Category Archives: Sastra

9 – SURAT KEPADA BAYANGAN

-9-
Surat Kepada Bayangan

Berhari-hari setelah itu, Pendeta Pemikiran terus menuliskan surat-suratnya kepada Sang Isteri. Surat-suratnya memiliki langgam seperti ini:

 

Pagi, 14 Pebruari ….

Sahabatku,
Alangkah indahnya pagi ini! Langit biru, seperti belum pernah kulihat warna sebiru ini. Seakan-akan malaikat dalam kejernihan seorang bocah tengah bermain riang, memegang pena lucu mewarnai gambar air dengan warna biru cerah dan mewarnai semua pemandangan alam yang tampak oleh mataku hari ini dengan warna hijau segar. Aquarel angkasa ini juga memenuhi jiwaku, memenuhinya dengan kejernihan langit! Tak setiap saat aku bisa menyaksikan warna-warna di sekitarku, atau mendengarkan suara-suara yang bernyanyi di sekelilingku.

Segala sesuatu di sekelilingku saat ini sedang berbicara, bersinar dan bergerak! Aku yakin pembantuku pasti terheran-heran melihatku; suara kenari yang terkurung di dalam sangkar tetangga, tak lagi menggangguku. Bahkan aku mendengarkannya dengan tersenyum. Kami sekarang menjadi dua sahabat baik. Saling memahami. Aku tak mengizinkan pembantuku menutup jendela yang menghubungkanku dengannya, meski di saat sibukku. Burung kecil ini, dalam khayalanku, juga memiliki cerita tentang dirimu yang ingin disampaikannya kepadaku!

 

Petang, 25 Pebruari …

Sahabatku!
Petang ini aku duduk di balkon rumahku. Malam ini bulan akan purnama. Di langit, tampak sedikit awan yang sedang berjalan. Ia membuat kita merasa seolah-olah bulan-lah yang sedang berjalan. Bola cahaya apakah itu yang berjalan tergesa-gesa seperti itu, di angkasa?! Apakah ia punya janji dengan sang kekasih?!

Saat ini Cairo tengah lelap tertidur. Dari tempatku yang terpencil kusaksikan rumah-rumah berjejer saling berangkulan dalam pelukan bukit Mukatam, seperti anak burung di sarang induknya. Sebagian rumah itu telah memejamkan matanya atau menutup jendalanya, menyerah pada kantuk. Sebagian lainnya tetap terjaga, membukakan jendela yang menyorotkan sinar ke kegelapan malam. Amboi, yang manakah rumahmu di antara rumah-rumah itu?! Apakah yang sedang kau lakukan saat ini?! Aku yakin, sekarang kau sedang berada di sisi suamimu yang berbahagia itu, meringkuk kepadanya dengan kelembutan yang kulihat padamu.

Sungguh aku selalu melihatmu pada sosok seorang isteri teladan, sosok isteri yang sering kuharapkan untuk bisa kumiliki. Tapi, kehidupan enggan membawanya kepadaku!

Tak seorang pun tokoh dalam sejarah yang memiliki isteri mulia, kecuali selalu kubayangkan dalam sosok dirimu. Kuberikan ciri seperti cirimu dan kupinjamkan tanda serta sifat seperti tanda dan sifatmu!

Kubaca kisah Karl Marx ketika diusir dari negerinya karena penduduk negerinya menemukan ancaman berbahaya bagi keutuhan bangunan masyarakat di dalam tulisan-tulisan Sosialismenya. Isteri Karl Marx menolak dipisahkan dari sang suami! Ia ingin keluar bersamanya, menjadi gelandangan sebagaimana sang suami! Padahal, keluarga sang isteri menginginkannya tetap bersama mereka dan menjauhi takdir serta jalan hidup sang suami yang suram.

Semua itu malah menambah kegigihan sang isteri untuk tetap bersama sang suami, memenuhi kewajiban sebagai pasangan. Sang isteri lalu mengikuti sang suami hingga ke Perancis. Belum sempat mereka beristirahat di negeri ini, mereka telah diusir kembali dari negeri itu. Keduanya lalu meninggalkan Perancis menuju Inggris. Keterlantaran dan kerasnya hidup, juga gelapnya ufuk masa depan tak mampu menggoyahkan keyakinan seseorang dari pemikirannya, juga tak mampu menggoyahkan keyakinan seorang isteri kepada suaminya!

Entah, mengapa aku melihat wajahmu! Hanya mukamu yang tampak saat aku mengingat wanita hebat itu!

Kemarin, aku kembali membaca kisah hidup Desraili, kisah seorang politikus yang ditulis oleh Moro. Bukan untuk apa-apa, selain untuk membuka kembali sosok isterinya yang bernama Marry Ann! Bukan lembar-lembar pertama kehidupannya, sebagai suami-isteri, yang kukagumi. Karena lembar pertama selalu berupa kegembiraan di setiap kehidupan perkawinan.

Marry Ann telah melaksanakan kewajibannya sebagai isteri yang bisa memahami bagaimana menjadikan suami hidup bahagia, seakan-akan berada di Taman Firdaus! Lelaki, suaminya itu adalah orang yang paling membutuhkan taman kebahagiaan. Ia merasa isterinya tidak diciptakan, selain demi dirinya sendiri. Di saat-saat keputus-asaannya, di saat semangatnya mengendor dan rasa pahit karena kegagalan dan kekalahan—dan betapa seringnya saat-saat seperti ini terjadi pada orang-orang sepertinya—ia sangat membutuhkan orang yang bisa menghibur dan melipurnya. Marry Ann, sang isteri itu telah menghibur dan melipurnya. Bahkan menjadi sandaran yang mengurangi dan meringankan beban dirinya!

Lembar-lembar yang kukagumi dan menggetarkanku adalah lembar-lembar terakhirnya. Saat di mana sosok sang isteri ini terkulai sakit. Ia telah lama mengetahui bahwa dirinya terserang penyakit mematikan, penyakit kanker lambung. Tapi, ia berusaha sekuat tenaga—seperti usahanya para pahlawan—untuk menyembunyikan penyakit ini dari sang suami, agar tak membuatnya cemas. Ia memaksakan diri mendampingi sang suami di setiap kegiatan sosial yang menghendaki kemunculan dirinya. Ia membawa pigura besar di dadanya yang berisi gambar sang suami, seperti pengiring jenazah yang membawa foto mendiang. Keduanya bersama-sama menjadi tua, letih dan sakit-sakitan, hingga masing-masing tak bisa saling merawat lagi. Sepasang suami-isteri yang telah tua ini, terkadang saling bekirim surat dari kamar ke kamar, untuk pasangannya. Sang suami menulis surat untuk sang isteri yang berbunyi begini:

“Saat ini aku sedang tergeletak di atas punggungku. Karena itu, maafkanlah pena dan tulisanku. Baru saja kau telah mengirimkan surat kepadaku, surat yang paling menyenangkan dan paling menggembirakan yang pernah kuterima sepanjang hidupku. Rumah kita sepertinya telah menjadi rumah sakit! Tetapi, di rumah sakit bersamamu lebih baik bagiku dari pada di istana tanpa dirimu.”

Sementara sang isteri mengatakan kepada sahabat-sahabatnya, “Berkat kebaikannya, hidupku tak lain hanyalah saat-saat bahagia yang tanpa henti.”
Sementara sang suami menjawabnya, “Kami telah menikah sejak tiga puluh tahun, dan sesaat pun aku belum pernah merasakan bosan bersamanya.”

Akhirnya, penyakit sang isteri semakin parah. Dan ia tak bisa lagi menyembunyikan penyakitnya. Meskipun begitu, kirim-kiriman surat antara mereka berdua di dalam rumah itu tidak menjadi terhenti. Sang suami menuliskan: “Tak ada yang bisa kukatakan kepadamu selain: aku cinta kamu”

Dan sang isteri menuliskan: “Oh, engkau yang paling berharga yang kumiliki. Tak terbayangkan, betapa aku rindu kepadamu. Betapa besarnya hutangku pada kebaikanmu dan pada kasih sayangmu yang tak pernah putus.”

Semua harapan untuk kesembuhan sang isteri pupus. Lambungnya menolak semua makanan. Dan untuk pertama kalinya, orang melihat wajah Desrail yang tenang itu berubah menjadi sangat muram, menunjukkan musibah besar yang dihadapinya. Sang isteri pun meninggal pada tangal 15 Desember 1872.

Dalam lembaran-lembaran kertas isterinya mereka menemukan surat ini: “Suamiku yang kubanggakan! Jika aku meninggalkan kehidupan ini sebelum dirimu, suruhlah orang agar kita berdua dikuburkan dalam satu lubang, bersama-sama. Sekarang, semoga Allah memberkatimu, orang yang baik! Orang yang mulia! Sungguh engkau adalah sebaik-baik suami. Selamat tinggal kekasihku, Dizy!”

“Kamu jangan hidup menyendiri. Dengan sepenuh hati, kuharapkan kamu menemukan orang yang dengan tulus bisa mencurahkan dirinya untukmu.”

Marry Ann

Musibah Desraili ini telah mengejutkan semua sahabat dan lawannya. Bahkan Gladstone, lawan politiknya yang paling keras itu bisa melupakan dendamnya, dan menulis surat untuknya:

“Seingatku, kita menikah pada tahun yang sama. Dan selama tiga puluh tahun, masing-masing kita telah mendapatkan kebahagiaan keluarga yang tak ternilai harganya. Aku yang oleh takdir dibiarkan terhindar dari musibah yang menimpamu bisa memahami.”

Dengan sungguh-sungguh Gladstone juga menyatakan rasa dukanya kepada Desraili. Dan ia melakukan semua itu dengan tulus!

Setelah derita berat dan sulit itu, hari-hari berlalu pada Desraili. Kalau saja Marry Ann masih hidup, tentu ia akan bangga dengan perannya membantu sang suami menghadapi berbagai macam kesulitan yang merepotkan lelaki. Sejak pernikahannya, Desraili menempati sebuah rumah dengan para pembantu yang terkoordinir rapi, tak pernah sedikit pun dirisaukannya!

Dengan perasaan kehilangan, Desraili pernah mengatakan. “Tak ada sesuatu yang berat atau susah yang tak bisa dihadapi olehnya! Tak ada kesulitan maupun permasalahan yang tak bisa dicarikan jalan keluar olehnya! Aku tak pernah mengenal perempuan yang memiliki keteguhan dan keuletan seperti dirinya! Semua itu demi kenyamananku, demi perhatiannya untuk kebaikanku.”

Demikianlah Marry Ann. Ia meninggal dan tak bisa lagi menjaga suaminya yang dibanggakan. Dengan kematiannya, sang suami kehilangan rumahnya. Tempat yang hangat itu; di mana jiwa, jasad dan kenyamanan bisa ditemukan di dalamnya. Tempat di mana kritikan berubah menjadi pujian, kecaman berubah menjadi ucapan sayang dan hiburan!

Setelah hari itu Desraili tak pernah mengenal tempat tinggal yang nyaman! Ia pernah berkata kepada sopirnya: “ke rumah!” dan tak lama kemudian ia teringat bahwa dirinya sudah tak memiliki rumah. Maka, berguguranlah air matanya.

Andai bukan karena perhatian dan belas kasih para sahabatnya, tentu Desraili akan menjadi semakin menderita. Tetapi, bagaimana pun juga, bisakah perhatian sahabat menandingi kelembutan seorang isteri?! Dalam kebisuan kamarnya dan kegelapan kesepiannya, lelaki ini duduk mengumpulkan kenangan yang telah pergi: mengenang suara isterinya yang ceria.

Itulah ringkasan dari lembar-lembar buku tersebut yang telah menggetarkan jiwaku. Sebagian besar kisahnya kutuliskan di sini agar kau mencintai Marry Ann, sebagaimana aku mencintainya. Dan barangkali, kau melihat sosok Marry Ann menyerupai dirimu, sebagaimana aku melihatnya sebagai kembaranmu.

 

Malam, 19 Maret …

Sahabatku…
Ada perempuan lain yang juga banyak kucintai karena ia menyerupaimu meskipun aku tak melihat kecantikanmu ada padanya. Patung-patung dan relif di dinding-dinding kuilnya hanya menampakkan kecantikan seni yang sama sekali tak bisa dikaitkan dengan kecantikan aslinya! Dialah Isis, perempuan Mesir! Aku tak ingin melihatnya dari sisi agama atau ketuhanan dalam legendanya. Yang ingin kusampaikan adalah dari sisinya sebagai seorang isteri. Kesetiaannya kepada Osiris, sang suami.

Dalam pandanganku, kesetiaan Isis kepada suaminya sungguh merupakan mukjizat yang bisa dimiliki oleh hati manusia! Osiris adalah raja di tanah Mesir sebelum Mesir mengenal catatan sejarah ilmiahnya. Dalam masa yang tak lama, Osiris telah membuat Mesir menjadi bangsa yang berperadaban sehingga adat-istiadatnya yang buas hilang dan kebiasaan kanibal penduduknya yang suka memakan daging manusia sirna. Keamanan menjadi mapan. Agama dan penyembahan kepada tuhan menjadi semarak.

Osiris lalu membuat undang-undang bagi rakyatnya, mengajarkan pertanian, ketrampilan, pembuatan rumah dan penguatan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang berperadaban. Setelah semua itu selesai, Osiris menyebarkan peradaban ini ke luar bumi Mesir! Dari waktu ke waktu ia sering meninggalkan Mesir dan meninggalkan isterinya. Selama kepergiannya, Isis memimpin kerajaan. Isis mampu memerintah Mesir dengan cakap dan bijaksana. Semua berjalan sesuai kebijakan yang digariskan suaminya, sehingga orang-orang menyintai mereka berdua dan mensucikan mereka. Tapi, mata kejahatan tak pernah tidur!

Raja Osiris memiliki seorang musuh sengit bernama Set. Set adalah saudaranya sendiri. Set berambisi menguasai pemerintahan di saat kepergiaan saudaranya itu. Namun, ketika harapannya sia-sia, kedengkian membuat Set berencana busuk. Ia ingin menyingkirkan saudaranya sendiri, Raja Osiris. Ia menunggu sampai saudaranya itu kembali ke kerajaan, lalu mengundangnya ke sebuah pesta megah yang khusus dipersiapkan untuk merayakan kedatangannya. Isis, sang isteri selalu mengingatkan Osiris agar behati-hati kepada Set, tetapi sang raja tak mempedulikan kebusukan hati musuhnya. Ia tak bisa mengetahui hati orang lain!

Osiris pun mendatangi pesta itu. Setelah acara makan dan minum, Set mengeluarkan sebuah peti yang sangat indah. Peti ini mampu memikat semua mata yang memandangnya, mengagumi kehebatan karyanya! Set telah membuat peti ini seukuran tubuh saudaranya, Sang Raja.

Osiris terkagum-kagum ketika melihat peti itu. Set lalu menoleh kepada Osiris dan semua yang hadir—mereka semua yang hadir adalah orang-orang Set—dan mengatakan: “Barang siapa yang tubuhnya pas dengan peti tersebut, maka peti itu untuknya!” Para undangan pun bergiliran mencoba memasuki peti. Mereka semua bergantian tidur di dalam peti, dan tak satu pun yang tubuhnya pas dengan peti tersebut. Sampai akhirnya datang giliran Sang Raja. Osiris berdiri sambil tersenyum, tak sedikit pun terbersit kecurigaan di dalam hatinya. Ia pun lalu tidur di dalam peti.

Begitu Osiris tiduran di dalam peti, semua yang hadir segera menyerangnya. Mereka menutup pintu peti itu dan mematrinya dengan cairan patri yang mendidih. Mereka mengunci tutup peti. Set lalu memerintahkan agar peti dilemparkan ke sungai Nil, dekat muara sungai. Demikianlah kehidupan Osiris, ia dibunuh dalam usianya yang baru 28 tahun, menurut sebagian orang. Atau dalam tahun ke 28 dari masa pemerintahannya, menurut sebagian orang yang lain!

Sampai di sini legenda itu tak ada yang penting bagiku. Begitulah kebanyakan legenda para raja di masa-masa lampau. Sampai pada legenda Eropa modern pun kita mandapati kisah semacam itu. Kisah Hamlet yang dikarang Shakespears mengisahkan seorang raja yang dikhianati oleh saudaranya sendiri. Lalu saudara itu membunuhnya karena tamak akan kerajaannya. Saudara yang berkhianat, dalam kisah Hamlet ini, bekerja sama dengan Sang Ratu, isteri Sang Raja sendiri. Sehingga Sang Ratu terlibat dalam kejahatan tersebut, sebagaimana keduanya juga saling menyambut cinta yang tabu!

Tetapi di sini, lihatlah apa yang dilakukan Isis?! Begitu ia mengetahui peristiwa yang terjadi, ia memotong gelungan rambutnya dan mengenakan baju besi, lalu meninggalkan istana. Ia meninggalkan kekuasaan, keagungan dan segala yang dimilikinya, bertolak mengembara mencari peti yang memuat jasad suaminya. Ia berkeyakinan jasad itu tak akan bisa tenang, kecuali setelah dikuburkan sesuai ritual keagamaan!

Selama berhari-hari yang panjang Isis berkelana ke berbagai penjuru negeri. Ia menanyakan hikayat peti berhias indah kepada setiap orang yang lewat yang ditemuinya! Ia selalu mendapat jawaban: tak pernah ada orang yang melihatnya. Namun ia tak berputus asa. Isis terus melanjutkan perjalanan ke penjuru negeri mencari dan bertanya, meminta bantuan dan belas kasihan. Namun tetap tak menghasilkan. Sampai akhirnya ia bertemu dengan serombongan anak kecil yang sedang bermain di tepi sungai Nil. Anak-anak itu memberitahukan bahwa mereka melihat peti yang dihanyutkan di muara sungai.

Isis pun menuju muara sungai, mencari dan melacak kembali. Tetapi usahanya masih belum membuahkan hasil. Hingga akhirnya takdir mengarahkannya untuk bertanya kepada para nelayan. Para nelayan itu mengatakan: laut telah membawa peti itu ke pantai Pilus!

Isis lalu mengarungi lautan menuju kerajaan nun jauh itu. Di sana ia bertanya, namun tak seorang pun yang bisa memberinya petunjuk akan apa yang diinginkannya. Keletihan dan keputus-asaan menyelimutinya. Isis terduduk linglung di atas sebuah batu di tepi pantai. Di situ ia melihat seorang pemburu tua yang menanyakan permasalahannya. Lalu, Isis pun menceritakannya. Pemburu itu memberitahukan bahwa ombak laut telah melemparkan peti itu ke tengah belukar pohon inai. Belukar itu tumbuh menjadi sangat lebat dan aneh. Peti itu tersembunyi di tengah tangkai pohon inai yang sangat besar.

Pada suatu hari, raja negeri ini melewati pohon itu dan terheran-heran karena ketinggian dan kelebatannya. Ia lalu memerintahkan supaya menebang pohon tersebut, lalu menjadikan tangkai pohon itu sebagai salah satu pilar yang menyangga atap istana.

Begitu Isis mengetahui hal ini, ia bangkit menuju istana dimaksud, tetapi ia tak berani merusaknya. Ia lalu duduk di samping sumber air hingga datang waktu sore. Di sore itu para puteri raja keluar untuk berjalan-jalan. Mereka melihat Isis yang tengah duduk, lalu mendekatinya dan berbincang kepadanya. Isis pun berlaku baik kepada mereka. Dengan kedua tangannya ia mengepang rambut puteri-puteri raja itu dan mengaromai mereka dengan hembusan nafasnya. Nafas Isis menebarkan aroma bunga dan wewangian, lebih wangi dari aroma bunga dan wewangian.

Lalu, para puteri raja itu pun kembali ke istana. Ibu Ratu heran dengan aroma yang keluar dari ikatan rambut dan baju mereka. Para puteri itu pun menceritakan tentang seorang perempuan asing yang cantik yang duduk di dekat sumber air. Sang Ratu lalu memerintahkan supaya mengundang perempuan asing itu ke istana dan menjamunya. Sang Ratu meminta Isis agar mau menjadi ibu susuan Sang Pangeran yang masih kecil. Saat itu Isis mengatakan jati diri yang sebenarnya dan menceritakan kisahnya. Lalu ia pun memohon supaya mereka berkenan memberikan pilar yang dimaksud.

Keluarga kerajaan merasa tersentuh dan simpati kepadanya. Meraka pun lalu membelah tangkai dan mengeluarkan peti dari dalamnya. Begitu melihat peti, Isis pun melihat jasad sang suami yang berada di dalamnya sehingga ia tak kuasa menahan ratapannya. Isis mengeluarkan ratapan dari dalam dadanya, seperti nyala api yang keluar dari tengah-tengah gunung berapi.

Isis kemudian membawa peti itu kembali, mengarungi samodera menuju negeri Mesir. Di negerinya, Isis membuka peti dan menangis pilu di atas jasad sang suami. Ia lalu menyembunyikan peti beserta isinya untuk menyiapkan upacara ritual jenazah dan penguburan. Namun mata jahat kembali terbuka. Set berhasil menemukan peti itu. Ia murka dan amarah menguasainya. Set mengeluarkan jasad Osiris dari dalam peti dan memotongnya menjadi empat belas bagian lalu menyebarnya ke sepanjang dan selebar negeri.

Isis mengetahui bencana baru ini. Ia pun bangkit kembali, mengikuti jejak suaminya dengan menggunakan perahu dari hutan papirus. Dengan perahu ini ia mengelilingi sungai Nil mencari potongan-potongan tubuh sang suami yang tercinta, ke semua tempat. Ia terus mencarinya selama bertahun-tahun tanpa pernah merasa bosan maupun jemu. Setiap menemukan potongan atau bagian dari anggota tubuh sang suami, Isis langsung menguburkannya di tempat itu dan membuatkan sebuah obelisk. Mungkin inilah rahasianya mengapa Osiris memiliki beberapa kuburan di Mesir.

Begitulah yang dilakukan Isis, sang isteri! Dan, begitulah yang akan kau lakukan jika kau berada di tempatnya. Karena kau, wahai sahabatku yang agung memiliki hati yang sama dengan hatinya. Sekejap pun aku tak pernah meragukan hal ini! Hati yang sama yang telah menumbuhkan semua rasa cinta dan kesetiaan ini.

 

Sore, 19 Maret …

Sahabatku!
Tak henti-hentinya aku mencela diriku sendiri karena perlakuanku kepada dirimu. Bagaimana aku bisa buta hingga tak melihat bahwa dengan kedatanganmu saja telah mampu menciptakan suasana yang menyenangkan?!Adanya keinginan untuk mendekati seorang lelaki yang hidup menyendiri bersama bukunya, itu saja sudah menunjukkan kemuliaan seorang perempuan!

Sungguh bukan hal yang mudah bagi para perempuan untuk mau bersahabat dengan seorang yang hidup seperti diriku! Dan sungguh mengherankan, karena dirimu tak sesaat pun merasa jemu bersamaku. Bahkan, malah aku yang tak memiliki kesabaran dan ketelatenan, sehingga buru-buru memutuskan hubungan indah yang tiada bandingnya ini. Kini, aku telah menghalangi diriku sendiri—seperti yang kau lihat—dari satu-satunya kebaikan yang berani memasuki ruanganku yang berdebu buku. Ini, dengan tanganku sendiri, aku telah menutup jendela hidupku dari sinarmu. Seandainya kau tahu kegelapan macam apa yang kini tengah kujalani!

Bayangkan! Jika tiba-tiba pada suatu hari rembulan terpisah dari bumi ini. Rembulan itu melayang di angkasa sampai akhirnya menemukan planet lain yang menarik dirinya dan meninggalkan kita tanpa cahayanya, untuk selama-lamanya! Akan seperti apakah kehidupan di atas bumi kita?! Jika kita bisa hidup setelah itu, percayalah, tentu itu adalah kehidupan tanpa keindahan, tanpa cinta dan tanpa perasaan! Lantas apa artinya kehidupan semacam ini?! Tahukah dirimu sekarang, apa yang telah hilang dariku dengan kehilangan dirimu?!

 

Pagi, 21 Maret …

Sahabatku!…
Keberanianmu mengenal diriku masih membuatku terheran-heran. Begitu pula kesabaranmu dengan ucapan-ucapanku. Ketika kubuka-buka kembali masalah ini, aku benar-benar menemukan sebuah keajaiban! Sangat jarang ada perempuan yang sanggup hidup bersama seorang lelaki yang hidup dalam dunia pemikiran. Karena itu, perempuan semacam itu pantas menjadi sosok yang diagungkan, seperti beberapa kisah yang telah kuceritakan kepadamu! Tetapi, aku masih ingin menceritakan seorang perempuan lagi, yang pasti sudah kau kenal. Bahkan yang kau jadikan teladan suci!

Iya, itulah dia. Khadijah isteri Nabi dari Arab. Bayangannya selalu muncul di kepalaku dan tak pernah meninggalkan benakku saat aku memikirkan seorang isteri teladan. Dialah perempuan yang memilih seorang suami yang sibuk dalam medan perjuangan. Dialah perempuan yang mendampingi sang suami di saat-saat kekalahan dan kemenangan, keputus-asaan dan harapan! Dialah perempuan yang menyangga punggung suaminya, ikut mendapatkan hantaman dan ikut tak bisa mendapatkan tidur pada malam-malamnya. Ia isteri yang ikut berlumuran darah bersamanya. Ia yang membalut luka-lukanya, memberikan diri dan kekayaannya untuk sang suami. Hingga akhirnya mendapat kemenangan!

Demikianlah yang dilakukan Khadijah. Ia memikul banyak beban di pundaknya, bahkan cinta yang pertama kali ditanggungnya di dalam hati! Lalu mempersembahkannya kepada Muhammad yang kemudian menyambut cinta itu dan ikut berbagi menanggungnya.

Sebelum mengenal Khadijah, hati Muhammad tak pernah mengenal cinta. Kehidupannya—sampai usia 25 tahun—adalah kehidupan seorang pemuda yang tenang, jauh dari perempuan. Ia tenggelam dalam kesibukannya, menggembala kambing di padang pasir, hanyut dalam perenungan yang mendalam. Tak ada tempat bagi dunia hiburan dan perempuan—sampai waktu itu—dalam perhatian atau pemikirannya. Ia berpantang mutlak. Itulah ciri-cirinya secara umum saat itu. Muhammad hidup dalam perilaku asketik, mengikuti ilmu, sabar dan rendah hati. Itulah yang membedakannya dengan pemuda-pemuda lain. Dan karena itulah kaumnya menyebutnya dengan nama al-amin, yaitu orang yang lurus!

Jika dunia hiburan dan perempuan tak pernah ada dalam perhatian Muhammad muda, lantas apakah yang menyibukkan benaknya pada usia tersebut? Apakah di dalam dirinya ia telah merasakan keagungan jalan takdirnya? Hal itu tak perlu diragukan! Begitulah selalu yang menjadi keadaan mayoritas orang yang dinantikan takdir agung. Sejak pertumbuhannya, mereka telah memiliki teladan dan impian luhur yang memenuhi masa mudanya, menggantikan tempat untuk bersenang-senang dan bergurau! Setiap pemuda hidup bersama bayangan seorang perempuan cantik, kecuali pemuda yang ditakdirkan membawa risalah agung. Ia akan selalu hidup bersama bayangan keagungan yang menunggunya itu!

Mungkin hal ini bisa memberi sedikit penjelasan tentang kehidupan pemuda Muhammad sampai pada usia pertemuannya pertama kali dengan perempuan yang dicintainya, Khadijah! Dan siapa yang tahu, apa yang akan terjadi seandainya Khadijah tidak memulai dengan cintanya?! Segala sesuatunya menunjukkan bahwa masalah perkawinan tak pernah hinggap di dalam benak Muhammad. Isteri dan perempuan adalah hal paling terakhir yang dipikirkannya saat itu. Ia terus berada pada jalan perenungan batin dan impian-impian luhurnya, seakan-akan ia sedang tak berjalan di atas bumi ini. Sampai suatu hari Khadijah memperhatikannya dan menyentuh bahunya. Ia lalu sedikit tersadar dan menatapnya!

Hal ini sungguh menarik karena berasal dari seorang perempuan seperti Khadijah. Seorang perempuan yang memiliki kedudukan tinggi dan harta kekayaan yang melimpah. Ia yang mengambil langkah pertama menuju seorang lelaki miskin dan yatim! Khadijah adalah perempuan yang telah dipinang oleh lelaki-lelaki Quraisy yang paling bagus garis nasabnya, paling terhormat kedudukannya, dan paling kaya. Mereka telah meminang Khadijah dengan iming-iming segala macam kekayaan yang akan diberikan. Tapi, Khadijah tak meliriknya. Khadijah malah mengirim pembantunya, Nafisah untuk mencari tahu tentang seorang pemuda Muhammad. Ia malah membukakan tangan untuknya dan menikahinya.

Khadijah telah ikut melihat kebimbangan Muhammad, kecemasan, derita dan kesengsaraannya! Ia telah melihatnya masuk kepada dirinya dalam keadaan gemetar ketakutan sambil berkata, “Selimuti aku, selimuti aku!”

Khadijah pun menyelimutinya dengan penuh perhatian. Lalu, dengan cemas ia mengatakan, “Bermurah-hatilah kepadaku! Beritahukan, ada apa denganmu!” tanyanya.

“Aku, jika aku menyendiri, aku mendengar seruan dari belakangku: Hai Muhammad! Hai Muhammad! Aku pun lari terbirit-birit! Aku takut pada diriku! Aku melihat sinar dan mendengar suara! Aku benar-benar takut kalau aku menjadi seorang dukun, Khadijah! Demi Allah, tak ada sesuatu pun yang membuatku marah seperti kemarahanku pada berhala-berhala dan para dukun itu!” jawab Muhammad.

“Tenangkan dirimu! Demi Allah, selamanya Allah tidak akan pernah merendahkanmu. Allah tidak akan pernah melakukan hal itu kepadamu, selamanya! Kau orang yang menghubungkan tali persaudaraan. Kau orang yang mengatakan kebenaran. Kau orang yang menyampaikan amanat. Budi pekertimu benar-benar mulia!” kata Khadijah menghiburnya.

Dengan ucapan-ucapannya itu, Khadijah telah meringankan Muhammad. Ia tak mengejeknya sebagaimana orang-orang dari kaumnya mengejek. Kaumnya telah mengolok-olok dan membodohkan suaminya. Mereka menyakiti dan melempari kepalanya dengan debu! Bahkan Khadijah mengimani dan membenarkannya di saat tak seorang pun menanggapi ucapan-ucapannya dengan serius!

Pada suatu hari sang suami datang kepada sang isteri dengan gemetar. Ia memberitahukan bahwa dirinya melihat malaikat turun dari langit dan berbicara kepadanya. Ia mendengar suaranya! Namun ia tak tahu apakah ia benar-benar malaikat ataukah setan?! Sang isteri ingin membuang keraguan sang suami dan menggantinya dengan keyakinan. “Jika sahabatmu itu datang, ia yang telah mendatangimu itu, beritahulah aku!” pinta Khadijah.

Ketika Jibril datang kepadanya, Muhammad pun memberitahu Khadijah. Khadijah lalu melepas kerudung yang menutupi dirinya, lalu bertanya, “Apakah sekarang kau masih melihatnya?”

Muhammad melihat ke arah Jibril dan tak menemukannya lagi. “Tidak!” jawabnya.

Khadijah pun berteriak gembira, “Berkukuhlah dan bergembiralah! Demi Allah, ia malaikat. Ia bukan setan. Karena kalau setan, ia tak akan malu melihatku!”

Demikianlah Khadijah berada di sisi suaminya. Ia mengusir keraguan sang suami dan mengimani risalahnya; sampai akhir hayatnya!

Ketika musuh-musuh Muhammad mengetahui kedekatan ajal Khadijah, mereka berbisik-bisik gembira, “Khadijah sedang sekarat!”

Dan Abu Lahab, musuh terbesar Nabi Muhammad tak bisa menyembunyikan kegirangannya itu. Ia pun berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Tentu, sebentar lagi perempuan yang menyokong Muhammad itu akan pergi!”

Khadijah pun melepaskan nyawanya yang telah menjadi sumber cinta itu! Itulah Khadijah, perempuan yang dengan kekuatan dan keagungan cintanya mampu membuka hati Muhammad dan memenuhi hari-hari yang dijalaninya. Bahkan cinta ini tak pernah padam dengan kematian Khadijah. Cinta itu tetap kokoh berada di dalam sebuah relung di hati Muhammad, selamanya. Tak ada perempuan lain yang bisa menyandinginya, bahkan Aisyah, wanita yang paling dicintai Muhammad setelah itu! Aisyah tak bisa menggantikan tempat keberadaan Khadijah di dalam hatinya.

Suatu hari cinta Nabi kepada Khadijah yang sangat besar itu telah membuat Aisyah cemburu. Lalu dengan manja ia berkata kepada Nabi, “Bukankah aku isterimu yang paling baik?!”
“Lantas Khadijah?!” jawab Nabi segera.
“Masih saja kau mengingat perempuan tua berpipi merah yang telah hancur dimakan zaman itu! Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik untukmu!”

Aisyah tak sadar mengucapkan hal itu. Ia tak menyadari pedasnya ucapan tadi, kecuali setelah melihat raut kemarahan pada muka Muhammad. Sama sekali ia tak pernah melihat Muhammad marah seperti saat itu. Muhammad langsung bangkit dan meninggalkan tempatnya sambil berkata, “Demi Allah, aku tak mendapatkan ganti yang lebih baik darinya. Ia mengimaniku saat semua orang mendustakanku. Ia menopangku dengan kekayaan saat semua orang mengekang hartanya untukku!”

Aisyah memendam kemarahannya di dalam dada sambil berbisik, “Seakan-akan tak ada perempuan lain di atas bumi ini, selain Khadijah!”

Sungguh, Aisyah benar. Iya! Tak ada perempuan di atas bumi ini yang seperti Khadijah, kecuali hanya segelintir saja. Perempuan yang langka adalah pemberian Allah yang paling agung!

Aahh… sahabatku yang baik! Jika mereka bertanya kepadaku tentang dirimu, pasti aku akan menjawab, saat ini duniaku hanyalah dirimu!

 

Petang, 22 April …

Sahabatku!…
Entah berapa harga yang harus kubayar untuk sebuah gambarmu! Gambarmu akan kupasang di dalam sebuah bingkai yang mahal dan kuletakkan di sini, di atas mejaku. Akan kupandangi setiap pagi dan sore. Tapi, tidak! Meskipun seandainya aku memiliki gambarmu, aku tak punya hak meletakkannya seperti itu!

Semua yang bisa kumiliki darimu hanyalah meletakkannya di dalam hatiku. Di mana tak seorang pun akan melihatnya, dan tak ada kekuatan mana pun yang bisa mengambilnya dari situ. Sekarang, ijinkan aku meletakkan pena agar tak mengganggumu dengan perkataan-perkataan yang panjang. Aku sedang berada di balkon, duduk di kegelapan malam yang indah ini, diam memikirkan dirimu!…

 

Pagi, 23 Mei…

Sahabatku!…
Beginikah?! Aku ditakdirkan tak mendengar kabar apa pun tentang dirimu! Sementara kau bisa mengetahui keadaanku, paling tidak, melalui tulisan tentang diriku yang dimuat di surat kabar. Pemikiran semacam ini terbersit di dalam benakku setiap aku membaca berita dan majalah-majalah dengan tatapan mataku yang terus mencari.

Sekarang aku merenung lama setiap membaca berita yang menyangkut diriku, atau perkataan yang dinisbatkan kepadaku. Aku teringat, kau akan membaca hal itu sehingga aku menjadi malu!

Oh, Sahabat! Maafkan aku! Tentu saja, aku bukan orang yang penting bagimu. Apalah artinya diriku yang selalu mengucapkan perkataan-perkataan tolol dan melakukan tindakan-tindakan bodoh di hadapan seorang wanita mulia, yang hanya diketahui kebaikannya oleh semua orang!

Aahh… kalau saja aku bisa meyakinkanmu untuk sedikit berbaik sangka kepadaku! Percayalah di sana terdapat perbedaan besar antara hakikat diriku yang tersembunyi dengan diriku yang tampak di hadapan orang banyak. Aku bersumpah kepadamu, diriku yang tersembunyi jauh lebih baik dibandingkan diriku yang tampak. Karena yang tak tampak adalah milikku dan buatanku sendiri, sementara yang tampak adalah milik orang banyak dan buatan keadaan! Aku bukan seorang aktor dan tak pernah berusaha berakting untuk membuat penampakan yang mempesona di hadapan orang banyak. Bahkan kubiarkan mereka dengan sesuka hati membuatkan baju untukku, tanpa pernah kupedulikan ketidakcocokannya dengan kenyataan yang kujalani di dalam diriku!

Percayalah, di dalam diriku, aku menjalani kehidupan bersih, tinggi dan suci. Namun ketika aku keluar ke hadapan orang banyak, kumatikan sinar-sinar itu dari diriku, dan hilanglah dunia mempesona yang kujalani. Lalu aku muncul dengan baju yang menggelikan, yang aku sendiri tidak tahu bagaimana aku bisa memakainya?!

Terkadang aku heran kepada mereka yang memiliki kekuatan menipu orang lain. Mereka muncul di hadapan orang banyak dalam bungkus baju orang-orang suci. Sementara di dalam dirinya, mereka adalah orang yang paling bejat dan gila! Sedangkan aku, aku terkadang tampak seperti orang konyol yang suka bercanda dan selalu tersenyum di hadapan orang lain, padahal di dalamnya, aku adalah kesungguhan dan kedisiplinan! Aku adalah orang yang tulus kepada dirinya sendiri, dan titik. Bagiku, tak penting lagi orang lain setelah itu! Segala sesuatu yang ada di dasar jiwaku adalah penting bagiku, adapun buih yang mengapung di permukaan dan yang tampak di kulit, tak pernah kupedulikan. Sampai cintaku kepadamu, siapa yang percaya bahwa cintaku itu ada, hidup dan eksis?!

Aahh, andai saja orang-orang itu tahu bahwa aku sedang jatuh cinta! Tak seorang pun yang bisa melihat cintaku yang berkilau seperti mutiara di dasar jiwaku itu! Bahkan, dirimu pun tidak!

* * *

Demikianlah, Pendeta Pemikiran terus menulis surat semacam itu. Hingga memasuki musim panas. Selama musim panas Pendeta Pemikiran berlibur ke pantai. Kemudian datang musim gugur! Sang Pendeta kembali ke Cairo dengan tetap serius pada surat-surat dan bayangan Sang Isteri. Ia tak pernah pupus atau lupa dari sosoknya. Lalu, musim dingin tahun berikutnya pun datang!

Setahun telah berlalu sejak kunjungan pertama Sang Isteri kepada dirinya. Sang Pendeta masih tetap dengan keadaannya. Tak berubah! Ia terus menulis surat kepada bayangannya dan menumpuk surat-surat itu. Surat di atas surat.

Sang Pendeta tak pernah mendengar kabar Sang Isteri atau berpapasan dengannya di jalan. Ia berharap, suatu hari takdir akan mempertemukannya dengan Sang Isteri. Bahkan di dalam dirinya ia telah berharap agar bisa melihatnya di tempat liburan musim panas, di Alexandria. Atau, secara kebetulan melihatnya di suatu tempat. Tapi, kebetulan itu enggan datang dan takdir juga menolaknya!

Meskipun begitu, di dalam hatinya Sang Pendeta merasa pasti akan bertemu dengannya, pada suatu hari nanti! Karena mustahil segala sesuatu telah berakhir begitu saja di antara mereka berdua dengan seperti itu! Namun ini hanya perasaan batinnya, tak lebih dan tak kurang. Ini adalah perasaan yang biasa hinggap di setiap hati yang tengah mencari kekasihnya yang berada jauh. Ia adalah desah harapan yang tak pernah mati dan tak mungkin mati di dalam diri manusia!

* * *

 

8 – SUSAH TIDUR

-8-
Susah Tidur

Minggu demi minggu berlalu. Malam demi malam telah berubah menjadi terang karena mata yang tak mau dipejamkan. Sementara siang harinya, siang demi siang berubah menjadi suram karena keputus-asaan. Pendeta Pemikiran tetap dengan keadaannya, tidak berubah. Ia masih tak mampu melupakan Sang Isteri meski telah mencobanya dengan berbagai macam upaya, kehendak dan ketabahan hati. Segala sesuatu di sekelilingnya mengingatkan kepadanya: Ini, pintu, yang menjadi tempatnya masuk; kursi yang menjadi tempatnya duduk; jendela tempatnya mencari sinar matahari; rak tempatnya membayangkan buku-buku yang berjejer; dan meja tempatnya melihat kertas-kertas berserakan. Bahkan dinding-dinding juga ikut mengingatkannya akan gelak suara tawanya yang lembut, ucapan-ucapan dustanya, dan percakapannya. Percakapan yang tak pernah berlangsung secara serius!

Sang Pendeta tak pernah tahu bahwa pada suatu hari ia harus bersungguh-sungguh menjaga ingatannya, bangga pada setiap perkataan dan komentarnya sendiri, juga pada nada-nada suaranya. Perkataan-perkataannya yang terkadang meremehkan Sang Isteri, dan terkadang dingin. Baginya saat ini, semua itu merupakan sesuatu yang sangat berharga, yang tak ternilai dengan harta. Kata-kata itu kini menjadi makanan yang menghidupi jiwanya.

Setiap hari ia mengeluarkan kata-kata itu dari ingatannya secara harfiah, dan kembali menggunakannya untuk berbicara kepada dirinya sendiri. Ia benar-benar memamah kembali kata-kata itu seperti onta yang memamah makanannya yang telah lama tertelan sambil berjalan menggeliat-geliat kelaparan di padang pasir yang gersang. Bahkan setiap sore ia mengambil seluruh kata-kata itu dari kepalanya dan merenungkannya, kata demi kata seperti orang yang sedang mengambil mutiara dari dalam kotaknya lalu memperhatikan kilauannya, butir demi butir.

Semua itu dilakukannya dalam minggu-minggu yang panjang tersebut; setelah semua keputus-asaan untuk bisa berjumpa dengannya. Namun terkadang ia merasa getir dan menyesal atas perginya hari-hari itu, dengan kata-katanya yang semacam itu!

Aahh!… Kalau saja dirinya tahu, pasti dirinya akan berbicara dengan cara yang lebih baik dan mencurahkan seluruh perhatian untuknya. Tapi, meskipun begitu, Sang Pendeta tak menyesal atas perilakunya kepada Sang Isteri, perilaku yang tinggi tersebut. Sang Isteri adalah perempuan yang telah bersuami, tak pantas baginya memiliki hubungan yang lebih dari yang telah ada!

Dalam relungnya saat ini, barangkali ia ingin bersikap penuh perhatian. Perhatian hangat dan mendalam yang mengikatkan mereka berdua. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa keinginan itu akan berhenti pada batas tersebut?! Sang Pendeta tak ragu bahwa dirinya telah berbuat baik dengan menutup tirai kisah ini di saat yang tepat. Dirinya bukanlah orang yang suka menyimpang dari kewajibannya yang terhormat, atau suka memalingkan seorang isteri dari kewajiban sucinya terhadap suami. Ia benar-benar melaksanakan kewajiban yang diembannya. Orang seperti dirinya tak mungkin melakukan selain itu!

Adapun penderitaan yang menimpa dan ditanggungnya setelah itu adalah sesuatu yang tersembunyi. Sesuatu yang tak terlihat oleh siapa pun dan tak seorang pun mengetahuinya. Sesuatu yang tak merugikan orang lain dan tak menyangkut hak-hak orang lain! Selagi ia bisa menerima derita ini, lalu kenapa ia tak bisa menerima cintanya juga?! Cinta yang tersembunyi, yang tak terlihat oleh siapa pun dan tak disadari oleh satu pun makhluk hidup!

Pada suatu ketika, di tengah malam, Pendeta Pemikiran terbangun. Ia menyalakan lampunya dan duduk menghadapi mejanya. Sebuah tekad telah melekat di dalam hatinya. Tekad untuk memperbarui percakapan dengan orang yang dicintainya. Tekad untuk melanjutkan hubungan batin bersama bayangan Sang Isteri. Bayangan yang telah membangunkan dirinya di tengah malam dan tak pernah meninggalkannya di kala siang. Sang Pendeta pun lalu mengambil lembar-lembar kertas untuk menuliskan surat yang ditujukan kepadanya. Surat yang tak mungkin dilihat oleh Sang Isteri.

Dalam hal ini, barangkali Sang Istri menjadi semacam gundik bagi Sang Pendeta. Atau, barangkali hal itu merupakan cara untuk memperbesar cintanya tanpa menyalahi kewajiban!

* * *

Dentang jam berbunyi menunjukkan jarum berada di angka dua dini hari. Sang Pendeta memegang pena, menuliskan surat ini kepadanya.

Sahabatku!
Aahh…, kalau saja kau tahu apa yang telah terjadi kepadaku setelah kepergianmu! Kau tidur nyenyak dan hatimu tak pernah memikirkan bahwa di sana ada seorang lelaki yang terjaga demi dirimu. Dan siapakah lelaki ini?! Ia adalah orang yang membiarkanmu pergi tanpa pernah memperhatikan kehadiran dan ketidak-hadiranmu. Aku akan melihat tatapan heran di matamu kalau kau mengetahui hal ini. Tapi, kau tak akan pernah mengetahuinya, selamanya! Dan tak sepantasnya kau mengetahuinya, selamanya!

Yang kuinginkan hanyalah berbicara panjang lebar bersamamu di sini. Tak penting apakah kau akan membalas pembicaraanku. Kusadari apa yang telah kukatakan kepadamu. Aku melihat senyummu ketika kau mengetahui maksud ucapanku. Kau mengerutkan kening karena ucapanku menjelekkan dirimu dan kau berada di depanku, menyimak perkataanku dengan wajahmu, bulu matamu, pandanganmu, rambutmu dan mulutmu!

Aku akan mengatakan segala sesuatu yang berkecamuk di dalam hatiku tanpa harus merasa kuatir akan membebani dirimu. Inilah kelebihan berbicara di atas kertas yang bisu ini. Paling tidak, ia mampu menipu diriku sendiri, memperdayaiku bahwa dirimu tak akan mampu berbuat apa-apa kepadaku. Sementara dirimu akan memperhatikan ucapanku dengan seluruh perasaan yang kau miliki kepadaku…

Aahh…, apa yang membuatku teringat pada perasaan, hari ini?! Kata itu sudah lama tak kuucapkan. Kehidupanku ternyata lebih gelap dari yang pernah kubayangkan. Kami, para pemikir, selalu berjalan di atas gurun panas yang membakar sehingga tak pernah menyadari betapa beratnya perjalanan ini, kecuali saat kami kebetulan menemukan oase yang hijau. Saat itu kami akan duduk sebentar di bawah naungan pohon, dan tampaklah betapa kerasnya hidup yang kami jalani. Kami bertanya-tanya: bagaimana kami bisa menanggung semua ini hingga sekarang?! Tak lama kemudian, tugas menyeru agar kami melanjutkan perjalanan. Kami pun kembali membetot dan melemparkan diri ke dalam neraka itu!

Sahabatku! Jadilah penghiburku. Biarkan bayanganmu menjadi temanku yang berjalan di sisiku. Aku memerlukan, meski hanya bayanganmu! Jalananku benar-benar liar! Ia bukanlah padang gurun seperti yang baru kukatakan kepadamu, karena padang gurun paling tidak memiliki keheningan yang nyaman. Jiwa akan menjadi jernih ketika tenggelam dalam keheningan. Tapi, aku berjalan di atas dunia yang bising. Dunia yang penuh kehinaan dan keburukan. Aku berenang di dalam lautan, berkawan kerendahan dan kedunguan!

Terkadang aku memberontak kepada diriku sendiri dan mengatakan, “mengapa tak kutinggalkan saja semua ini dan menjalani hidup sebagaimana orang lain hidup?!

Tetapi aku tak bisa, karena aku memimpikan sesuatu yang indah. Hal itu pasti harus dibayar dengan harga, minimal dengan menanggung ejekan orang lain! Percayalah, Sahabatku! Terkadang aku tak mendapatkan apa pun, selain celaan orang lain, seakan-akan aku telah melakukan kejahatan yang tak terampuni.

Barangkali kau telah banyak membaca tulisan tentang diriku yang tersebar di surat kabar. Dari waktu ke waktu, mungkin kau pernah melihat berbagai rupa atau bentuk yang mereka gunakan untuk menggambarkan diriku. Semula hal itu menyakitkanku, tetapi kini aku tak menganggapnya begitu. Akhirnya aku berkeyakinan, beginilah yang memang harus berlaku. Tak seharusnya seseorang berbaik sangka kepada orang lain melebihi yang sewajarnya! Mereka selalu begitu, mereka selalu seperti itu di setiap masa. Mereka tak mampu membayangkan sesuatu, selain yang sesuai dengan penggambaran kepalanya sendiri.

Dan beginilah aku sekarang. Saat aku melihat rupa atau penggambaran tentang diriku di surat kabar, aku hanya bisa tersenyum dan mengatakan: “Itulah gambar yang bisa mereka buat. Mereka tak bisa membuat selain itu, atau tak bisa menceritakan selain itu!”

Aahh…, kami selalu dalam peperangan; bukan hanya demi sastra atau demi teladan mulia semata, tetapi demi mereka yang telah kami persembahkan hidup kami. Demi memberi mereka sesuatu yang indah!

Aku tak ingin berpanjang-panjang dalam surat pertama ini, takutnya kau malah meninggalkannya.

Aku hanya berani bersama bayanganmu dan akan menjaga diri ketika berhadapan denganmu, karena aku tak memiliki selain itu. Maka, biarlah aku menyimpannya untuk diriku. Semoga kau tidur dengan nyenyak!

Pendeta Pemikiran lalu melemparkan pena di tangannya, bangkit untuk menyerahkan diri kepada tidur, yang entah akan datang atau tidak!

* * *

 

7 – PERPISAHAN

-7-
Perpisahan

Hari-hari berlalu setelah kepergian perempuan cantik itu, dan Pendeta Pemikiran kembali sibuk dengan rutinitas pekerjaannya. Ia tak terlalu memikirkan perempuan itu dan tak mempedulikan permasalahannya. Di dalam dirinya, Sang Pendeta beranggapan, pasti ia akan kembali lagi setelah seminggu, seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi hari yang disepakati itu tiba, dan ia tak datang. Ada sedikit kecemasan menghinggapi hati Sang Pendeta, namun segera sirna. Ia teringat perempuan itu kadang melanggar hari yang telah disepakati. Kali ini, barangkali—karena telah pergi dengan agak tersinggung—ia ingin menunjukkan kejengkelannya, dengan cara menunda kedatangan. Ia tak akan terlambat minggu depan. Tapi, minggu depan telah tiba, dan ia tetap tak datang.

Di sini, Sang Pendeta mulai memikirkan perempuan itu dalam rupa yang baru yang tak pernah terlihat sebelumnya. Hari-hari terus berlalu dan Pendeta Pemikiran mulai berperilaku aneh. Mungkin pembantunya menyadari keadaannya itu. Tak satu pun ketukan pintu yang tak ditanyakan pengetuknya oleh sang majikan. Padahal sebelumnya, tak sedikit pun ia akan mengangkat kepala dari buku-buku dan kertasnya, meski pintu akan roboh dengan ketukan!

Bahkan dari waktu ke waktu sang majikan ini berteriak. “Buka pintunya! Aku mendengar seperti ada yang mengetuk pintu!” Sang pembantu pun membuka pintu, namun ia tak menjumpai siapa-siapa.

Adapun dering telepon, Sang Pendeta akan buru-buru menerimanya sendiri, mengangkat gagang telepon, dan tak lama kemudian membantingnya dengan putus asa. Ia tak lagi membaca surat-surat paginya dengan seantusias dulu. Ia hanya menyortir surat-surat itu dengan cepat, mencari tulisan tertentu dengan tatapan penuh harap. Ia membuka surat-surat itu dengan tergesa-gesa, berharap bisa menemukan surat yang dimaksudnya!

Sang Pendeta terus berperilaku seperti itu selama beberapa hari berikutnya. Ia tak melakukan apa-apa, selain menunggunya. Menunggu Sang Isteri. Mengapa ia tak kembali? Bagaimana ia melewatkan minggu-minggu ini tanpa datang? Apa yang menghalanginya datang?

Tak henti-hentinya Sang Pendeta menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu kepada dirinya sendiri. Pandangannya tak pernah meninggalkan pintu, rindu pada bayangannya. Telinganya terpasang baik-baik mendengarkan dering telepon, menghasratkan suaranya. Apakah Sang Pendeta lupa bahwa dirinya telah menginginkannya pergi, untuk tidak kembali? Apakah ia benar-benar telah meminta hal itu kepada Sang Isteri? Apakah ia bersungguh-sungguh dalam permintaannya itu? Alangkah anehnya! Apakah Pendeta Pemikiran telah gila sehingga menginginkan Sang Isteri pergi, tetapi masih mencari dan menanyakannya? Tetapi, memang ia melakukan hal itu. Sungguh malang!

Iya. Sekarang ia teringat segalanya. Ia telah membuat Sang Isteri memahami bahwa tak ada alasan lagi bagi kunjungan-kunjungannya. Dirinya meninggalkan Sang Isteri dan berpaling pada kesibukannya sendiri, sementara Sang Isteri menunggu ucapan lembut darinya sampai putus asa. Lalu ia pergi! Ungkapan terakhir yang didengar darinya adalah bisik lirih perpisahan, lalu disambung dengan satu kalimat, “Terima kasih!”

Sekarang, bagaimana bisa Sang Pendeta mengharapkan kedatangan Sang Isteri setelah semua itu?! Dan mustahil ia akan bisa melacaknya sekarang. Ia tak tahu namanya, dan sama sekali tak pernah berusaha menanyakan tempat tinggalnya! Ia juga tak tahu nama suaminya. Sang Suami pasti telah menyebutkan namanya saat datang berkunjung. Tetapi, seperti kebiasaannya, telinga Sang Pendeta tak pernah memperhatikan nama-nama yang diucapkan. Ingatannya juga tak mau menyimpan nama-nama itu, kecuali jika memang ada hubungan erat antara dirinya dengan pemilik nama. Dalam keadaan seperti ini, ia tak pernah mengira bahwa suatu hari akan sangat membutuhkan nama Sang Isteri atau Sang Suami.

Berarti Sang Isteri telah pergi tanpa ada harapan kembali. Berarti ini adalah perpisahan tanpa pertemuan lagi. Sang Pendeta telah menyia-nyiakannya begitu saja, seperti menyia-nyiakan bola tenis dengan pukulan yang ngawur! Bukankah pada suatu hari ia pernah mengatakan bahwa dalam pandangan takdir, tak lain Sang Isteri hanyalah sebuah bola tenis dan dirinya sebuah raket yang digunakan berdasarkan tujuannya? Lantas, mengapa takdir yang baku itu menginginkan raket memukul bola semacam ini, sehingga tak lagi bisa diketahui dimana letak dan posisi bolanya?! Benarkah takdir yang telah menginginkan itu, ataukah itu hanya merupakan kebodohannya belaka?

Sang Isteri adalah sesuatu yang indah yang biasa dilihatnya. Ia adalah parfum yang biasa dicium bau harumnya. Ia adalah permainan menarik yang biasa dimainkannya. Ia adalah jiwa lembut yang mengisi kehidupan rumahnya, dan cahaya keceriaan yang menghapuskan kegelapan hari-harinya!

Kunjungan-kunjungan Sang Isteri setiap minggu telah mapan dalam program kegiatannya. Saat-saat keberadaannya yang cuma sebentar itu telah meresap dalam lubuk perasaannya. Ia sudah terbiasa menunggunya, lalu bagaimana sekarang ia akan hidup tanpa penungguan ini? Pemikiran semacam ini saja telah mampu memotong keceriaan Sang Pendeta, seperti sebuah pisau. Lalu membuatnya menjadi murung. Tak ada lagi yang tersisa dari Sang Isteri, meski hanya manisnya penantian! Akankah Sang Pendeta menjalani bulan-bulan mendatang dengan keadaan tetap seperti ini, sementara dirinya tak mampu berbuat apa-apa, meski hanya menantikannya?!

Malam-malam yang menyeramkan melewati Pendeta Pemikiran. Sang Pendeta tak bisa tidur dengan tenang. Bayang-bayang Sang Gadis melintas dalam kepalanya setiap akan tidur. Ia muncul dengan pakaian seperti yang biasa dilihatnya, dengan parfum kesukaan yang membuat hatinya gembira. Terkadang Sang Pendeta melihatnya di dalam mimpi-mimpinya, seakan-akan Sang Isteri itu datang dan meminta maaf atas ketidakhadirannya selama ini, atas keterlambatannya selama beberapa minggu lalu, sambil melepas sarung tangannya perlahan-lahan dan menatapnya dengan keramahan yang tulus.

Lalu Sang Pendeta terbangun dari benturan mimpi tersebut. Ia membuka matanya dan menyadari bahwa itu hanya mimpi. Sang Pendeta lalu terbaring di atas tempat tidurnya tanpa mampu memejamkan mata kembali, sampai pagi! Inilah azab yang tak pernah dibayangkannya dan tak pernah diperhitungkannya. Bahkan buku bacaan yang biasa digunakannya untuk menghibur diri, gagal menyelamatkannya.

Pada suatu malam Sang Pendeta terbangun dengan kaget karena di dalam mimpinya ia melihat Sang Gadis itu mengetuk pintu. Ketika menyadari kesia-siaan harapannya, juga kesusahannya untuk kembali tidur, seperti biasa, Sang Pendeta menghabiskan malam itu dengan membaca buku. Ia mengambil sebuah buku filsafat karangan Abu Bakr ar-Razi. Ia mulai membaca pendapat sang pengarang tentang cinta di halaman buku tersebut:

Perpisahan dengan kekasih pasti mengakibatkan gejolak perasaan hingga ingin mati. Jika disetujui, diantara seluruh bencana dan malapetaka yang ada di dunia ini yang bisa menghancurkan kekuatan adalah perpisahan antara kekasih.

Bilamana seseorang terpaksa mengalami duka dan menelan kepahitan itu, lebih baik ia mendahulukan duka dan kepahitan itu serta berhenti memikirkannya daripada harus mengakhirkan duka dan kepahitan itu serta terus menunggunya. Karena sesuatu yang sudah pasti terjadi, ketika didahulukan maka bayangannya yang mengerikan akan bisa dihilangkan selama masa pengakhiran.

Begitu pula lebih baik ia menjauhkan jiwa dari sang kekasih sebelum cinta itu menguat, melekat dan menguasainya. Karena hal itu akan lebih mudah dan ringan.

Juga, karena saat kerinduan telah bersatu dengan kedekatan maka akan sulit sekali memisahkan diri dan keluar darinya. Penderitaan yang disebabkan oleh kedekatan tak lebih ringan dari penderitaan yang disebabkan oleh kerinduan, kejauhan. Bahkan jika ada yang mengatakan bahwa penderitaan yang disebabkan oleh kedekatan itu lebih berat dan lebih teruk, maka ia tak keliru.

Jika masa kerinduan masih ringan atau baru sebentar, dan masa pertemuan dengan sang kekasih masih lama, maka lebih baik ia tidak mencampurkannya dan malah menguatkan kerinduan itu dengan kedekatan! Dalam hal ini yang harus dilakukannya secara nalar adalah: segera menghalangi jiwa dan mengekangnya dari kerinduan, sebelum terjatuh ke dalamnya. Hendaknya seseorang segera menyapih jiwa begitu ia terjatuh kedalam kerinduan, sebelum kerinduan itu mengakar kuat.

Alasan ini, katanya, pernah digunakan Plato yang bijak untuk membantah muridnya yang tengah dilanda rasa cinta kepada seorang gadis, sampai ia meninggalkan majlis pengajaran Plato. Plato lalu meminta supaya mencari murid tersebut dan membawanya datang. Ketika sang murid muncul di hadapannya, Plato mengatakan, “Katakan kepadaku, apakah kau ragu bahwa kau pasti akan meninggalkan kekasihmu pada suatu hari nanti?!”

“Saya tidak meragukan hal itu!” jawabnya.

“Kalau begitu, rasakanlah kepahitan yang akan kau teguk pada hari perpisahan itu nanti di hari kita sekarang ini. Lalu, diantara kedua waktu itu, bebaskan dirimu dari ketakutan seorang yang menanti; ketakutan yang akan selalu ada dan pasti datang. Bebaskan dirimu dari sulitnya mengobati rindu saat rindu itu telah menjadi kuat dan bersatu dengan kedekatan!” kata Plato kepada sang murid.

Konon, sang murid membantah ucapan sang guru tersebut.

“Apa yang Anda katakan benar, Tuan yang bijak. Tetapi, saya mendapati penantian ini semanis madu. Seiring perjalanan hari, ia akan menjadi semakin ringan.”

“Bagaimana kau bisa mempercayai kemanisan hari-hari penantian (kejauhan) itu dan tak takut pada kedekatan dengannya? Bagaimana kau bisa tidak yakin dengan datangnya saat perpisahan sebelum datangnya kemanisan itu, sementara rasa rindumu telah menjadi semakin kuat! Sehingga kau malah akan semakin menderita dan semakin merasa pahit yang berlipat-lipat?” jawab Plato.

Saat itu juga sang murid, konon, langsung bersujud kepada Plato. Ia mengucapkan terima kasih kepadanya, mendoakannya, memujinya dan tak kembali lagi pada perilaku yang telah dilakukannya dulu. Ia juga tak tampak berduka maupun merindu.”

Pendeta Pemikiran membaca tulisan itu, lalu melemparkan bukunya sambil berkata di dalam hati.
“Aahh. Para filosof itu! Mereka mengira bisa memecahkan masalah perasaan-perasaan manusia dengan kata-kata yang bagus dan logika-logika yang benar!”

Sang Pendeta kemudian merenungkan apa yang baru saja dibacanya. Ia teringat keadaan dirinya bersama perempuan jelita itu. Ia telah menempuh jalan yang tepat, bagi dirinya dan bagi perempuan itu. Ia tak melalaikan tujuan kedatangan sang perempuan. Ia tak menyimpang dari maksud mulia yang membuat sang perempuan itu datang. Ia tak mengatakan ucapan yang tak pantas diucapkan dan tak menampakkan perasaan yang tak selayaknya ditampakkan!

Ia telah berlaku kepada perempuan itu—sejak awal hingga akhir—persis seperti yang dikatakan filosof Muslim, Abu Bakr ar-Razi dan filosof Yunani, Plato. Kalau saja kedua filosof itu berada di posisinya! Posisi dimana Sang Pendeta telah merasa takut akan kedekatan yang bisa menguasai dirinya. Posisi dimana ia telah takut kalau keseriusan akan berubah menjadi gurauan; dan karenanya, ia segera memutuskan hubungan! Dan, inilah akibatnya! Jelas dan nyata!

Apakah Pendeta Pemikiran tak menyadari hakikat-hakikat perasaannya kepada Sang Gadis sejak pertama kali?! Ataukah ia telah menyadarinya sebagian, tetapi mengira bahwa hal itu tak terlalu berbahaya dibanding jika menyibukkan seluruh hatinya kepadanya, atau dibanding akibat jika ia menolaknya sejak pertama kali?

Jika perasaan Sang Pendeta itu tampak tidak jelas, kecuali setelah ia melaksanakan kewajibannya, setelah ia memutuskan hubungan dan menutup pintunya, lalu apakah salah dan dosanya? Apa yang masih belum dilakukannya saat itu, menurut pendapat ar-Razi dan Plato?!

Tentu saja Pendeta Pemikiran tak akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, dan memang ia tak memerlukan jawaban. Ia hanya memerlukan sesuatu yang bisa meringankan deritanya. Tak diragukan, ia telah melakukan semua yang disarankan para filosof itu. Tetapi para filosof, mereka tidur di dalam perut-perut bukunya, mereka berselimut di bawah lembar-lembar logikanya yang hebat, dan membiarkan Sang Pendeta terjaga dengan mata tak mau dipicingkan serta kegelisahan yang membakar hatinya!

* * *

6 – PEMUTUSAN

-6-
Pemutusan

Sang Suami telah pergi dengan tanpa keberanian Pendeta Pemikiran memberikan keterangan tentang Sang Isteri. Hari-hari berlalu dan saat pertemuan tiba. Sang Isteri pun datang. Pendeta Pemikiran menyambutnya dengan muka masam. Sang Isteri telah mengetahui alasannya.

“Iya! Saya telah berdusta banyak kepada Anda!” katanya sambil tersenyum.

“Saat ini tak penting dusta Anda kepada saya,” kata Sang Pendeta dengan nada yang kering, “Tetapi yang penting adalah situasi yang telah Anda letakkan pada diri saya.”

“Situasi apa?” tanya Sang Isteri sambil mengerutkan kening.

“Kenapa Anda juga berdusta kepada suami Anda?” tanya Sang Pendeta.

“Kenapa Anda menyembunyikan kunjungan-kunjungan ini darinya?”

Sang Isteri tertawa seperti anak manja yang berbuat semaunya, tanpa merasa bersalah.

“Saya tak tahu, saya lupa mengatakannya kepada Anda bahwa saya, selain suka tenis, sinema dan pacuan, saya terkadang juga suka berbohong!”

Pendeta Pemikiran terbelalak kaget. “Subhanallah! Apakah itu juga telah menjadi bagian dari sport?!”

“Iya. Sebagaimana Anda lihat, tugas Anda cukup berat untuk bisa menunjukkan saya!” jawabnya sambil tersenyum.

Pendeta Pemikiran diam, tanpa senyum. Mukanya tak menunjukkan kalau dirinya sedang senang. Bayang-bayang kegelisahan yang suram belum meninggalkan wajahnya. Ia tak bisa membenarkan situasi tak menyenangkan ini di depan nuraninya. Sambil menunduk, seperti berbicara kepada diri sendiri ia berkata.

“Dan selanjutnya bagaimana?!”

“Aahh, betapa dahsyatnya malapetaka ini! Tak diragukan, kebohongan-kebohongan itu pasti merupakan kejahatan yang tak termaafkan!” kata Sang Isteri berolok-olok.

“Anda berolok-olok pula?!”

“Saya minta maaf. Saya lihat Anda mencemaskan sesuatu yang tak perlu dicemaskan! Saya kira Anda seperti saya, tak pernah menganggap apa pun di dalam hidup ini yang perlu membuat frustrasi!”

“Selamat untuk Anda yang bisa melihat kehidupan ini dari raket tenis!”

“Saya melihat kebohongan-kebohongan itu sebagai sesuatu yang lucu, sebuah permainan yang menyenangkan!” katanya sambil tersenyum.

“Sayangnya, saya tak memiliki hak untuk melihatnya seperti itu. Bahkan saya melihatnya sebagai sebuah kenyataan yang terjadi. Sebuah tugas pasti dan beban berat yang harus saya pikul di atas dua pundak ini, hingga terasa sulit bernafas!” kata Sang Pendeta seperti menyeru diri sendiri.

“Iya, hidup Anda adalah batu yang diletakkan di atas punggung Anda. Anda disuruh membawanya sampai akhir perjalanan! Akan tetapi, kenapa Anda melihatnya seperti itu?!” kata Sang Isteri sambil memandangi buku-buku Sang Pendeta, kertas-kertasnya, dan meja kantornya yang tenggelam dalam kegelapan ruangan.

Sambil berpikir, Pendeta Pemikiran menjawabnya. “Saya tidak tahu. Anda sendiri yang telah mengatakannya. Saya disuruh berjalan seperti ini. Apakah saya punya kebebasan untuk melihat?! Anda telah diciptakan untuk menjalani hidup Anda, dan saya telah diciptakan untuk menjalani kehidupan pemikiran. Saya tidak melihat matahari dan udara, tetapi saya melihat pemikiran yang menggerakkan keberadaan, sebagaimana tangan menggerakkan sarung tangan!”

“Demikianlah takdir menghendaki kita. Anda tak lain hanyalah sebuah bola tenis yang dilempar ke angkasa. Anda bebas sebebas bola itu. Sementara saya adalah raket di tangan takdir yang digunakan sebagaimana tujuan raket itu, tergenggam di telapak tangannya. Takdir tak akan pernah melepaskan diriku sampai permainan usai!”

“Itu benar, tetapi” kata Sang Isteri perlahan, seakan-akan sambil merenungkan kata-kata Sang Pendeta.

Pendeta Pemikiran kembali merenungkan dirinya. Ia teringat sesuatu yang sebelumnya sempat mengganggu hatinya. Ia pun lalu berkata.

“Tetapi Anda, beritahukanlah kepada saya kenapa Anda bersembunyi dari suami Anda? Dan sampai kapan Anda berniat melakukan hal ini padanya?”

Bibir Sang Isteri kembali tersenyum. “Sebaiknya saya menenangkan hati Anda yang tersiksa itu. Saya beritahukan kepada Anda, masalah kunjungan saya harus tetap menjadi rahasia di antara kita. Saya dan Anda saja!” katanya.

“Apakah Anda kira hatiku menjadi tenang dengan ucapan ini?!” tanya Sang Pendeta kepada Sang Isteri.

“Apakah Anda benar-benar melihat saya telah melakukan kesalahan?” tanya Sang Isteri sambil memandang Sang Pendeta, lama.

“Tak diragukan. Dan Anda ingin saya menemani Anda dalam kesalahan ini!” jawab Sang Pendeta segera.

“Apakah ketika kita menjaga rahasia ini, hal itu merupakan kesalahan?”

“Kita tak perlu menyembunyikan rahasia kepada suami Anda!”

Sang Isteri menunduk sebentar kemudian mengangkat kepalanya.

“Apakah di dalam relung diriku, saya tak memiliki hak untuk menjaga sesuatu yang tak seorang pun boleh mengetahuinya?” kata Sang Isteri seperti berkata kepada diri sendiri. “Saya merasakan sesuatu, yang saya tak tahu seberapa jauh Anda memahaminya! Hanya kaum perempuan yang bisa memahami. Seorang perempuan harus menyembunyikan sesuatu dari suaminya. Mungkin sesuatu itu sebuah gelang emas yang dibelinya secara sembunyi-sembunyi, mungkin sebuah kenangan masa lalu yang mengesankan, mungkin juga sebuah gagasan luhur atau pemikiran tolol yang diyakininya. Dan ia tak ingin ada orang lain ikut nimbrung di dalamnya! Perasaan saya saat ini adalah sejenis itu.”

“Kunjungan-kunjungan saya kepada Anda, perbincangan saya dengan Anda, pendapat-pendapat yang saya utarakan dan tukar pikiran kita dalam masalah sastra, semua itu sebaiknya diletakkan di dalam sebuah peti perhiasan yang memiliki dua buah anak kunci, satu bersama saya dan satu lagi bersama Anda.”

* * *

Pendeta Pemikiran menunduk lama, tak bisa menjawab! Apa pun permasalahannya, perempuan ini telah meletakkan dirinya pada keadaan sulit. Mungkin dirinya mampu menanggung keadaan ini kalau belum pernah melihat suaminya. Tapi, setelah ia melihat dan mengenal Sang Suami dan ada kemungkinan bertemu lagi, kemudian terjalin hubungan persahabatan, lalu bagaimanakah dirinya akan bisa terus menyembunyikan permasalahan ini darinya?

Tapi di sisi lain, ia juga harus memahami jalan pikiran Sang Isteri, menghargai keinginannya dan membiarkannya berada dalam khayalannya yang indah itu. Keinginan untuk selalu dikelilingi banyak hal.

Berarti tak ada jalan lain, selain diam dan pura-pura tak mengetahui hubungan di antara keduanya! Selama sepasang suami-isteri ini akan mengunjunginya pada waktu-waktu yang berlainan, maka anggap sajalah keduanya merupakan sahabat-sahabat yang berbeda.

Tetapi Sang Isteri menoleh ke arahnya sambil mengatakan. “Ada satu hal yang mungkin Anda perlu berhati-hati”

“Apakah itu?” tanya Sang Pendeta kuatir.

“Suami saya tentu akan mengundang Anda untuk mengunjungi kami atau mengajak Anda menyaksikan permainan tenis, di mana ia akan mengenalkan Anda dengan saya” jawabnya dengan tenang. “Karena itu, Anda perlu berhati-hati jangan sampai kelihatan…”

“Nyonya!” teriak Sang Pendeta seketika. Ia tak mendengarkan perkataan Sang Isteri selanjutnya. Kesabarannya sudah habis. “Saya tak akan mengijinkan lelucon ini berkembang lebih jauh! Anda pasti sedang bercanda dan bersandiwara, sementara saya malah berbaik sangka terhadap perilaku Anda, dan mencarikan anggapan-anggapan mulia untuk membenarkannya!”

Wajah Sang Isteri menjadi merah. “Apa yang telah saya lakukan? Apa yang membuat Anda marah?” tanyanya seperti seorang bocah yang tak menyadari kesalahannya.

“Heran! Apakah Anda tak tahu apa yang membuat saya marah?” tanya Sang Pendeta sambil memandangnya tajam, penuh keheranan.

“Apakah Anda menuduh saya sedang bercanda dan bersandiwara?!” tanya Sang Isteri agak lembut dan manja.

“Lalu dengan apa saya harus menyebut permintaan Anda untuk memerankan adegan romantis saat suami Anda mengenalkan saya dengan Anda itu?” tanya Sang Pendeta. Suaranya mulai lembut kembali. “Apakah menurut Anda, lelaki serius semacam saya ini pantas melakukan hal itu?!”

“Apa yang Anda saksikan di dalam sinema tak selayaknya mempengaruhi Anda dalam memahami kenyataan-kenyataan yang ada, atau merusak penilaian Anda pada permasalahan-permasalahan yang terjadi!”

“Anda, Nyonya, masih terpengaruh dengan dunia yang absurd. Guru-guru Anda yang bodoh itu, sinema, tenis dan pacuan kuda masih mengendalikan langkah-langkah hidup Anda!”

Sang Isteri memandang Sang Pendeta dengan tatapan yang seluruhnya menolak atau menyalahkan. Sang Pendeta merasa bahwa Sang Isteri tengah mempengaruhi dirinya.

“Benarkah begitu pendapat Anda tentang saya?” tanyanya.

“Dengan sangat menyesal, iya!” jawab Sang Pendeta tak terpengaruh.

“Saya kira, Anda akan menganggap kunjungan-kunjungan saya yang telah lalu bisa mengangkat saya beberapa derajat di hadapan Anda”

“Tidak, Nyonya!” kata Sang Pendeta tanpa menoleh, “Bahkan hal itu bisa menurunkan saya beberapa tingkat!”

Mulut Sang Isteri ternganga heran melihat keterusterangan dan kekasaran Sang Pendeta. Baru pertama kali ini ia mendengarnya.

“Apakah Anda tak percaya?!” tanya Sang Pendeta melanjutkan perkataannya.

“Apakah Anda tak bercaya bahwa Anda tengah menarik saya turun?!”

“Berarti saya memiliki pengaruh pada diri Anda!” kata Sang Isteri dengan suara yang menyembunyikan rasa senang dan lega.

“Jelek! Pengaruh jelek!” jawab Sang Pendeta segera. “Anda telah berusaha mengajari saya berdusta, mengajak saya turun ke lapangan tenis dan menyuruh saya menjadi aktor sinema! Semua itu dalam rentang waktu yang singkat! Apakah Anda melihat, betapa suksesnya Anda?!”

Sang Isteri tertawa panjang dan lembut. Gelaknya merdu bercampur dengan senyum indah berseri dari mulutnya yang menawan.

“Dan Anda? Tidakkah Anda mendapatkan kesuksesan bersama saya?” katanya kemudian.

“Sama sekali saya tak melihat secuil keberhasilan itu!”

Namun tiba-tiba Sang Pendeta teringat pada ucapan Sang Suami bahwa Sang Isteri telah membaca Thaïs dalam tiga malam. Ia telah menyempatkan diri membaca seluruh karyanya! Kemauannya membaca ini, apa pun motifnya, bisa disebut sebagai sebuah kemajuan. Sebuah langkah yang akan membawa jiwa sampai pada tingkat yang lebih tinggi. Sang Pendeta ingin meyakinkan hal itu. Ia pun lalu menanyainya.

Rona muka Sang Isteri sedikit berubah, namun ia segera bisa menguasai diri. “Siapa yang memberi tahu Anda bahwa saya membaca semua itu?!” katanya balik bertanya.

“Suami Anda!”

“Apakah Anda mempercayainya?” tanya Sang Isteri sambil menatap lekat kepada Sang Pendeta.

Pendeta Pemikiran tak tahu harus menjawab apa. Lama ia memikirkannya. Kemudian dengan suara serius dan tegas ia mengatakan kepada Sang Isteri yang jelita itu.

“Dengar, Nyonya! Sekarang masalahnya sudah jelas bagi saya. Dari yang saya tahu, Anda sudah mendapatkan tujuan Anda. Suami Anda, bagaimana pun juga, menganggap Anda telah berubah dan telah mau membaca. Adapun jika Anda menipu suami Anda dengan berpura-pura di hadapannya, dan membuat kepura-puraan itu menjadi anggapan yang diyakininya, maka itu adalah kesuksesan model Anda. Adapun jika Anda benar-benar telah berubah dan bisa menikmati sastra, maka itu adalah tujuan kita.”

“Karena itu, tak ada lagi keperluan mengunjungi saya. Jadi, ijinkan saya memberi ucapan selamat dan terima kasih atas perkenan Anda datang ke tempat ini, dan selamat berpisah!”

Sang Isteri melihat wajah Sang Pendeta sejenak. Ia melihat kesungguhan dan keseriusan pada raut muka dan pandangan Sang Pendeta. Ia juga merasakan gerakan Sang Pendeta mulai mengalihkan diri pada buku-bukunya, kertas dan kesibukan pemikirannya. Sang Isteri juga merasakan, seakan-akan langit dingin Sang Pemikir telah memanggilnya. Dunia keras Sang Pendeta telah mengajaknya kembali.

Lalu dengan kedua bibirnya, Sang Isteri itu mengucap lirih, seperti berbisik.

“Selamat tinggal!”

Hanya itu kalimat yang diucapkannya, tak lebih. Sang Isteri lalu mengambil sarung tangannya, dan memakainya dengan pelan.

“Dan terima kasih,” lanjutnya kemudian.

Sang Isteri pun melangkah menuju pintu, lalu menghilang seperti bayangan hantu. Ia telah pergi seperti mimpi yang telah berlalu.

* * *

5 – SANG SUAMI

-5-
Sang Suami

Baru dua hari berlalu dari kunjungan terakhir Sang Gadis. Namun ada yang mengetuk pintu Pendeta Pemikiran! Hari ini bukan harinya, lalu siapakah yang mengetuk? Sang Pendeta mengizinkannya masuk. Tiba-tiba, ia telah berhadapan dengan seorang lelaki berusia matang dan berpenampilan menarik. Bajunya rapi, mukanya cerah, pembawaannya lembut, dan segala sesuatu yang ada padanya mengundang seseorang untuk menghormatinya, menyukainya dan nyaman bersamanya. Pendeta Pemikiran menyambutnya dan mempersilakannya duduk. Lelaki itu pun duduk.

“Anda tidak mengenal saya, tetapi saya mengenal Anda sejak lama, dari buku-buku Anda.” kata lelaki itu. “Sampai sekarang saya tidak tahu apa yang membuat saya datang dan duduk di tempat Anda ini! Akan lebih jujur kalau saya katakan, semua ini bermula dari dorongan orang lain.”

Sang tuan rumah memandangnya dengan tanda tanya.

“Karena isteri saya!” lanjut Sang Tamu.

Sang Sastrawan segera bisa menebak, tetapi ia memilih menahan diri.

“Apakah saya juga mendapat kehormatan bahwa isteri Anda termasuk pembaca tulisan-tulisan saya?” tanyanya.

“Ia adalah pembaca tulisan Anda yang paling bersemangat!” jawab Sang Tamu.

“Bagaimanakah itu?” tanya Sang Pemikir tampak keheranan.

“Hal ini ceritanya panjang, tetapi untuk saat ini cukup saya katakan: isteri saya yang dulunya tak menyukai buku, sejak beberapa minggu ini, mulai membaca dengan semangat yang mengherankan! Ia telah membaca buku Thaïs dalam tiga malam!”

Sang Sastrawan berusaha menguasai diri agar keterkejutan tak tampak pada wajahnya. Berarti Sang Gadis telah berbohong kepadanya ketika mengembalikan buku dan mengatakan: dirinya hanya membaca beberapa lembar! Sebagaimana ia juga telah berdusta ketika mengaku dirinya masih bertunangan. Mengapa ia melakukan hal itu? Sang Pendeta tak melanjutkan lamunannya karena Sang Tamu kembali berkata.

“Sekarang ia sedang membaca seluruh buku Anda, dan hampir selesai. Ia mendiskusikan isi buku-buku itu dengan saya, bahkan terkadang saya kesulitan melayaninya. Ia juga menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang diri Anda yang tak bisa saya jawab. Yang lebih teruk lagi, ketika saya memberitahukan bahwa saya sama sekali belum pernah melihat Anda. Ia menertawakan saya, lalu marah dan tak mau tersenyum sampai saya berjanji akan melihat dan mengunjungi Anda serta menjalin hubungan di antara kita!”

“Saya gembira mengenal Anda,” kata Pendeta Pemikiran kepada Sang Suami,

“Saya ingin menanyakan sebuah pertanyaan kepada Anda.”

“Apakah nyonya, isteri Anda pernah melihat saya?”

“Saya kira belum pernah!” jawab Sang Suami segera.

Pendeta Pemikiran semakin heran! Berarti gadis itu tidak memberitahu suaminya tentang kunjungan-kunjungannya kemari. Perilakunya sungguh aneh! Sang pendeta menyembunyikan semua hal ini di dalam dirinya. Ia lalu menoleh kepada Sang Tamu.

“Lantas, apa rahasia yang membuat isteri Anda akhirnya mau membaca setelah sekian lama menolaknya?” tanyanya.

“Saya tidak tahu, dan inilah yang membingungkan saya!” jawab Sang Suami.

“Iya, ini juga yang membuat saya bingung!” kata Sang Sastrawan sambil menunduk, berpikir seakan-akan tengah berbicara kepada diri sendiri.

“Anda juga?” tanya lelaki itu dengan tatapan menyelidik ke arah Sang Sastrawan.

“Iya, seseorang tak bisa langsung menyukai buku dalam sehari semalam!”

“Isteri saya memiliki kecerdasan dan tekad yang luar biasa!”

“Hal itu tidak cukup untuk menjelaskan masalah ini.”

Ketika itu terbersit sebuah pertanyaan dalam benak Sang Sastrawan. Ia pun segera menanyakannya kepada Sang Suami.

“Pernahkah Anda melihatnya membaca buku-buku lain, selain Thaïs dan buku-buku saya?”

“Tidak. Ia tidak membaca, selain buku-buku tersebut. Ia juga tak berbicara kepada saya, selain mengenai buku-buku tersebut!” jawab Sang Suami segera.

Di sini Sang Pendeta mengetahui—atau merasa dirinya tahu—alasan sebenarnya. Gadis itu, atau nyonya itu, ingin menutupi sesuatu dan pada saat yang sama ingin menyingkap sesuatu. Aahh, perempuan! Kita perlu membangkitkan rasa ingin tahunya dan membangunkan rasa ingin menyingkapnya, agar bisa membuatnya melakukan keajaiban!

Sekarang Sang Pendeta merasa telah tahu segala sesuatunya. Ia telah berhasil—maaf, dengan tanpa sengaja—meletakkan langkah pertamanya dengan gemilang dan dengan kecepatan yang tak pernah dibayangkan. Ia telah mendapatkan hasil yang menggembirakan.

Seharusnya sejak awal ia mengetahui bahwa cara paling tepat untuk membuat orang senang membaca adalah membangkitkan rasa ingin tahunya. Jika kita mau seorang anak rajin membaca surat, kita bisa memberitahu kepadanya bahwa di dalam surat terdapat pembicaraan mengenai berbagai macam hadiah dan permainan yang akan diberikan kepadanya; terdapat banyak cerita yang akan membuatnya gembira. Adapun membaca yang semata-mata untuk mendapatkan kepuasan pemikiran yang tinggi dan untuk menikmati keindahan maknawi, hal itu sangat sulit dilakukan. Hal itu memerlukan banyak waktu dan latihan sehingga bisa cakap dan mahir.

Namun ada satu hal yang masih terselubungi kegelapan: apakah keingintahuan yang telah mendorong Sang Gadis sehingga membaca Thaïs seluruhnya dalam tiga malam? Juga, keingintahuan macam apa yang telah mendorongnya membaca buku-buku tulisannya dengan penuh semangat dan antusias itu? Setelah membaca semuanya, apakah ia ingin menyibak hakikat kepribadian penulisnya melalui buku-buku karyanya?! Jika ini tujuannya, lalu apa motif yang melatarbelakanginya? Apakah ia tengah mengamati sesuatu? Tidak, tidak! Ia terlalu jauh mengasumsikan keinginan perempuan ini. Ia terlalu tinggi menilai kecerdasan yang tak mungkin didapatkan oleh otak perempuan!

* * *

“Sudah sepantasnya dalam kedatangan saya saat ini, saya menyampaikan: bahwa maksud kunjungan saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan mengungkapkan rasa kekaguman saya.” kata Sang Suami menghentikan lamunan Pendeta Pemikiran. “Karena kalau bukan berkat buku-buku Anda.”

“Buku-buku saya tak bisa membuat apa-apa!” potong Pendeta Pemikiran segera sambil mengangkat kepalanya yang tertunduk. “Tak diragukan, isteri Anda memiliki kepribadian yang luhur, perasaan yang lembut dan jiwa yang mulia!”

“Iya, tetapi kepribadian yang luhur dan mulia itu tidak saya ketahui. Hal itu tidak tampak oleh mata dan perasaan saya, kecuali akhir-akhir ini. Kecuali setelah ia membaca buku-buku Anda.” kata Sang Suami dengan nada suara yang hangat. “Dia itu, Pak, telah berubah menjadi makhluk lain hanya dalam beberapa minggu. Betapa sering saya mengharap bisa melihat isteri saya dalam bentuk yang lain, yang lebih tinggi dan lebih luhur ketimbang hanya melihat bentuknya yang remeh selama ini. Bentuk seorang gadis gegabah yang hanya mengenal jahitan, sinema, pacuan kuda, tenis, mobil, penata rambut dan toilet!”

“Itulah isteriku. Gadis bodoh yang mendapatkan pendidikan keliru. Ucapannya tak pernah lebih dari beberapa kalimat Perancis yang akan dikatakannya dengan buruk ketika keadaan memaksa! Itulah gadis malang yang silau kepada dirinya sendiri. Ia mengira dirinya orang yang berperadaban karena mengerti bagaimana memegang gincu dengan jari-jarinya. Itulah gadis yang tahu bahwa dirinya memiliki mulut yang harus dipenuhi, tetapi tidak tahu bahwa dirinya memiliki kepala yang juga harus dipenuhi kalau ingin dihormati.”

“Saya nyaris putus asa, Pak, dengan perempuan-peremuan di negeri kita ini! Betapa sering saya mengatakan kepada isteri saya: mungkin dirinya bisa mendapatkan diriku dengan kelembutannya, tetapi ia tak akan pernah mendapatkan respek yang seharusnya, kecuali jika otaknya bisa mengetahui bagaimana berbicara dengan otak saya. Dan ia tak akan bisa mencapai hal itu, kecuali mau membaca apa yang saya baca dan mengecap dunia pemikiran seperti yang telah saya cicipi. Sehingga dengan hal itu ia akan bisa menutupi lobang panjang dalam kehidupan kami. Dengan hal itu, ia baru akan bisa menutupi lobang tersebut dengan perkataannya yang manis penuh aneka hidangan pemikiran yang tercerna!”

Sang Suami terus berkata dengan ucapan seperti ungkapan-ungkapan di atas. Sementara Sang Pemikir tampak seperti mendengarkannya, padahal sejatinya ia tengah memikirkan masalah lain yang baru muncul sesaat yang lalu di dalam benaknya: lelaki ini tidak mengetahui bahwa sebelum hari ini, isterinya telah berkali-kali mengunjungi tempat ini. Sang Isteri itu tidak memberitahunya, dan itu urusannya. Tetapi dirinya! Dirinya seorang pendeta pemikiran! Bolehkah dirinya tetap diam dan tidak memberitahukan kepada Sang Suami apa yang telah terjadi? Pantaskah bagi orang seperti dirinya menyembunyikan sesuatu? Tapi, di sisi lain, Sang Pendeta merasa kuatir kalau dirinya memberi tahu Sang Suami, berarti dirinya melakukan sebuah kebodohan. Berarti dirinya menghadapkan Sang Isteri pada kemarahan Sang Suami. Berarti dirinya menempatkan Sang Isteri pada posisi sulit karena telah menyembunyikan hal ini! Apa yang akan dilakukannya? Apakah perlu menunggu sampai membicarakan masalah ini bersama Sang Isteri?!

Akan tetapi, bagaimana kalau Sang Isteri hari ini lebih dahulu bercerita kepada Sang Suami tentang apa yang telah terjadi antara dirinya dengan diriku?! Sementara Sang Suami tahu, diriku pada hari ini tak membuka pembicaraan apa pun mengenai hal tersebut, padahal keadaan memungkinkan dan kesempatannya tepat!! Lalu akan jadi seperti apakah posisi diriku saat itu?!

“Aahh! Kenapa perempuan itu melakukan hal ini?! Sialan, perempuan! Ya, Tuhan! Beri saya jalan keluar!” teriak Sang Pendeta di dalam hatinya.

* * *

4 – APAKAH SUDAH ANDA BACA?

-4-
Apakah Sudah Anda Baca?

Seminggu kemudian Sang Gadis kembali lagi. Ia meletakkan buku itu di hadapan Sang Pendeta, lalu menarik nafas dalam-dalam seakan-akan habis menurunkan beban berat.

Sambil menatapnya was-was, Pendeta Pemikiran mendahuluinya bertanya.

“Apakah Anda sudah membacanya?”

“Beberapa halaman dan dada saya terasa sesak,” jawab Sang Gadis sambil menjauhkan pandangannya.

Pendeta Pemikiran ikut menarik nafas dalam-dalam. Tenang. Berarti Sang Gadis belum tahu apa-apa tentang isi buku tersebut. Tetapi perasaan nyaman itu tak berlangsung lama. Keadaannya segera berubah. Ia merasa menyesal, marah dan kecewa atas apa yang telah terjadi. Ia menatap Sang Gadis dan berbicara kepadanya dengan suara berat.

“Berarti Anda gagal dalam percobaan ini!”

“Bukan salah saya!” jawab Sang Gadis sambil menghias bibirnya dengan gincu merah.

Jawabannya tak memuaskan Sang Pendeta. Begitu pula, banyak perilaku Sang Gadis yang tak disukainya. Ia hendak mencacinya, memintanya berhenti berdandan dan berulah di depannya. Ia menginginkannya sedikit memberi rasa hormat pada pemikiran. Tetapi Pendeta Pemikiran segera teringat bahwa dirinya tak memiliki hak-hak tersebut. Lagi pula, sebenarnya, kesalahan itu terletak pada dirinya sendiri karena terlalu banyak mengharap dari gadis seperti ini. Ia juga telah salah karena memberikan buku kepada orang yang tak bisa menghargai nilai buku itu.

Sang Gadis telah selesai dengan kepura-puraannya. Ia lalu memandang ke arah Sang Pendeta dan membaca semua perasaan itu pada muka Pendeta Pemikiran. Ia lalu tersenyum.

“Apakah Anda marah?” katanya. “Bukankah Anda mengatakan, saya cukup membaca beberapa lembar saja? Ini, saya telah membacanya!”

Iya, benar. Pendeta Pemikiran telah mengatakan hal itu kepadanya. Lalu apa yang membuatnya marah? Tak diragukan, pasti ada hal lain di dalam dirinya yang tak diketahuinya, yang memancarkan perasaan-perasaan yang saling berlawanan ini.

Sang Pendeta memandang Sang Gadis. Ketenangannya telah kembali. “Iya!” katanya.

Pendeta Pemikiran kemudian berpikir sejenak. Sambil mempermainkan halaman-halaman buku ia menanyai Sang Gadis. “Lantas apa yang menghalangi Anda untuk melanjutkan membaca?”

“Bosan!” jawab Sang Gadis sambil menunduk.

“Ini bukan buku yang membosankan. Demi Allah, buku ini telah membangunkanku di tengah malam untuk membaca setiap barisnya. Rasa kantuk tak mampu memaksaku tidur ketika buku ini berasamaku!!”

“Pantas. Anda menyukai perilaku para pendeta dan para pertapa yang mengasingkan diri!” komentar Sang Gadis dengan senyum misterius.

“Sementara saya, apa yang menarik bagi saya untuk meneruskan membaca lembaran-lembaran buku yang seluruhnya menceritakan pertapa gurun yang hidup di tengah-tengah debu bersama kalajengking dan ular, yang menghabiskan masa muda dan seluruh umurnya bersama fantasi malaikat dan bayangan dedemit?!”

Sekonyong-konyong, Sang Gadis memandang ke sekeliling. Tatapan matanya meneliti setiap sudut ruangan itu. Pandangannya segera beralih melihat buku-buku kuno yang bertumpuk, seolah-olah pekuburan yang berisi bermacam-macam pikiran tanpa tengkorak. Ruh-ruh tanpa jasad. Lalu pandangannya tertuju pada jendela yang tertutup, yang menghalangi udara dan sinar surya, seperti mulut sumur atau lobang di biara. Ia juga memandangi lampu hijau yang dengan sayap-sayap cahayanya telah menerangi saat-saat gelap Sang Pendeta, seperti malaikat yang lembut dan buas pada saat yang bersamaan. Lampu itu telah meramaikan malam-malam indah Sang Pendeta, malam demi malam, seakan-akan hantu atau dedemit yang menakutkan!

Setelah menatap berkeliling ke seluruh penjuru ruangan, pandangan Sang Gadis kembali menatap wajah Sang Pendeta. Pendeta Pemikiran merasa sinar mata Sang Gadis menembus jiwanya. Sang pendeta pun menunduk.

Diam menyelimuti suasana ruangan.

“Saya mulai ragu.” kata Sang Gadis memecah kesunyian. Ia mengatakannya dengan pelan, seakan-akan sedang berbicara kepada dirinya sendiri.

Pendeta Pemikiran mengangkat kepalanya. Gemetar menjalari tubuhnya. Ia ingin minta penjelasan maksud ucapan Sang Gadis, tetapi gadis itu telah lebih dulu mengatakan.

“Apakah Anda ingat saat pertama kali saya datang, dan melihat cahaya matahari tak memasuki ruangan ini?” tanya Sang Gadis.

“Iya, ingat!” jawab Sang Pendeta seperti orang yang tak memahami maksudnya.

“Apakah Anda ingat, apa yang Anda katakan saat itu kepada saya?” lanjut Sang Gadis.

“Tidak. saya tak ingat!”

“Jawaban Anda ketika itu adalah: kami selalu merasa cukup dengan cahaya yang bersinar di dalam jiwa kami!” jelas Sang Gadis segera.

“Itu benar!” jawab Sang Pendeta seperti orang yang mengimani sebuah aksioma atau firman dari langit.

“Itu tidak benar!” sanggah Sang Gadis segera.
Pendeta Pemikiran terbelalak kaget. Sang gadis melihat bola matanya melebar.

“Apakah perkataan saya mengagetkan Anda?” tanya Sang Gadis dengan tersenyum. “Saya kira Anda juga akan kaget jika saya mengatakan hal yang lain!”

“Apa yang ingin Anda katakan?”

“Suatu hal yang tak pernah terbersit di dalam benak Anda!”

“Kalau begitu katakanlah segera!”

“Saya mengharap Anda berkenan datang, menyaksikan saya di lapangan tenis besok pagi!” kata Sang Gadis perlahan.

Pendeta Pemikiran memandangi Sang Gadis, lama. Ia ingin melihat keseriusan lelucon ini. Sementara Sang Gadis memandangnya dengan cemas, ingin melihat batas kearifan dan kemarahannya. Pendeta Pemikiran lalu memikirkan ucapan Sang Gadis: apa yang akan dikatakannya kepada gadis ini?! Tetapi, bagaimana pun juga, dirinya tak pantas menyikapinya dengan emosional. Hendaknya ia menyikapi masalah ini dengan lembut dan baik.

“Nona, apa yang Anda maksudkan?”

“Apakah perkataan saya diselimuti kegelapan sehingga memerlukan banyak cahaya?” jawab Sang Gadis balik bertanya. Pandangan matanya melebar.

“Iya, sangat gelap!”

“Anda mengatakan begitu! Padahal Anda biasa hidup dengan segala sesuatu yang diselubungi kegelapan!” timpal Sang Gadis dengan tatapan misterius.

Gadis cantik ini telah menikam Sang Pedeta. Namun dengan tangannya, Sang Gadis segera menunjuk ke sebuah tempat.

“Tentu saja saya tak memaksudkan hal lain, selain ini!”

Pendeta Pemikiran tak menemukan kata-kata untuk menjawab. Ia diam saja tanpa bergerak. Ia memandang ke arah Sang Gadis dan bertanya kepada diri sendiri, apakah menurutmu gadis ini sedang mengatakan ucapannya begitu saja, tanpa tendensi?! Ataukah, ia mengucapkan semua itu dengan menyembunyikan maksud lain, selain makna yang eksplisit?

Jika yang terakhir yang dilakukan Sang Gadis, betapa sangat mengherankan! Sang Pendeta harus terlebih dahulu menemukan maksud yang dibidik olehnya, lalu menemukan makna simbolisnya secara kebahasaan.

Namun Pendeta Pemikiran merasa lebih baik berlaku hati-hati. Belum ada indikasi yang bisa dijadikan titik kecurigaan. Pun, sudah selayaknya ia selalu berburuk sangka kepada dugaan-dugaannya sendiri.

Ini bukan pertama kalinya hal-hal bercampur baur di dalam kepalanya. Imajinasinya dari dulu telah terbiasa menciptakan bayang-bayang dari dunia nyata. Benaknya sering dipenuhi makhluk-makhluk yang sebagian hidup di alam nyata dan sebagian lagi hidup di lembaran buku-buku. Sementara dirinya berenang, menyelami dunia-dunia itu.

Dirinyalah yang mendirikan negeri-negeri di antara lipatan-lipatan kertas buku. Dirinyalah yang menjalankan negeri-negeri itu secara bergiliran. Ia yang menerbitkan dan menenggelamkan matahari-mataharinya. Jiwanya yang terkucil mengapung mengelilingi cakrawala berkabut, jauh dari orbit bumi itu sendiri.

Semua itu terkadang, malah melenyapkan kenyataan-kenyataan hidup yang ada. Semua itu terkadang, malah menempatkan dirinya seperti orang yang melihat dunia melalui bola kristal di tangan tukang sihir, sambil mengolok-olok dunia dari atas asap dupa dan kabut ilusi!

Tetapi, dalam kondisinya saat ini, yang menjadi tukang sihir itu adalah dirinya sendiri! Iya, dirinyalah yang telah menciptakan bola kristal itu dengan tangannya. Dirinyalah, yang dengan bahan-bahan yang terdapat di dalam kepalanya, telah menciptakan dunia lain yang menyerupai dunia pertama, dunia asli. Dirinyalah yang telah meletakkan dua bola dunia tersebut di dalam satu telapak tangan. Lalu, tiba-tiba ia memainkan atraksi menjinakkan ular pada dua bola dunia itu, hingga menjadi kabur, samar dan tak bisa lagi membedakan mana yang imajinasi dan mana yang nyata! Iya, itulah bencana besar yang menimpanya, dan itulah kutukan yang menimpa setiap penyihir!

* * *

Lama Sang Pendeta hanyut dalam perenungannya, nyaris lupa keberadaan Sang Gadis. Tiba-tiba suara lembut Sang Gadis mengingatkannya dan membawanya ke alam sadar.

“Saya belum mendapatkan jawaban Anda. Apakah Anda akan datang menyaksikan saya besok?”

“Untuk menyaksikan Anda, besok?!”

“Di lapangan tenis, seperti yang saya katakan!”

“Masya-Allah! Masya-Allah!”

“Itu bukan jawaban,” kata Sang Gadis sambil tersenyum.

“Saya ucapkan selamat untuk Anda dan untuk saya atas keberhasilan yang gemilang ini! Bukan saja saya tak berhasil memasukkan Anda ke dunia pemikiran, tetapi malah Anda akan mengeluarkan saya menuju dunia permainan!!” kata Sang Pendeta dengan nada jengkel.

Pendeta Pemikiran takut kalau Sang Gadis akan menertawakannya. Namun, iya. Sang Gadis tertawa. Ia tertawa riang dan gembira dengan mulutnya yang indah. Ia terus tertawa, bahkan hampir membuat Sang Pendeta ikut tertawa.

Tetapi Sang Pendeta takut kalau kewibawaan posisi dan kebiasaannya yang serius akan pudar. Ia juga takut kalau ketingggian hubungan antara keduanya, dan kemuliaan tujuan yang ingin dicapainya menjadi sirna. Maka Sang Pendeta pun segera menguasai diri dan berkata dengan sedikit keras.

“Katakan, bagaimana bisa muncul gagasan seperti ini pada benak Anda? Apa yang mendorong Anda meminta hal semacam ini pada hari ini? Bagaimana Anda menyiapkan diri berbicara hal semacam ini kepada diriku? Dan kenapa?!”

“Alasannya sederhana,” potong Sang Gadis.

Sang Gadis lalu diam, seperti sedang berpikir.

“Apakah alasan yang sederhana itu?” buru Sang Pendeta.

Sang gadis mengangkat kepalanya lalu berkata. “Lembaran-lembaran yang telah saya baca dari buku Thaïs memberi saya pemahaman bahwa Pendeta Paphnus-lah yang pergi menemui gadis cantik itu di arena permainannya, untuk menyelamatkannya. Anda juga perlu melakukan hal itu. Anda harus turun ke lapangan untuk membawa saya naik. Demikianlah yang selalu dilakukan para rasul dan para nabi! Mereka turun menemui orang-orang, agar setelah itu mereka bisa membawa orang-orang tersebut naik ke langit. Dan, sama sekali tak pernah terjadi selain itu. Jangan menunggu saya yang naik menuju Anda, tanpa Anda pernah turun kepada saya dan menggandeng tangan saya!”

Pendeta Pemikiran hampir tak bisa mempercayai telinganya yang mendengar ucapan seperti itu dari mulut Sang Gadis. Ia sangsi. Ia merasa itu adalah suara nuraninya yang telah mengatakan dan menuangkan ke dalam telinganya. Tetapi mulut Sang Gadis bergerak-gerak dan suaranya yang jernih, jelas keluar seakan-akan memancar dari mata air!

Sungguh ucapan Sang Gadis telah membuatnya kaget. Ia merasa heran bahwa kedua bibir yang tak tahu apa-apa, selain sentuhan gincu merah itu, bisa mengeluarkan kata-kata yang mendalam seperti ini. Iya, para rasul dan para nabi perlu meninggalkan langit mereka, dan turun ke tanah untuk membawa manusia naik!

Di sinilah kekuatan para nabi dan para rasul. Di sinilah pengalaman keras dan ujian berat harus mereka lewati. Seorang rasul harus turun, berada di antara manusia dan berjalan di lorong-lorong mereka, seperti sinar matahari yang turun menerpa cacing-cacing tanah dan serangga-serangga debu, lalu keluar dari sana tetap berupa sinar jernih tanpa setitik noda pun yang menempel! Di atas itu semua, matahari mampu menembus perut dan dada semua makhluk, memenuhi mereka dengan kekuatan dan kesehatan. Lalu, setelah menyirami seluruh eksistensi dengan cahaya dan kesuciannya, ia akan kembali naik dalam keadaan suci sebagaimana telah turun dalam keadaan suci!

Itulah nabi yang sesungguhnya, lembut seperti sinar, ringan seperti udara. Ia berasal dari materi langit. Ia selalu berhubungan dengan langit meski bagaimana pun ia meninggalkannya. Adapun yang turun, lalu mengendap dan tak mampu kembali ke atas adalah seorang rasul gadungan. Sungguh bumi sangat pandai menipu. Keindahannya sangat menyilaukan dan senyumnya sangat menggoda. Terkadang bumi itu melawan mereka yang turun, yang ingin menyelamatkan manusia dari rangkulannya. Bumi senang menjerumuskan mereka ke dalam jeratnya, lalu menggulung mereka di dalam lumpurnya. Kemudian ia akan menertawakan sayap-sayap putih mereka yang belepotan debu, menertawakan baju suci mereka yang telah terkotori lumpur dari tanah liat!

Pendeta Pemikiran kembali teringat kepada Pendeta Paphnus. Ia membayangkan bencana dan tragedinya, juga kejatuhannya di akhir babak, karena kerinduannya kepada Thaïs. Kerinduan yang terlarang dan berdosa itu. Sementara Thaïs malah naik mencapai puncak kesucian jiwa dan menempati derajat orang-orang suci.

Paphnus adalah seorang beriman yang menyimpang.

Hari itu Pendeta Pemikiran membiarkan Sang Gadis pergi tanpa mempedulikan permintaannya. Ia telah mengatakan bahwa dirinya tak akan pernah meninggalkan tempat dan buku-bukunya, demi apa pun. Meskipun hal itu memiliki alasan kuat. Karena, bagaimana pun juga, ia tak bisa keluar bersama seorang gadis, atau pergi untuk menyaksikan seorang gadis bermain tenis. Seluruh hubungannya dengan Sang Gadis tak lebih—dan tak sepantasnya melebihi—dari tujuan mulia yang telah membuat Sang Gadis itu datang kepadanya: yaitu berbicara mengenai masalah pemikiran!

* * *

3 – SI JELITA MEMBACA

-3-
Si Jelita Membaca

Seminggu kembali berlalu. Pagi itu Pendeta Pemikiran telah duduk menunggu. Hari itu adalah hari yang telah disepakati untuk kedatangannya. Sebuah bayangan muncul dalam benak Sang Pendeta. Ia lalu berdiri, melangkah menuju jendela mencari matahari. Sang surya sedang bersembunyi di balik awan. Hari suram dan hawa dingin. Jadi, tak ada hal yang akan menghalanginya datang. Dugaan Sang Pendeta tak meleset. Begitu jam tepat menunjukkan saat pertemuan, terdengar suara ketukan dari pintunya. Sang Gadis pun memasuki ruangan dengan mantel bulunya yang mahal masih menempel. Ia menyapa Pendeta Pemikiran dengan senyum ceria yang mengembang. Lalu melepas sarung tangannya.

“Ini, saya datang tepat pada waktunya!” katanya.

Pendeta Pemikiran menoleh ke arah jendela. “Tenis pagi ini tak menyenangkan?!” selorohnya mengejek tanpa kentara.

“Iya, dunia penuh debu dan matahari tak muncul!” jawab Sang Gadis serius.

“Kalau begitu, saatnya sastra tersenyum dan menyinari Anda!” sambung Sang Pendeta di dalam hati. Ia menyembunyikan jawabannya ini.

Sang Gadis lalu duduk di hadapan Sang Pendeta, seperti seorang bocah penurut yang menunggu buah apel yang akan diberikan kepadanya, sebentar lagi. Sesaat berlalu tanpa Sang Pendeta mengatakan apa pun. Sebenarnya, ia tak tahu harus mengatakan apa atau berbuat apa! Kedua matanya memandangi mantel bulu Sang Gadis, lalu mukanya dan rambutnya. Tampak kemahiran tangan-tangan tukang cukur dan tukang keriting pada rambut itu!

Saat itu, entah mengapa, Pendeta Pemikiran teringat kata-kata berkobar yang diucapkan Pendeta Paphnus kepada Thaïs. Hatinya menjadi berdegup lebih cepat, tetapi ia segera dapat menguasainya. Pendeta Pemikiran tertawa sendiri karena membanding-bandingkannya dengan Thaïs dan Pendeta Paphnus. Ketawanya ringan, dibuat-buat, yang tentu saja dipahami keliru oleh Sang Gadis.

“Apakah Anda melihat saya tak serius?!” tanya Sang Gadis segera. Perkataannya masih dengan mimik seorang bocah yang takut kehilangan hadiah yang telah dijanjikan.

Pendeta Pemikiran menunduk, berpikir. Lalu berkata seperti orang yang tengah menyeru dirinya sendiri.

“Anda benar-benar serius agar saya menjauhkan obat pahit ini dari Anda. Anda tak menyukai buku, dan saya tak tahu bagaimana menyuguhkan sastra tanpa buku. Saya tak tega memaksa Anda melakukan sesuatu yang tak Anda sukai!”

Pendeta Pemikiran lalu diam. Ia mengangan-angan apa yang baru saja diucapkannya. Ia merasa telah melakukan kesalahan. Tak ada sesuatu di muka bumi ini yang bisa diperoleh tanpa usaha keras, tanpa memaksakan diri, memeras keringat. Semakin besar keinginan, semakin berat pula usaha yang harus dilakukan! Dirinya di hadapan gadis ini seperti seorang ayah di hadapan anak perempuannya yang masih kecil. Karena itu, tak sepantasnya berkecil hati jika harus memperlakukannya dengan keras, kalau memang keadaan menuntut begitu. Gadis ini perlu menyukai buku jika menginginkan pikirannya menjadi tinggi. Tak ada cara yang lain, selain itu.

Lebih baik dirinya berkata tegas dan final. Gadis ini tinggal menerima dan menjinakkan diri agar suka membaca. Ia perlu mendengar nasehatnya, lalu menjalankan nasehat itu dengan sungguh-sungguh. Paling tidak, ia harus menunjukkan persiapan yang baik demi membantu terlaksananya langkah-langkah yang telah direncanakannya. Atau, gadis ini bisa pergi sekarang juga tanpa mengharapkan apa pun, karena dirinya tak bisa menciptakan kemustahilan. Raut muka Sang Pendeta berubah, rona mukanya berwarna lain, seluruhnya keras. Ia mulai membuka mulut untuk mengatakan itu semua, tetapi sesuatu menahan mulutnya. Gejolak yang tadi bergelora menjadi diam! Ada rasa ketakutan yang aneh menggelayut di dasar jiwanya!

Iya, Sang Pendeta takut kalau burung mungil yang cantik ini terbang, lari menjauh dan menolak belajar berkicau dari dirinya. Ia takut kalau burung mungil ini merasa sudah puas dengan bisa mengerik kering di atas cabang pohon. Pendeta Pemikiran berkali-kali melihat ke arah Sang Gadis dengan bimbang dan bingung.

“Nona!”

Dengan kecerdasannya, Sang Gadis bisa menyadari hal-hal yang tengah berkecamuk di dalam diri Sang Pendeta. Ia pun segera mengatakan.

“Jangan kuatir! Saya akan melakukan apa saja yang Anda perintahkan. Saya telah mengatakan kepada Anda bahwa keinginan saya kuat!”

“Apakah Anda mau membaca?!” tanya Sang Pendeta memberanikan diri.

“Saya akan membaca semua tulisan yang Anda suruh untuk membacanya!” jawab Sang Gadis segera.

“Dan, mau menulis?!” tanya Sang Pendeta bersemangat.

“Semua yang Anda perintahkan untuk menulisnya!” jawab Sang Gadis tanpa berhenti.

“Berarti masalahnya sudah terpecahkan!” teriak Sang Pendeta gembira.

“Iya, saya selalu punya waktu yang cukup untuk membaca dan menulis sebelum tidur, di atas tempat tidur, di bawah cahaya lampu berwarna merah mawar. Tetapi ada satu masalah,” kata Sang Gadis sambil berpikir.

“Apa itu?” tanya Sang Pendeta cemas.

“Anda tentu akan menguji yang saya baca. Biar saya katakan sejak sekarang, saya akan gagal dalam ujian itu!” jawab Sang Gadis seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri.

“Anda mengecilkan kemampuan Anda sendiri!” kata Sang Pendeta sambil tertawa.

“Tidak. Kelemahan saya yang paling besar adalah saya sama sekali tak bisa berdiri dalam posisi sebagai orang yang diuji,” timpal Sang Gadis dengan tersenyum. “Saat itu, semua yang telah saya baca akan terbang dari kepala seperti asap. Saya tak akan pernah bisa membuktikan bahwa saya benar-benar telah membacanya.”

Keraguan tampak menghinggapi rona muka Sang Pendeta. “Nona! Apakah Anda tengah membenci saya dan sejak sekarang telah berencana untuk lari?”

“Percayalah, pemikiran untuk lari itu jauh dari benak saya! Tetapi, saya hanya menjelaskan titik-titik kelemahan saya, agar Anda bisa berhati-hati!” jawab Sang Gadis dengan tawa indah di mulutnya.

Sang Pendeta termenung sejenak, memikirkan ucapan Sang Gadis. Kemudian ia berteriak seperti orang yang telah menemukan jalan keluar.

“Dengarlah, Nona! Saya menemukan cara yang tepat untuk Anda.”

“Apakah itu?”

“Bagaimana jika saya saja yang berdiri dalam posisi sebagai orang yang diuji?”

“Anda? Saya menguji Anda?” kata Sang Gadis sambil tertawa terbahak-bahak hingga air matanya hampir meleleh.

“Mengapa tidak?”

Sang Pendeta lalu mengambil sebuah buku yang tergeletak dekat tangannya. “Anda akan membaca buku ini,” kata Pendeta Pemikiran kepada Sang Gadis.

“Pada kunjungan rutin, minggu depan, Anda akan mengajukan pertanyaan apa saja kepada saya, dan saya tak akan mengajukan satu pertanyaan pun kepada Anda.”

Sang Gadis memandang Sang Pendeta dengan tatapan seperti orang yang mengatakan, “Dasar akal bulus!”

Namun Sang Gadis tak mampu berbuat apa-apa, selain menurut. Ia lalu mengambil buku itu dari tangan Sang Pendeta dan menimbang-nimbangnya sejenak dengan tangan kanannya.

“Saya harus membaca semua ini dalam seminggu?” tanyanya.

“Bacalah sebagiannya! Baca sepuluh atau lima lembar. Saya tak meminta Anda membaca seluruh buku itu.” jawab Sang Pendeta, “Saya sendiri jarang membaca buku hingga seluruhnya.”

“Aneh! Lantas bagaimana Anda bisa mengetahui isi bukunya?” tanya Sang Gadis dengan tatapan heran.

“Bagi saya, tidak selalu penting mengetahui apa yang tertulis di dalam sebuah buku!” jawab Sang Pendeta sambil tersenyum.

“Orang seperti saya adalah seperti juru masak yang memasuki dapur orang lain. Ia tak perlu menghabiskan seluruh makanan setiap saat, hanya untuk mengetahui kualitas makanan. Ia cukup mengambil satu-dua sendok dari setiap hidangan dan langsung akan tahu bagaimana membuat warna makanannya, apa saja yang digunakan dalam penyajian dan bahan apa yang diraciknya.”

“Tetapi saya.” kata Sang Gadis.

“Iya, Anda juga. Saya cukupkan dengan porsi itu,” kata Sang Pendeta memahami maksud ucapan Sang Gadis,

“Pertanyaan-pertanyaan yang akan Anda ajukan dari lembar-lembar buku itu kepada saya, akan menunjukkan seberapa jauh Anda menyelami dunia makna. Jumlah halaman yang Anda baca tak ada sangkut-pautnya dengan masalah ini, kecuali dari sisi enak atau tak enaknya tulisan yang Anda baca.”

Sang Gadis diam sejenak. Lalu menurunkan pandangannya dan membuka buku di tangannya. Ia membalik-balik halaman buku sambil merenung. Sambil membaca judulnya, ia kemudian bertanya dengan lugu, tanpa dibuat-buat.

“Thaïs. Siapakah Thaïs? Biar minggu depan saya bisa datang dengan kepala tegak!”

“Anda akan tahu ketika telah membacanya!” jawab Sang Pendeta dengan senyum penuh teka-teki.

* * *

Iya. Buku yang ada di tangan gadis itu adalah bukunya Anatole France. Apa sebenarnya yang membuat Pendeta Pemikiran melakukan hal ini? Apakah karena saat itu, buku tersebut yang dekat dengan jangkauan tangannya? Atau, karena ia memiliki maksud tertentu yang direncanakan? Pada kenyataannya adalah kedua-duanya!

Buku tersebut telah selesai dibacanya kemarin. Sang Pendeta tak membaca buku itu lagi, kecuali demi Sang Gadis ini, dan ia menginginkan Sang Gadis juga membacanya. Di dalam buku tersebut terdapat banyak sikap dan pendirian yang harus diketahui, dan seberapa jauh pemahaman Sang Gadis terhadap sikap-sikap dan pendirian itu? Lagi pula, siapa tahu. barangkali pemilihan buku tersebut memang sejak semula merupakan penyamaan kondisi oleh Sang Pendeta. Melalui buku tersebut, barangkali dengan akal atau perasaannya, Sang Gadis bisa menemukan kesucian dari kecantikan yang luhur itu. Kecantikan yang diperoleh Thaïs dengan cara membuang segala gemerlap dunia, kemewahan dan kesenangannya.

Itulah, di antaranya, yang diinginkan Pendeta Pemikiran dari Sang Gadis. Ia ingin memenuhi hati Sang Gadis dengan cahaya baru yang bersumber dari langit, bukan dari bumi. Ia ingin agar Sang Gadis mengimani kecantikan-kecantikan maknawi yang saat ini tak diketahui dan tak dijangkaunya dengan tulus. Semua itu, obatnya bisa ditemukan dengan membaca Thaïs.

Namun Pendeta Pemikiran juga merasa takut kalau kecerdasan Sang Gadis mampu menyingkap tabir kepribadian Pendeta Paphnus. Ia takut kalau mata Sang Gadis bisa menatap dengan jeli pada kedalaman perasaan Pendeta Paphnus, sehingga malah akan melihat sesuatu yang saat ini tak ingin ditampakkan oleh Pendeta Pemikiran. Kenapa? Sampai di sini, jiwa Sang Pendeta kembali bergetar. Tidak! Jauh sekali untuk membandingkannya. Dan, sudah seharusnya selalu jauh!

Jika gadis ini merasakan adanya kesamaan antara dirinya dengan Pendeta Paphnus, maka saat itu segala sesuatu telah berakhir di antara mereka berdua. Sejak saat itu ia tak akan ragu-ragu lagi memintanya pergi tanpa kembali!

* * *

Sang Gadis bangkit dengan membawa buku itu. Ia mengenakan kembali sarung tangannya, lalu mengulurkan tangan. Berpamitan.

“Saya berharap tak ada sesuatu yang akan menggangguku dari membaca buku ini. Sehingga minggu depan saya bisa kembali menemui Anda dengan kepala tegak!”

Sang Gadis tersenyum. Tetapi masih ada sesuatu di dalam benak Sang Pendeta yang mengganggu. Ia pun mengulurkan tangannya, bukan untuk menerima salaman Sang Gadis, melainkan untuk mengambil kembali bukunya.

“Saya takut telah salah memilih buku. Kembalikan buku ini dan ambillah buku yang lain.” kata Sang Pendeta.

Nada kekuatiran dan perasaan tak enak tampak kentara dalam getar suara Sang Pendeta.

Dengan tatapan matanya yang berkilau, Sang Gadis melihat semua itu pada rona wajah Sang Pendeta. Tetapi, dengan mantap ia menjawab.

“Tidak. saya ingin mengetahui siapa itu, Thaïs!”

* * *

2 – THAïS DI LAPANGAN TENIS

-2-
Thaïs di Lapangan Tenis

Tujuh malam telah berlalu. Pendeta Pemikiran terus memikirkan gadis itu. Ia telah berjanji kepadanya akan membantu dan agar mempercayakan permasalahan ini kepada dirinya. Sang Gadis telah pergi untuk kembali lagi. Keduanya telah bersepakat, Sang Gadis akan mengunjungi Sang Pendeta. Sekali setiap minggu. Tapi, sampai saat ini, Pendeta Pemikiran belum menemukan jalan bagaimana cara menunjukkan gadis itu pada “agama pemikiran.” Ia mulai ragu akan keberhasilan misinya.

Pendeta agama bisa membimbing seorang gadis cantik yang tersesat menuju pangkuan langit tanpa banyak kesulitan, karena indahnya kebaikan dan keluhuran tampak di pelupuk mata. Gagasan tentang baik-buruk itu sendiri, pada dasarnya, tak memerlukan dalil sebagai bukti. Bahkan prinsip-prinsip keimanan kepada Tuhan itu sendiri bisa dijangkau oleh akal dan meresap menembus kalbu tanpa memerlukan kesiapan yang panjang, atau pembuktian dan penjelasan yang rumit. Akan tetapi, masalah pemikiran dan sastra tak bisa langsung tumbuh dengan mudah di setiap saat. Pemikiran dan sastra merupakan kecenderungan yang mungkin muncul atau tak muncul pada diri seseorang.

Bagaimana seorang pendeta pemikiran akan bisa menyemaikan benih pada tanah yang tak dipersiapkan oleh Tuhannya bagi tumbuh dan berkembangnya kedua hal itu? Tetapi sebentar. Dalam keyakinannya, Pendeta Pemikiran mempercayai semua jiwa manusia telah dipersiapkan Tuhannya untuk menerima benih-benih yang baik dan menyambut cahaya keindahan. Permasalahannya tergantung pada penyemai. Keberhasilannya tergantung pada kemampuan orang yang menyibakkan rahasia kebaikan yang tinggi itu. Tak seharusnya, dirinya kembali merasa ragu akan risalah yang diemban pendeta pemikiran. Setelah hari ini, tak selayaknya ia menghabiskan waktu memikirkan masalah tersebut. Tapi yang harus dilakukannya adalah fokus memikirkan cara yang akan ditempuhnya guna membantu gadis tersebut.

Malam itu, lama sekali Pendeta Pemikiran mencari cara, namun sia-sia. Dadanya menjadi sesak. Lalu terbersit di dalam benaknya untuk mengikuti cara yang pernah ditempuh Pendeta Thaïs. Pendeta Pemikiran mengulurkan tangannya, mengambil buku karya Anatole France. Telah sekitar dua puluh tahun ia belum pernah membukanya lagi. Ia telah lupa apa yang ada di dalamnya.

Selama dua malam Pendeta Pemikiran tenggelam di antara lembaran-lembaran buku itu. Heran! Seakan-akan ia baru pertama kali membacanya. Sang Pendeta belum selesai membacanya, tetapi telah membaca lebih dari separohnya. Banyak hal yang telah ditemukan pandangannya. Ia lalu berseru kepada dirinya sendiri:

“Betapa menderitanya manusia! Mereka ditakdirkan buta, tetapi mereka mengira memiliki mata yang awas. Kita tak bisa melihat hakikat sesuatu, kecuali dengan mata batin kita. Kita tak bisa menemukan hakikat permasalahan, kecuali dengan menghubungkan dan membenturkannya pada esensi-esensi perasaan kita. Meskipun aku telah mencapai ketinggian akal dan puncak pemikiran, tetapi aku belum pernah menyelam sedalam penyelaman Pendeta Paphnus, kecuali hari ini. Iya, hari ini. Karena aku bisa merasakan apa yang dirasakannya. Aku merasa keadaan telah meletakkanku pada situasi yang telah aku bikin sendiri. Meskipun begitu, banyak perbedaan yang ada di antara Pendeta Paphnus dengan diriku.”

“Pendeta Paphnus-lah yang meninggalkan sinagognya di tengah gurun. Dengan telanjang kaki ia berjalan menyusuri malam-malam yang panjang, menginjak bermacam serangga dan memakan dedaunan demi menemui seorang gadis cantik bernama Thaïs di kota Alexandria. Ia ingin menunjukkan cahaya langit kepada gadis itu. Demi gadis itu, Pendeta Paphnus menempuh marabahaya dan melawan berbagai macam ketakutan. Apa yang membuatnya nekat melakukan itu?”

“Hal semacam itu tak pernah muncul dalam benak Pendeta Paphnus, kecuali secara tiba-tiba pada suatu sore. Sekonyong-konyong bayangan Thaïs yang cantik hinggap di dalam benaknya. Pendeta Paphnus lalu teringat saat pertama kali melihatnya di kota Alexandria, sebelum dirinya membaktikan hidup demi agama. Saat itu, Pendeta Paphnus teringat kerinduannya yang membara kepada gadis itu, seperti kerinduan para pengagumnya yang lain. Namun cintanya pada keimanan telah melipat cintanya pada perempuan. Paphnus lalu pergi menyendiri ke tengah gurun hingga muncul bisikan aneh pada hari itu. Bisikan untuk melakukan mukjizat, mengajak gadis cantik itu menuju agama.”

Pendeta Pemikiran mulai melahap lembar-lembar buku itu lagi. Ia ingin segera sampai di halaman yang mengisahkan saat-saat Paphnus berdiri di hadapan Thaïs. Ia ingin mengetahui sarana-sarana yang digunakan Paphnus. Ia ingin memahami ucapan-ucapan sang pendeta yang telah mampu menggetarkan jiwa yang menyimpang tersebut. Ucapan yang telah menyilaukan mata sayu dan mengantuk lalu membukakan hati yang pekat penuh noda kemaksiatan dan pembangkangan untuk kemudian menerima keindahan agung. Sarana dan ucapan yang sebelumnya tak pernah dijelajah oleh Pendeta Pemikiran!

Ucapan-ucapan yang mengalir dari mulut Pendeta Paphnus saat berhadapan dengan Thaïs, gadis cantik itu adalah berikut ini:

“Thaïs, aku mencintaimu. Aku mencintaimu lebih dari cintaku pada hidupku. Lebih dari cintaku kepada diriku sendiri! Demi dirimu aku meninggalkan saharaku! Demi dirimu, kedua bibirku ini yang seharusnya diam mengatakan ucapan yang tak sepantasnya didengar. Demi dirimu jiwaku bergetar, hatiku terbuka dan berbagai pikiran memancar darinya seolah-olah mata air yang selalu dikunjungi burung dan merpati. Demi dirimu aku berjalan siang dan malam mengarungi belantara debu yang ditinggali dedemit! Demi dirimu aku berjalan di atas kedua telapak kakiku tanpa alas, menginjak kalajengking dan ular! Iya!”

“Aku mencintaimu, bukan seperti para lelaki yang datang kepadamu. Mereka datang kepadamu dengan membawa kobaran nafsu, menuntut jasad seakan-akan serigala. Aku mencintaimu karena Allah, untuk selama-lamanya! Yang kubawa kepadamu bukanlah yang dibawa para serigala buas, atau banteng yang mengamuk. Sungguh, dirimu telah dicintai oleh orang-orang seperti itu, tetapi itu adalah cintanya binatang buas kepada rusa! Cinta mereka yang buas akan mencabik-cabik dirimu hingga ke tulang-belulang. Adapun aku, wahai Perempuan! Aku mencintaimu dengan cintanya jiwa, cinta yang hakiki! Cinta di dalam dadaku adalah denyut kebenaran. Ia adalah kebaikan ilahi! Aku menjanjikan sesuatu yang lebih nikmat dari pada orgasme yang hanya sekilas! Aku menjanjikanmu kebahagiaan dan kegembiraan langit! Kenikmatan yang datang kepadamu tak akan pernah berakhir, selamanya! Ia adalah keajaiban dari segala keajaiban! Ia adalah mukjizat di atas mukjizat! Andai orang yang berbahagia di dunia ini diberi kesempatan melihat bayangannya saja, pasti mereka akan langsung tersungkur, tewas karena rasa kekagumannya!”

“Wahai, Langit! Saksikanlah! Aku tak akan meninggalkan perempuan ini sampai kuletakkan jiwa seperti jiwaku ke dalam jasadnya. Berilah saya ilham, berilah saya kata-kata yang membara yang bisa mencairkannya seperti cahaya lilin yang akan padam dengan hembusan nafasku!”

“Wahai, Perempuan! Tidakkah jari-jariku ini mampu menciptamu kembali? Mencetakmu dengan cetakan kecantikan yang baru, agar setelah itu kau bisa memekik dan berlinang air mata karena saking gembiranya. Agar kau memekik: ‘Hanya hari ini, aku benar-benar dilahirkan. Hanya hari ini aku melihat cahaya!”

Pendeta Pemikiran tak meneruskan bacaannya. Ia telah mengetahui hasilnya! Lelaki yang bisa melontarkan kata-kata seperti ini di telinga perempuan pastilah mendapatkan hasil yang diinginkannya! Perempuan, bunga tanah dan bunga langit sekaligus ini, pasti akan segera membukakan kelopaknya begitu kata “cinta” membasahinya. Meski apapun selubung yang dikenakan oleh cinta dan apapun maksud serta tujuan cinta itu! Iman seorang perempuan adalah cinta. Di sinilah jalan itu menjadi mudah dan lancar, sehingga akan bisa membawa perempuan menuju keimanan, seluruh keimanan. Apa pun bentuknya.

Saat itu hati Pendeta Pemikiran bergetar. Keadaan dirinya bersama Sang Gadis berbeda. Sudah seharusnya kalau ia mengambil sikap berbeda dengan sikap Pendeta Paphnus bersama gadis cantiknya. Bukan karena hatinya tak bisa diisi dengan cinta kepada Sang Gadis, tetapi karena hal itu tak pantas dilakukannya. Selain itu, karena cinta pulalah Sang Gadis itu tertuntun datang ke tempat pengasingannya. Karena cintanya, ia menyeberangi gurun pemikiran dengan kedua telapak kakinya yang mungil. Telapak kaki yang mengenakan sepatu ber-heel tinggi yang tak pernah menapaki selain lantai-lantai datar dan nyaman, marmer mengkilap dan bebungaan yang jatuh di atas rerumputan taman. Iya, cintanya kepada tunangan yang berpendidikan itulah yang telah membawanya datang, meninggalkan dunianya sendiri menuju dunia Sang Pemikir ini.

Pagi harinya, pada jam yang telah disepakati, Pendeta Pemikiran menunggu kedatangan Sang Gadis, namun ia tak datang. Sambil menarik nafas panjang Pendeta Pemikiran berkata kepada diri sendiri,

“Dunianya yang gemerlap telah memanggilnya kembali. Dunianya yang berkilau telah menariknya kembali. Sementara aku cukup dijadikan perangkap, boneka dari tanah liat dan debu!”

Meskipun begitu, Pendeta Pemikiran tak bisa menyembunyikan gejolak perasaan yang terjadi di dalam dirinya. Ia tak tahu, entah apa sebab dari gejolak itu. Ia tak bisa memahami alasannya, tetapi hal itu adalah sejenis perasaan menyesal yang mendalam: atas apa? Dan kenapa? Pendeta Pemikiran tak mampu memberikan jawaban. Masalah ini berada di luar jangkauan kesadarannya!

Tiba-tiba pintunya diketuk. Lalu muncul seorang lelaki Nubia berbaju bersih yang memperkenalkan diri sebagai sopir Sang Gadis. Ia datang memberikan sepucuk surat, lalu pergi. Dalam suratnya, Sang Gadis meminta maaf atas keterlambatannya dari waktu yang telah disepakati. Ia juga mengatakan, dirinya saat ini sedang mengenakan baju tenis. Ia malu menampakkan diri dan muncul di hadapan seorang “pendeta pemikiran” dengan pakaian seperti ini. Ia masih belum menemukan ketegaran diri untuk mengorbankan pagi yang cerah dan indah seperti pagi ini untuk apapun, meski hal itu adalah sastra dan pemikiran. Ia saat ini tengah menghirup udara sebanyak-banyaknya, untuk memenuhi paru-parunya. Ia tengah memamerkan rambutnya yang tergerai dan kedua lengannya yang telanjang pada matahari musim dingin yang indah ini. Dirinya sedang memperhatikan sungai Nil yang berkilau pada alirannya yang hijau, seakan-akan sebuah pedang yang tersangkut di atas pepohonan taman, atau seperti sebuah pita perak di atas topi berwarna hijau.

Sampai di situ sang gadis meminta maaf karena menyebutkan kiasan-kiasan tersebut. Ia masih belum lupa bahwa dirinya seorang perempuan; di mana saja, pandangan matanya selalu tergoda pada bermacam model topi baru. Ia mengakhiri suratnya dengan mengulang permintaan maaf serta mengharap agar Pendeta Pemikiran menjauhkan prasangka buruk yang mungkin hinggap pada dirinya. Ia juga meminta agar Sang Pendeta mempercayai keteguhan hatinya pada kesepakatan. Mempercayai kuatnya keinginan yang dimilikinya, juga mempercayai keyakinannya pada kekuatan tekadnya. Lalu akhirnya, mempercayai keberhasilannya dalam melabuhkan jiwa dan pemikiran yang tinggi yang sebanding dengan tingkat tunangannya!

Tentu saja Sang Gadis menuliskan suratnya itu dengan tergesa-gesa; bentuk tulisannya jelek, ungkapan-ungkapan yang digunakan tak lepas dari kesalahan tulis, susunan kalimatnya primitif mendekati susunan orang yang berbicara ketimbang susunan orang yang menulis. Tetapi, angin segar macam apa yang muncul dari perkataannya ini? Hembusan nafas kehidupan yang harum macam apa yang tengah menari-nari dalam baris-baris tulisan ini?

Jika dugaan Pendeta Pemikiran benar, gadis ini merupakan mata air jernih yang hanya memerlukan penggalian lebih dalam agar airnya yang segar dan tawar bisa memancar, mengaliri jiwa dan menyegarkan kalbu. Inti jiwa sastra telah bersemayam dalam diri gadis ini, namun ia tak menyadarinya! Bagaimana pun juga, sebelum segala sesuatunya, sastra adalah jiwa. Adapun corak atau gaya penulisan hanyalah alat yang bisa dipelajari kemudian, dengan banyak latihan dan kesabaran. Yang diperlukan gadis ini, dalam dugaan Pendeta Pemikiran, bukanlah kemahiran corak atau gaya dalam pembuatan sastra, tetapi penjiwaan yang bisa menerangi bola kristal di dalam dirinya. Penjiwaan yang bisa membuat lidahnya fasih mengungkapkan perkataan-perkataan bermutu dan membuat dadanya mampu menetaskan harapan-harapan mulia serta pemikiran-pemikiran yang luhur!

Aahh! Kini jalan Pendeta Pemikiran telah terang-benderang. Garis-garis dan sudut-sudut yang mengarahkan tugasnya telah jelas! Dirinya juga ingin menciptakan gadis ini menjadi makhluk baru. Ia ingin menjadikannya sebagai mempelai yang gemulai memainkan rambutnya yang tergerai, sementara jiwanya bersinar di padang pemikiran yang luas, berbunga. Ia ingin menjadikannya sebagai ratu persidangan yang kisahnya tertulis dalam catatan-catatan sejarah. Ia ingin menjadikannya sebagai wanita yang mampu menyentuh jiwa para lelaki dengan tongkat kebesaran jiwanya, sebagaimana ia mahir merias matanya dengan sentuhan pensil celaknya. Sehingga tiba-tiba, jiwa-jiwa itu terbuka, melihat keindahan yang sebelumnya tak terlihat. Sehingga tiba-tiba, kekuatan itu bergerak di dalam dirinya, membuahkan kesanggupan dan membangkitkan cita-cita. Sehinga tiba-tiba kebaikan melimpah dan kehidupan berdenyut dalam semua benda dan ciptaan.

Aahh! Sungguh perempuan merupakan harta karun, tetapi ia terpendam di dalam lapisan bumi yang paling dalam. Lalu siapakah yang bisa mengeluarkannya, selain sihir pendeta yang paling mahir?! Bahkan perempuan adalah mukjizat yang terlipat di atas langit yang paling tinggi. Lalu siapakah yang mampu menurunkannya, selain seorang pendeta yang sangat ikhlas, yang imannya sangat kuat?!

* * *

1 – PENDETA PEMIKIRAN

-1-
Pendeta Pemikiran

Dengan jubah dan kopiahnya, ia benar-benar seperti pendeta. Begitulah ia berpakaian di dalam rumahnya. Dandanan inilah yang mungkin sesuai dengan warna kehidupannya. Kehidupan yang tenang di antara buku-buku dan kertas, mandek seperti dawat di dalam bak tinta! Tidak ada sesuatu pun yang bergerak mengalir pada dirinya, bahkan hari-harinya. Hari ini, kemaren, besok dan seterusnya tidak ada bedanya, seolah-olah berhenti, tak pernah berganti. Atau, seolah-olah hari-hari itu telah terkumpul dan terikat menjadi sehari tanpa henti! Meskipun begitu, di sana, di tengah-tengah kerumunan manusia terdapat banjir yang senantiasa membuncah tanpa jeda; dan ia senantiasa melontarkan gagasan ke tengah kerumunan itu. Mempengaruhi mereka. Keadaannya persis seperti orang yang tengah duduk di tepi kolam ikan, melempar remukan makanan dan menyaksikan ikan-ikan itu berkumpul mengerumun, lalu bergerak berpencar. Tulisan-tulisannya telah banyak memberi pengaruh. Pendapat-pendapatnya telah menggema ke mana-mana.

Ia merasa mengemban tanggung jawab kepada semua orang akibat pengaruh yang ditimbulkannya, maka ia pun melaksanakan pekerjaannya dengan penuh kesungguhan. Ia tidak ingin menipu orang lain dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakannya. Ia mengimani kewajiban seorang pemikir dan pemegang pena adalah memasukkan keyakinan ke dalam diri manusia; keyakinan bahwa mereka mampu meraih kemuliaan. Dan kewajiban ini mengharuskannya menjalani kehidupan luhur, jauh dari hujatan dan celaan.

Ia selalu memandang rendah mereka yang menyebarkan karya sastra bermutu tinggi, indah dan mempesona, tetapi menjalani kehidupan yang semuanya kehinaan, kepicikan dan kejahatan. Penulis sejati menurutnya adalah teladan yang bisa ditiru secara lahir dan batin. Jika tidak begitu, berarti ia adalah seorang pelawak yang sedang mempertontonkan dirinya kepada khalayak dengan dandanan seorang raja, namun begitu menyendiri, ia melepaskan dandanan itu sehingga tampak kehinaannya persis seorang jembel. Inilah alasannya mengapa ia memilih kehidupan yang ketat tersebut.

Di dalam rumahnya ia hanya tinggal sendirian, ditemani seorang pembantu tua yang selalu melayaninya, mengurus makanan dan membawakan keperluan-keperluannya. Ia tidak memiliki banyak keperluan. Hal terbesar yang dimintanya setelah membaca dan merenung hanyalah duduk menghadapi rak buku. Tidak melakukan apa-apa, selain merapikan barisan-barisan buku itu, mengurutkan bagian-bagiannya dengan cara yang membuat tangan tidak mungkin keliru, meski dalam kegelapan!

Ia selalu membaca di atas pembaringannya sebelum tidur. Terkadang ia teringat untuk membawa buku dalam bidang tertentu dari raknya, ia hanya perlu mengulurkan tangan mengambil buku tersebut tanpa perlu menyalakan lampu. Jemari tangannya telah terlatih membedakan di antara buku-buku yang ada. Hanya dengan meraba, seolah-olah ia telah membaca judul buku itu dengan sentuhan tangannya. Telapak kakinya berjalan mengitari ruangan ketika ia sedang berpikir. Telapak kaki itu tidak akan berhenti di bawah tempat duduk, kecuali setelah menemukan apa yang dipikirkannya. Tentu saja kedua mata dan telinganya menjadi penopang utama dalam tugas ini, seakan-akan dua indera itu merupakan serdadu jaga dari seluruh indera yang dikonsentrasikan untuk melayani otaknya.

Ia selalu menghabiskan saat-saat senggangnya dengan melihat kubik-kubik buku yang berjejer itu, membaca nama-nama abadi para penulisnya, satu demi satu. Seakan-akan mereka adalah para prajurit pemberani yang tengah berbaris seusai berlaga. Ia terkadang tak kuasa menahan teriakan dari relung jiwanya di ruang sunyi itu, “Mereka semua telah menggerakkan dunia dan mengusung perikemanusiaan. Aku merasa berada di antara mereka dalam keterpencilan dan kemandekan ini: segala sesuatu di sekelilingku adalah gerak abadi. Segala sesuatu diam, kecuali pikiran. Tidak lain, pikiran adalah gerak yang dahsyat!”

Ungkapan yang paling mendekati keadaan lelaki ini adalah ia mengingatkan sosok sastrawan seperti yang digambarkan Karlel: “cahaya dan pendeta yang mengendalikan dunia, seakan-akan sumbu api suci dalam kegelapan, sepanjang debu zaman, di seantero angkasa.”

Begitulah lelaki itu, dan begitulah kehidupannya. Lurus bersahaja. Ia tidak pernah menatap kenikmatan-kenikmatan dunia, kecuali hanya sebagai tegukan-tegukan sporadis, sekedar untuk menyiram dahaga dan membangkitkan kekuatan-kekuatannya dalam gurun gersang kehidupan. Ia tidak menjadikan kenikmatan itu sebagai menu harian atau minuman kesukaan. Terkadang ia merindukan makanan berlemak yang lezat, akan tetapi makanan kesehariannya hanyalah sesuap, dua suap roti yang hampir-hampir tak mampu menegakkan punggungnya. Seakan-akan ia tengah menjalani diet ketat yang tak pernah dilanggarnya, kecuali ketika keadaan menuntutnya lain, atau ketika lidahnya sangat rindu pada menu spesial yang lezat, maka ia akan melahapnya dengan penuh gairah. Lalu datang hari berikutnya dan ia akan kembali pada diet lamanya yang ketat. Menu sahaja dan air putih.

Begitu pula kehidupan malam beserta segala rupa kesenangannya! Ia berangkat tidur tepat pada waktunya, diam menyendiri di dalam kamarnya. Akan tetapi hal itu tidak menghalanginya melanggar keteraturan selama barang semalam, sehingga ia akan begadang sebagaimana orang lain begadang. Berbuat seperti yang mereka lakukan. Mengenali rupa-rupa kesenangan sebagaimana yang mereka ketahui. Lalu pagi harinya mereka terbangun, dan terjadilah keajaiban dirinya, yaitu pelupaannya pada apa yang telah terjadi; penganggapannya bahwa semua kenikmatan yang terkecap kemarin hanyalah tetesan-tetesan yang, dari waktu ke waktu, memang diperlukan demi meneruskan perjalanannya yang cepat dan demi menunaikan kewajiban yang diembannya. Orang lain akan riuh bercerita. Mereka tidak memiliki alat semacam itu di dalam dirinya. Alat yang bisa menghentikan gelora tepat di saat harus berhenti.

Kekuatan terbesar pada diri lelaki ini, barangkali, adalah kemampuannya untuk melawan. Perlawanannya kepada diri sendiri. Jika suatu ketika ia mereguk dari gelas kehidupan, ia tahu persis kapan dan di mana harus berhenti. Ia dengan tegas bisa mengatakan “cukup” kepada dirinya sendiri. Karena itu ia tidak dikenal sebagai orang yang gila kehidupan. Ia tidak dikenal sebagai orang yang gemar pada dunia hiburan, bahkan tak ada yang mendengar hubungannya dengan seorang perempuan pun. Ia menjaga betul agar orang lain tidak mengetahui sisi kehidupannya itu. Ia ingin orang-orang mengetahui keasketikan dirinya dan betapa sedikitnya bersinggungan dengan hal-hal tersebut. Bahkan di sana ada sebuah keuntungan besar yang didapatnya dari pembawaan tersebut: kemampuan “melawan diri” seperti yang dinamainya!

Pola kesederhanaan yang ditempuhnya dalam menjalani kehidupan dunia ini telah menghalangi dirinya memiliki tubuh lembek dan penuaan dini! Setiap orang yang melihatnya selalu memberikan usia yang lebih muda dari usia yang sebenarnya. Raut mukanya menampakkan kesegaran seorang pemuda pada usia tiga-puluhan tahun. Andai bukan karena uban pada rambut kepalanya, sepertinya zaman tidak tahu bagaimana harus menundukkannya! Keadaannya persis seperti keadaan para pendeta Mesir kuno yang diceritakan oleh Plutarks: “Mereka menjaga pola makan dan minum dengan ketat. Karena dalam pandangan mereka, kesucian dan kesehatan berjalan seiring. Mereka tidak pernah berlebih-lebihan mengkonsumsi daging atau sebagian sayuran, bahkan air Nil. Mereka meyakini, berlebih-lebihan meminum air Nil akan menyebabkannya menjadi gemuk sebagaimana tanah menjadi subur dengannya!”

“Tubuh yang tambun, menurut mereka, merupakan sebuah aib bagi seorang pendeta. Mereka berusaha keras membungkus jiwa-jiwanya dengan tubuh yang ringan dan cekatan agar hakikat ketuhanan yang ada pada jiwa tidak terdesak ke bawah oleh beratnya materi yang fana!”

Konon, tak seorang pun pendeta Mesir yang bertubuh gemuk. Tak seorang pun dari pendeta itu yang bisa diketahui usia sebenarnya oleh orang lain. Mereka selalu bertubuh ramping sehingga tampak selalu muda, seolah-olah para dewa telah menganugerahkan kekuatan melawan zaman kepada mereka. Sebenarnya, mereka tidak mendapatkan anugerah kekuatan itu, tetapi mereka mendapat anugerah kekuatan melawan nafsu sendiri. Barang siapa yang menang melawan nafsu maka ia telah menang melawan zaman. Inilah yang telah dipahami dan diamalkan oleh “Pendeta Pemikiran.”

Begitulah lelaki itu hidup. Sebuah kehidupan yang lapang, dalam pandangannya, bersinar terang penuh warna-warni! Sinarnya bukan yang memancar dari panggung glamor dansa, klub-klub hiburan malam dan diskotik. Kehidupan malam baginya merupakan kehidupan jiwa dalam pergaulannya yang mulia bersama bacaan-bacaannya di saat hening. Kehidupan malam merupakan kehidupan jiwa dalam kekhusukan perhatiannya yang panjang pada pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang membanjiri dunia diamnya.

Sementara kehidupan siangnya, pada pagi hari ia membaca koran dan membuka surat-surat dari penggemarnya baik yang berasal dari dalam maupun luar Mesir yang ditujukan kepadanya. Kemudian ia akan keluar rumah, berjalan kaki di jalanan selama beberapa saat sambil melihati bagian depan toko-toko buku. Setelah itu ia kembali ke rumah dan duduk di ruang kerjanya sembari berpesan kepada pembantunya untuk menutup semua jendela, agar kicau burung kenari di sangkar tetangga tidak mengganggu dirinya. Kemudian ia akan menulis selama berjam-jam sampai tiba saat pembantunya memanggil berkali-kali untuk makan, dan ia tenggelam dalam pekerjaannya, tidak mempedulikan. Hingga sang pembantu capai memanggilnya lalu akan mendesaknya meninggalkan kesibukan itu. Pendeta Pemikiran akan meletakkan penanya dengan kesal lalu bangkit dengan menggerutu, seolah-olah ia sedang digiring ke tempat pencambukan bukan ke tempat makan.

* * *

Hari itu, hari dimana kisah ini dimulai, sebagaimana kebiasaan paginya, Pendeta Pemikiran sedang duduk menghadapi kiriman posnya. Ia tengah membuka surat-surat yang dirikimkan para pembacanya. Saat-saat seperti itu merupakan saat yang paling menyenangkan baginya. Ia sungguh menikmati komunikasi pemikiran semacam ini, komunikasi dengan mereka yang menulis surat-surat itu. Ia bekerja keras demi mereka meski tanpa pernah melihatnya. Namun Pendeta Pemikiran jarang membalas surat-surat itu. Bukan karena merasa tinggi atau berlagak, tetapi karena merasa telah mengatakan semuanya di dalam buku-buku karangan yang telah di cetak dan dipublikasikan. Ia merasa surat-surat pembaca itu tak lain hanyalah balasan mereka atas tulisan-tulisan yang telah disampaikannya di dalam buku, tempat meletakkan intisari pemikirannya selama berhari-hari, simpanannya yang paling berharga!

Namun pagi itu ia menerima surat yang menawan pandangan dan menarik perhatiannya: sepucuk surat dari seorang gadis yang mengatakan dirinya berusia dua puluh dua tahun dan ingin berkecimpung dalam dunia sastra. Pengirimnya mendesak supaya diizinkan bertemu agar bisa menjelaskan permasalahan dan meminta pendapat dari Pendeta Pemikiran. Ia tak menyebutkan nama maupun alamatnya, tetapi mengatakan akan menghubungi Sang Pendeta lewat telepon untuk mengetahui waktu pertemuan yang diberikan!

Pendeta Pemikiran merasa penasaran dengan surat tersebut. Surat dari gadis ini tak seperti surat-surat dari perempuan yang biasa diterimanya. Ada nada kesungguhan dalam bunyi suratnya; singkat dan tak ada obrolan ngalor-ngidul seperti yang biasa digunakan perempuan-perempuan dan gadis-gadis genit. Dan, betapa banyaknya surat dan telepon yang diterima Sang Pendeta dari perempuan dan gadis genit semacam itu. Permintaan ngalor-ngidul semacam itu yang ditakutinya. Karena itu, Sang Pendeta akan menyuruh pembantunya menerima telepon-telepon mereka, dan buru-buru menyudahi setiap pembicaraan yang tak memiliki tujuan dan ngelantur. Tapi, surat yang serius ini adalah perkara lain.

Dalam dua baris, gadis ini telah lebih dulu menyampaikan tujuan dan memberitahukan keinginannya yang terpuji. Bagaimana ia akan bisa menolak maksudnya, atau menjauhkannya dari tujuan itu? Kewajiban mengharuskannya untuk menemui.

Sang Pendeta termenung di atas tempat duduknya. Di dalam benaknya, ia mulai membayangkan gadis ini: bagaimana dia? Seperti apa dia?

Sang Pendeta telah mengetahui perempuan-perempuan yang memberikan hidupnya untuk dunia pemikiran. Bisa dipastikan mereka adalah perempuan yang tak menemukan lelaki untuk diberi kehidupannya! Tetapi gadis ini, seperti yang dikatakannya, baru berusia dua puluh dua tahun. Artinya, masih dalam usianya yang paling baik dan kesegarannya sebagai seorang remaja. Jadi, kemungkinan ia adalah seorang gadis yang telah ditanggalkan alam dari pesona kecantikan yang bisa memikat hati lelaki. Jika seorang perempuan ditanggalkan dari gaun pesona kecantikan ini, maka ia tak memiliki pilihan lain, selain mengenakan baju kasar yang dipakai biarawati! Barangkali dalam baju kasar tersebut terdapat kekuatan tersembunyi atau daya pesona lain yang bisa digunakan perempuan untuk kembali mengetuk pintu harapan! Bagaimana pun juga, tak ada salahnya menemui gadis ini.

Separoh hari lebih telah lewat, dan datang waktu Asar. Dering telepon berbunyi. Pembantu Sang Pendeta bergegas mengangkat telepon. Kemudian pembantu itu memberitahukan pada majikannya bahwa seorang gadis menelepon dan menanyakan waktu pertemuan. Pendeta Pemikiran memerintahkan supaya memberinya waktu kunjungan di pagi hari pada hari berikutnya.

* * *

Hari berikutnya datang. Pendeta Pemikiran telah duduk di dalam ruangannya. Ia membungkuk, asyik menghadapi kertas dan pekerjaannya. Tiba-tiba daun pintu diketuk. Tak lama kemudian pembantunya muncul memberitahukan kedatangan seorang gadis. Tanpa acuh dan tanpa bergeming Sang Pendeta mengizinkan pembantu itu untuk membawa sang gadis masuk menemuinya. Ia tetap tenggelam dalam pekerjaannya hingga ia merasakan desir baju di dekatnya. Sang Pendeta mengangkat kepalanya dan memandang. Sekonyong-konyong lidahnya kelu karena keheranan. Begitu pandangannya menimpa sosok gadis yang ada di depannya, segala sesuatu di dalam benaknya langsung berubah. Bayangan yang sebelumnya terangkai dalam imajinasinya musnah seketika.

Perempuan yang ada di depannya adalah seorang gadis cantik, ramping dan mempesona! Ia dari tipe itu. Tipe perempuan yang biasa berlenggang pada peragaan busana, menebar aroma harum di udara di setiap langkahnya, meninggalkan ribuan pandangan dengan hati tak menentu dan decak kekaguman! Ia tipe perempuan yang biasa terlihat pada panggung utama pertunjukan teater pada malam pembukaan. Ia perempuan yang mendebarkan dada semua yang hadir dan membuat mereka saling berbisik!

Pendeta Pemikiran gugup. Di dalam hati ia berkata, “bukan di sini tempat gadis ini!” Sang Gadis melihat kegugupan Sang Pendeta, maka ia pun segera mendahului mengucapkan salam. Sang Gadis lalu duduk di kursi yang ditunjukkan oleh Sang Pendeta.

“Saya ingin mendapat semua penjelasan dari Anda, Pak!” kata Sang Gadis sambil tersenyum.

“Justeru, sayalah yang mengharapkan Anda menjelaskan semuanya!” jawab Sang Pendeta seperti berkata kepada diri sendiri dengan pandangannya terus menyelidik.

Sang Gadis sedikit menunduk. Bulu-bulu matanya tampak menggaris memberi bayangan pada pipinya.

“Saya menyukai sastra, Pak!”

“Sastra mendapat kehormatan dengan kesukaan tersebut, Nona.” Timpal Sang Pendeta ironis, namun tak bermaksud mengejek.

“Tetapi,” kata Sang Pendeta tak melanjutkan ucapannya. Tampak kebimbangan membayang pada wajahnya.

“Tetapi?”

“Apa maksud Anda yang sebenarnya, Nona? Saya harap Anda mau sedikit menjelaskan. Saya masih belum paham sepenuhnya!”

Sang Gadis kembali menundukkan wajahnya, seakan-akan tak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan. Kemudian Sang Gadis mengangkat pandangannya, melihat tempat yang ditinggali Sang Sastrawan ini sambil merenungkannya. Di ruangan itu, Sang Gadis tak mendapati sesuatu yang ceria: tak ada bunga yang mekar, tak ada perabotan yang menarik, tak ada tembok yang berwarna cerah dan tak ada cahaya yang benderang.

Sang Pendeta merasa seolah-olah dada tamunya menjadi sesak dan ingin menghirup nafas bebas. Ia merasa kedua bibir tamunya yang bergincu merah tua itu bergetar dan seolah-olah tanpa sadar sang tamu itu nyaris berteriak,

“Beginikah suasana sastra?!”

Pendeta Pemikiran juga memperhatikan, Sang Nona melihat ke arah jendela yang telanjang, tanpa tirai. Di balik jendela, sebuah bangunan gedung berdiri tinggi menghalangi sinar matahari. Sang Pendeta merasa seakan-akan nona itu tengah mengatakan, “Apakah cahaya ini mencukupi Anda?!”

Dengan kalem Sang Pendeta mengatakan, “Cahaya yang bersinar di dalam jiwa kami selalu cukup bagi kami!”

Sang Gadis tampak tak paham dengan ucapan Sang Pendeta. Raut mukanya menunjukkan ketidak-tahuan!

Namun yang membuat Pendeta Pemikiran heran setelah itu adalah keberadaan Sang Nona yang masih tetap di tempat itu!

Apa yang membuatnya datang ke tempat ini? Apa yang mengikatnya pada kursi itu saat ini? Pendeta Pemikiran menatapnya lama.

“Nona, jika penglihatanku benar, Anda tidak diciptakan untuk dunia sastra!” katanya kemudian.

Sia-sia saja Sang Gadis mencari cermin di ruangan itu.

“Mengapa tidak?” tanyanya kemudian dengan intonasi datar, tanpa semangat.

Sang Pendeta tak menjawab. Tentu saja ia tak bisa menyebutkan alasan, karena dirinya cantik. Mungkin saja seorang sastrawan memberikan hidupnya untuk sastra, tetapi ia tak akan pernah memberikan ketampanan atau kecantikannya untuk sastra.

“Sastra apa yang Anda sukai?” tanya Sang Pendeta ingin menyibak rahasia.
Sang Gadis tampak ragu. Tapi, ia segera menyembunyikannya dengan gerakan tangan. Ia membuka tas kecilnya. Mengeluarkan cermin dan lipstik merahnya lalu berhias sambil mengatakan.

“Saya tak membeda-bedakannya.

Sang Pendeta menatapnya tajam.

“Untuk apa Anda berkenan mengunjungi saya?” tanyanya tiba-tiba kepada Sang Gadis.

“Karena saya banyak mendengar tentang Anda.” jawab Sang Gadis dengan tetap memandangi cermin kecilnya.

“Apakah Anda pernah membaca tulisanku?”

“Tentu.”

“Apa yang telah Anda baca?”

“Aahh…”

Sang Gadis pura-pura lupa dan berusaha mengingat-ingat. Pendeta Pemikiran tak ingin membuatnya malu, maka ia pun diam saja. Jemari tangannya sejenak memainkan surat yang telah dikirimkan oleh Sang Nona. Ia menyadari gadis ini tengah mempermainkan dirinya. Betapa banyak gadis penggoda yang suka mengganggu pria-pria yang menyendiri, mengolok-olok para pelaku ibadah yang tengah menjalani perilaku pendeta!

“Nona! Kenapa Anda mengirimkan surat ini kepada saya dan mengatakan bahwa Anda ingin berkecimpung dalam dunia sastra?” tanya Sang Pendeta dengan nada kurang suka.

“Karena saya menginginkan hal itu,” jawab Sang Nona sambil memasukkan kembali cermin kecil dan lipstiknya ke dalam tas, “Apakah hal itu sulit: berkecimpung dalam dunia sastra?”

Pendeta Pemikiran tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Di dalam dirinya ia merasa seperti yang dirasakan tokoh agama ketika melihat seseorang memukul mihrabnya dengan tongkat kayu. Barangkali Sang Gadis ini bisa melihat apa yang dirasakan Sang Pendeta. Dari pancaran kedua matanya, tampak gadis ini bukan orang yang tak cerdas.

“Apakah saya harus mengatakan yang sebenarnya?” kata Sang Gadis mendahului.

Sang Gadis diam sejenak. Sementara Sang Pendeta merenungkan keadaan dirinya sendiri. Merenungkan cara duduknya, jubahnya dan kopiahnya, lalu merenungkan ucapan terakhir Sang Nona itu. Ia merasa seperti Pendeta Thaïs yang tengah berbicara dengan seorang gadis cantik.

Sang Gadis mengangkat kepalanya dan memandang ke arah Pendeta Pemikiran.

“Sebenarnya, saya tak menyukai sastra dan tak pernah membaca satu buku pun sejak meninggalkan bangku sekolah.” katanya. “Tak ada yang memberatkanku seperti halnya buku dan membaca. Saya tak pernah menulis sepucuk surat pun kepada seorang sahabat tanpa menelan pil espirin setelah itu! Saya menyukai sinema, pacuan kuda, dansa dan musik!”

“Jazz, tentunya!” kata Sang Pendeta menyela.

“Tentu!!” jawab Sang Gadis spontan, seperti mengatakan sesuatu yang sudah sangat maklum.

Pendeta Pemikiran mendesah.

“Bukankah sudah saya katakan, penglihatanku benar?!” katanya seperti berkata kepada diri sendiri,

“Iya. Tetapi, meskipun begitu, saya menginginkannya.” jawab Sang Nona segera, tanpa memberi kesempatan kepada Sang Pendeta melanjutkan perkataannya.

“Anda menginginkannya?!”

“Iya, saya menginginkannya. Saya ingin menyukai sastra!” jawab Sang Nona dengan intonasi suara yang naik, tegas dan mantap.

Pendeta Pemikiran ternganga, keheranan. Ia tak tahu apa yang harus dikatakan kepada gadis manja ini.

“Nona, apakah Anda mengira sastra itu seorang pemuda tampan seperti para koreografer, atau seperti kuda-kuda balap yang menjadi kesayangan?”

Wajah cantik itu berubah muram. Bulu-bulu lentik matanya turun tertunduk. Pendeta Pemikiran melihat seakan-akan serangan sengit tengah menggoncang sudut-sudut jiwa Sang Gadir. Gadis itu akhirnya menggelengkan kepala dan berkata memohon.

“Tolong, tolonglah! Tolong jangan biarkan saya putus asa dan frustrasi!”

Sang Pendeta menunduk sejenak. Kemudian dengan lembut ia berkata.

“Saya siap membantu Anda, Nona. Tetapi marilah kita berbicara yang masuk akal!”

“Iya. Jadikanlah saya menyukai sastra berapa pun harganya! Meskipun harga itu berat bagi saya!”

“Nona, itu tak masuk akal. Bagaimana saya akan membuat Anda menyukainya?!”

“Mengapa Anda tak bisa?!”

“Karena cinta atau kesukaan tak bisa diminta maupun dibeli. Anda lebih tahu tentang hal itu dari pada saya!”

“Iya, itu benar! Aahh!” desah Sang Nona pedih.

Pendeta Pemikiran ikut merasakan keputus-asaan Sang Nona. Ia lalu teringat bahwa dirinya belum menanyakan alasan yang mendorong Sang Nona mengajukan permintaan aneh ini. Sang Pendeta kemudian memandang gadis itu meminta penjelasan tentang duduk perkaranya. Namun Sang Gadis buru-buru mengatakan, “Jangan menanyai saya! Apa gunanya, jika ternyata Anda tak memiliki apa-apa untuk saya?”

Sang Gadis lalu bangkit, ingin meninggalkan ruangan. Sang Pendeta ikut bangkit sambil memikirkan keadaan nona ini.

“Maaf, saya telah mengganggu Anda! Saya gadis tolol. Saya mengira segala sesuatu bisa digapai!” ucap Sang Nona sambil mengulurkan tangannya, berpamitan.

“Iya, segala sesuatu bisa digapai selama ada keinginan yang kuat dan dorongan yang luhur!” jawab Sang Pendeta sambil bersalaman, menggenggam tangan Sang Nona.

Dengan pelan Sang Nona menarik tangannya. Kemudian dengan buru-buru ia berkata.

“Jika saya memberi jaminan dengan keinginan yang kuat dan dorongan yang luhur, apakah Anda berjanji akan membantu saya?” tanyanya.

Pendeta Pemikiran melihat kilatan cahaya harapan yang baru kembali muncul pada kedua mata Sang Gadis. Ia tak tega mematikan harapan itu dengan sebuah perkataan. Tetapi, dirinya juga tak berani memberikan janji yang tak bisa ditepatinya. Ia masih belum mengetahui segala sesuatunya. Dirinya masih diselimuti kabut ketidak-pahaman. Banyak pembicaraan berlangsung dalam berbagai hal, tetapi maknanya berbeda persis seperti perbedaan orang yang berbicara itu sendiri. Kata “sastra” bagi Sang Pendeta memiliki makna yang tak sama bagi Sang Nona, sementara Sang Pendeta belum tahu apa keinginan Sang Nona; apa penyebab keputus-asaannya; dan apa yang menjadi harapannya.

“Nona, saya tak akan menjanjikan apa pun sampai saya paham. Tidakkah saya punya hak, paling tidak, untuk memahami asal-usul permasalahannya?” kata Sang Pendeta.

Sang Gadis berpikir sejenak. Kemudian ia memandang ke arah Sang Pendeta sambil berkata.

“Saya mohon Anda tak menanyakan nama kepada saya. Saya tak akan mengatakan nama saya maupun nama keluarga saya. Seluruh yang bisa saya katakan kepada Anda adalah: saya memiliki tunangan yang saya cintai dan ia menyintai saya. Ia adalah pria idaman yang selalu saya impikan! Ia tak ada celanya, kecuali satu hal, ia suka membaca buku-buku sastra! Ia membawaku ke sinema, arena pacuan kuda dan menemani saya membicarakan hal-hal yang saya sukai, tapi saya tak bisa menemaninya membicarakan hal-hal yang ia sukai! Ia menyebutku sebagai ‘gadis yang gegabah.’ Ia bisa memaklumi semua hal yang ada pada diriku, kecuali kebisuan itu. Kebisuan panjang yang merayap diantara kami, karena pembicaraan hanya akan menunjukkan apa yang disebutnya dengan ‘kedunguan dan ketololan’ saya. Ia selalu mengatakan, jurang curam yang ada dalam kehidupan perkawinan kita adalah: dirinya tak akan pernah bisa membicarakan masalah-masalah pemikiran bersama diriku!”

“Saya tak akan lupa, pada suatu hari ia pernah mengatakan: ‘hubungan sempurna yang sering kuharapkan dari isteriku tak akan pernah terjadi dalam pernikahan kita. Separoh kehidupan, yaitu kehidupan pemikiran, akan tetap berada di luar lingkup perkawinan. Kamu, ya “x” tak akan pernah memiliki diriku, kecuali hanya separoh dariku!”

“Lelaki malang itu telah berusaha memberiku bermacam-macam buku, tetapi saya melemparkannya karena bosan. Saya membenci buku-buku, tetapi saya menginginkan separoh lagi dari suamiku! Saya menginginkan seluruh dirinya menjadi milikku, tubuhnya dan pikirannya.”

“Ia juga suka bermain tenis. Dulu saya tak menyukai tenis, juga tak bisa memainkannya. Namun dengan kemauanku, saya bisa mempelajarinya, menikmatinya dan menyukainya hanya dalam beberapa bulan! Kemauan saya telah berhasil mendapatkan segala hal, kecuali buku. Karena itu saya datang meminta bantuan Anda!”

“Tunanganku menyukai buku-buku Anda. Ia mengatakan, gaya bahasanya sederhana dan akan pas buat saya. Tetapi maaf, saya mengaku kepada Anda, buku-buku itu berat buat saya, seperti buku-buku yang lainnya. Obat penawarnya pasti ada pada Anda, Pak. Saya yakin, orang yang menciptakan penyakit juga menciptakan obat. Seluruh kebahagiaan pernikahan saya, sekarang, terletak di tangan Anda! Berilah saya petunjuk! Bagaimana gadis gegabah seperti diriku bisa memperbaiki diri agar kedudukannya menjadi tinggi di mata suaminya? Adakah harapan bahwa pikiranku bisa sebanding dengan pikirannya? Katakanlah, Pak! Bukankah orang sepertiku punya harapan untuk bisa melewati ambang pintu wilayah tersebut? Wilayah tinggi dan suci yang kalian sebut dengan nama wilayah pemikiran? Ataukah selamanya diriku ditakdirkan berada di luar wilyah itu, hanya bisa melongoknya dari luar?!”

Sang Gadis terdiam membiarkan Pendeta Pemikiran berdiri bengong. Kata-kata terakhir Sang Nona yang sedih mengiang-ngiang di telinganya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sang Pendeta menemukan bahwa seorang sastrawan memiliki risalah menyerupai risalah ahli agama! Sering sudah ia menulis, menggambarkan keserupaan ini, namun belum pernah merasa yakin hal itu benar-benar nyata, kecuali hari ini. Bayangan Pendeta Thaïs kembali melayang-layang di dalam benaknya!

Thaïs, gadis cantik yang lincah itu mendatangi Pendeta Paphnus. Ia meninggalkan masa lalunya yang bergelimang dosa dan kesesatan. Ia datang mengetuk pintu sinagog Sang Pendeta mengharapkan pendeta itu membukakan cahaya kebenaran bagi dirinya! Apakah pendeta itu menolak dan membuatnya putus asa? Tidak! Seorang pendeta tak memiliki hak menolak orang yang menginginkan cahaya Allah. Begitu pula seorang pelayan pemikiran dan pendeta yang memang dibaktikan untuk menyebarkan cahaya-Nya. Atas dasar apakah ia boleh menanam keputus-asaan pada hati orang-orang yang menginginkan-Nya?

Di sini pula Pendeta Pemikiran menemukan kewajiban lain, selain kewajiban moral dan penulisan. Iya, ia harus mengulurkan tangannya—sebisanya—untuk membantu jiwa-jiwa buta yang malang itu! Lalu, perlahan-lahan membukakan jendela bagi pancaran cahaya pemikiran.

Pendeta Pemikiran mengangkat kepalanya dan menatap Sang Gadis sambil berkata.

“Percayakan kepada saya!”

* * *