagai beban berat yang ditimpakan ke pundak kita? Apakah kita merasakannya sebagai bentuk penghambur-hamburan dan penyia-nyiaan harta?

Ataukah kita merasakannya sebagaimana perasaan orang yang tengah menerima hadiah, atau orang yang tengah menerima hidangan lezat dalam jamuan yang agung? Apakah kita melakukan dan menerima pengorbanan dengan penuh rasa sukacita? Apa yang kita rasakan? Bagaimana perasaan kita saat mengeluarkan harta demi mempersembahkan hewan kurban?

Sebagai muslim yang mengimani Allah, yang meyakini adanya kehidupan kekal setelah kehidupan yang kita jalani saat ini, pernahkah kita merenungkan dan menghayati bahwa diri kita sudah bukan lagi milik kita. Pernahkah kita merenungkan bahwa harta-harta yang kita miliki, bukan lagi milik kita!

Ketika kita telah berserah diri kepada Allah, ketika kita dengan sepenuh hati dan kesadaran mengikrarkan keislaman kita, itu berarti kita telah siap untuk tunduk dan patuh kepada Allah. Itu berarti kita sudah siap untuk hidup dan mati di jalan Allah. Kita telah siap mencintai dan menjalani hidup sesuai aturan-aturan Allah. Kita telah siap mencintai dan menerima kematian dengan sukacita.

Kita siap menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, karena kehidupan adalah anugerah yang telah diberikan oleh Allah. Kita siap menghadapi kematian dengan penuh kerinduan, karena dengan kematian berarti kita akan segera menikmati harga yang dibayarkan oleh Allah kepada kita.

Hadirin yang berbahagia, ketika Allah berpesan, jangan sekali-kali kalian mati, meninggalkan dunia ini, kecuali dalam keadaan muslim—seperti bunyi ayat yang telah kami kutipkan di pembukaan khutbah ini—pesan Allah itu bukan pesan dari sponsor, tetapi pesan dari Pemilik diri kita ini. Pesan dari Penguasa semesta raya.

Kita dan kekayaan kita sudah bukan lagi milik kita! Kenapa? Karena kita telah menjualnya. Kita telah menjualnya dengan harga yang sangat tinggi, sangat mahal.

Siapakah yang telah membelinya? Yang membelinya adalah Allah SWT.

Allah telah membeli diri orang-orang yang beriman dan kekayaan orang-orang beriman. Orang-orang yang beriman telah menjadi milik Allah, juga kekayaan mereka.

Bukankah kita termasuk orang yang beriman itu? Bukankah kita termasuk orang yang muslim itu?

Mau tahu, berapa harga yang dibayarkan oleh Allah untuk membeli diri kita?

Di dalam surat at-Taubah ayat ke 111, Allah menceritakan peristiwa jual-beli ini.

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ (التوبة: 111)

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri mereka dan kekayaan mereka, bahwa bagi mereka (harga berupa) surga.

Harganya adalah surga. Itu berarti, harganya berupa dirikita yang kekal (diri kita yang fana saat ini dibayar oleh Allah dengan diri kita yang kekal nanti) beserta segalakenikmatandankenyamanan yang belum pernah terbayangkan. Kenikmatan dan kenyamanan yang melebihi seluruh kenikmatan dan kenyamanan yang paling nikmat dan paling nyaman yang ada di dunia ini. Itu berarti, kita dihargai dengan harga yang sangat tinggi, tiada bandingannya. Seorang mukmin telah menjual dirinya yang penuh kekurangan dan fana, dan Allah membelinya dengan harga yang tiada bandingannya dan kekal. Harga itu berupa kesempurnaandiridan kenyamanan tiada tara. Bukankah sebuah jual-beli yang sangat menguntungkan?!

Jika kita memahami akad kesepakatan jual-beli tersebut, maka kita akan menyadari bahwa: kita harus siap hidup dan siap mati demi Allah. Kita telah dibeli oleh Allah dan telah menjadi milik Allah. Itu artinya, kita harus siap berusaha, bekerja dan mendapatkan kekayaan sesuai cara-cara yang telah ditentukan oleh Allah. Dan cara yang telah ditentukan oleh Allah itu berupa mencari kekayaan harus dengan cara yang baik dan benar serta menjauhi cara-cara yang batil dan curang.

Setelah kekayaan diperoleh, kita juga akan menyadari bahwa kita harus siap membelanjakan kekayaan itu sesuai jalur-jalur pembelanjaan yang telah ditentukan oleh Allah: karena kita dan kekayaan kita telah menjadi milik Allah.

Dari kesadaran tersebut kita bisa menarik benang merah untuk memahami: bahwa pengorbanan yang kita lakukan merupakan jamuan Allah Yang Maha Mulia. Dari situ kita juga bisa memahami, mengapa kita harus bersenang hati dan bergembira ketika membelanjakan harta untuk menghadirkan hewan kurban dan menghidangkannya. Karena yang akan menerima hidangan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah diri kita sendiri juga.

Padahal, bukankah kita membelanjakannya dari harta Allah. Dari harta kita yang telah menjadi milik Allah! Bukankah itu sama halnya dengan: Allah tengah mentraktir kita dengan hidangan daging, meskipun kita yang membayarnya, tetapi kita membayar menggunakan harta milik Allah.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Hadirin, Jamaah Shalat Id yang berbahagia,

Allah telah membuat jalur-jalur pembelanjaan bagi harta-Nya. Di antara jalur atau pos ini adalah agar kita membelanjakan harta untuk keperluan penyembelihan kurban dan penghidangan daging. Untuk siapakah Allah melakukan itu semua? Untuk siapakah Allah menyediakan daging-daging itu? Jawabannya tentu saja untuk diri kita masing-masing. Kita yang menikmatinya, kita yang membaginya dan kita yang mendapatkan pahalanya. Betapa pemurahnya Allah! Betapa pemurahnya Allah! Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd.

Karena itulah, hari raya kurban, atau hari raya haji, atau hari raya Idul Adha ini disebut sebagai Hari Jamuan Allah, yaumu dhiyaafatillah. Hari dimana Allah menjamu hamba-hamba-Nya yang tengah mengunjungi Rumah Suci-Nya, mengunjungi Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah dan hamba-hamba-Nya yang beriman lainnya dengan hidangan daging. Daging-daging terbaik dari hewan-hewan kurban itu adalah jamuan dan suguhan dari Allah. Maka tidak layak bagi hamba yang beriman menolak jamuan Allah. Tidak layak bagi hamba yang beriman enggan membelanjakan hartanya yang telah menjadi milik Allah untuk keperluan penyembelihan kurban. Juga tidak layak bagi hamba yang beriman berpuasa dan berpantang makan dari jamuan yang tengah dihidangkan oleh Allah.

Hari ini, hari raya Idul Adha dan tiga hari setelahnya adalah hari-hari dimana Allah menjamu hamba-hamba-Nya. Karena itu haram berpuasa, karena berpuasa pada hari-hari ini sama artinya dengan menolak jamuan Allah. Betapa Maha Pemurahnya Allah yang telah menjamu hamba-hamba-Nya dengan hari raya ini!

Demikianlah sekelumit pemahaman dan penghayatan mengenai hari raya Idul Adha ini, semoga bermanfaat dan selamat hari raya Idul Adha.

تقبل الله منا ومنكم

وأقول قولي هذا وأستغفر الله العظيم لي ولكم ولسائر المؤمنين والمؤمنات

========================================

الحمد لله رب العالمين، والعاقبة للمتقين، ولا عدوان إلا على الظالمين، نحمده ونشكره، ونتوب إليه ونستغفره، ونسأله التقوى والهدى إلى صراطه المستقيم. نشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له. ونشهد أن سيدنا وشفيعنا محمدا عبده ورسوله، إمام المتقين، وسيد المجاهدين. اللهم صل وسلم وبارك عليه وعلى آله وأصحابه وأتباعه الذين آمنوا وكانو يتقون

الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر.

لا اله إلا الله، والله أكبر. الله أكبر ولله الحمد. الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا، لا إله إلا الله وحده، صدق وعده، ونصر عبده، وأعز جنده وهزم الأحزاب وحده، لا إله إلا الله، والله أكبر، الله أكبر ولله الحمد.

***

اللهم، يا الله، الواحد الأحد الصمد الذي لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد، نسألك أن تغـفر لنا ذنوبنا وللمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات إنك أنت الغفور الرحيم، وإنك سميع قريب مجيب الدعوات، اللهم اشف مرضانا وارحم موتانا يا شافي يا أرحم الراحمين.

اللهم اصلح لنا ديننا الذي هو عصمة أمرنا واصلح لنا دنيانا التي فيها معاشنا واصلح لنا آخرتنا التى فيها معادنا، واجعل الحياة زيادة لنا في كل خير واجعل الموت راحة لنا من كل شر.

اللهم اجعل عيدنا عيدا مباركا، وتقبل منا صالح أعمالنا، يا الله، يا مجيب السائلين.

اللهم اصلح ولاة أمورنا ووفقهم لما تحبه وترضاه. اللهم اجعل إندونيسيا بلدتنا هذه سخاءا رخاءا وسائر بلاد المسلمين. اللهم لا تدع لنا ذنبا إلا غفرته ولا هما إلا فرجته ولا دينا إلا قضيته ولا حاجة من حوائج الدنيا والآخرة إلا قضيتها ويسرتها يا أرحم الراحمين. اللهم اجعلنا من الذين يستمعــون القول فيتبعــون أحسنه.

ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه الأخيار وسلم تسليما كثيرا. آمين

عبــــاد الله، إن الله يأمركم بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى واليتامى وينهاكم عن الفخشاء والمنكر والبغي، يعظكم لعلكم تذكرون، أذكروا الله يذكركم.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.