BISNIS JARINGAN QNET HARAM

FATWA DAR IFTA’ MESIR
Bisnis Jaringan QNET Hukumnya Haram

http://dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=3861
Diterjemahkan oleh Shocheh Ha.

 

Hukum Bisnis Network Marketing QNET

Kami telah mengkaji banyak pertanyaan—yang ditujukan kepada kami melalui berbagai saluran permohonan fatwa—yang menanyakan hukum Network Marketing. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut kami tunda hingga pembahasan dan pengkajiannya selesai. Pertanyaan terakhir mengenai masalah ini tercatat pada tanggal 07-12-2011 dengan nomor: 582 tahun 2011. Inti dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: Permohonan Fatwa Mengenai Hukum Pyramid Marketing yang dijalankan oleh Perusahaan QNET; apa hukumnya?

Untuk diketahui, sekitar enam bulan sebelumnya Darul Ifta’ Mesir telah mengeluarkan fatwa tentang halalnya bisnis semacam ini; kemudian Darul Ifta’ Mesir menahan diri untuk tidak memberikan fatwa mengenai persoalan ini hingga pengkajiannya selesai.

Jawaban Bidang Fatwa

Sebuah fatwa akan melewati empat tahapan penting dalam benak seorang Mufti, yaitu: penggambaran (tashwir), pengadaptasian (takyif), penjelasan hukum (bayanul hukmi), serta pengeluaran fatwa (tanzil wa ishdar al-fatwa). Dan, tahapan yang paling penting adalah penggambaran (tashwir); karena dari situlah tahapan-tahapan berikutnya dilandaskan (pengadaptasian, penjelasan hukum dan pengeluaran fatwa didasarkan pada penggambaran).

Penggambaran yang detail—yang sesuai dengan kenyataan yang ditanyakan—merupakan syarat pokok bagi keluarnya fatwa secara benar. Ketika penggambarannya benar, sesuai kenyataannya—lalu tahapan-tahapan berikutnya dilakukan sebagaimana mestinya—maka fatwa yang dihasilkan akan jauh dari kesalahan dan lebih dekat pada perealisasian tujuan-tujuan syariat yang universal serta perealisasian kepentingan-kepentingan (maslahat) makhluk yang berlaku. Sebaliknya, tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut akan mengakibatkan fatwa yang dikeluarkan tidak mencerminkan realita permasalahan. Para ulama menyebut kenyataan ini dengan sebuah ungkapan: “Vonis hukum terhadap suatu masalah merupakan bagian dari penggambaran atas masalah itu sendiri.

Tugas memberikan gambaran yang benar, sesuai kenyataan, sejatinya merupakan kewajiban penanya atau orang yang meminta fatwa. Akan tetapi, seorang Mufti hendaknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan guna menelisik empat sisi permasalahan. Dimana, ketika terjadi perbedaan sisi maka hasil fatwa pun menjadi berbeda. Empat sisi ini sering bercampur-aduk dalam uraian seorang penanya/peminta fatwa. Keempat sisi tersebut adalah: waktu, tempat, persona, dan kaadaan. Begitu pula seorang Mufti hendaknya menegaskan keterkaitan permasalahan dengan individu (fard) dan dengan komunitas (jama`ah), sebab dengan adanya perbedaan keterkaitan atas persona-persona tersebut fatwa pun menjadi berbeda.

Urgensi penggambaran fatwa semakin bertambah ketika menyangkut transaksi-transaki baru (al-muamalat al-mustahdatsah), seperti halnya Network Marketing dan Pyramid Marketing. Dan setelah melihat bertambah banyaknya pengaduan mengenai transaksi-transaksi ini serta pengaruh-pengaruhnya, terbukti bahwa jenis transaksi ini memiliki dampak ekonomis dan sosial yang luas. Untuk itu, Bidang Fatwa di Darul Ifta’ Mesir tidak bisa melanjutkan fatwa atas kehalalannya sampai berbagai informasi mengenai transaksi-transaksi ini terkumpul dan dikaji konsekuensi-konsekuensinya serta dampak-dampak yang bisa ditimbulkannya terhadap perekonomian domestik/nasional. Dalam hal ini Bagian Fatwa lalu menemui pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan bisnis ini—demi mengetahui langsung detailnya. Juga dengan mengamati kenyataan bisnis ini di Mesir. Untuk keperluan itu, Bagian Fatwa lalu menemui:

1. Seorang penanggung jawab pemasaran salah satu bisnis Network Marketing pada salah satu perusahaan yang menjalankan transaksi bisnis ini di Timur Tengah untuk menguraikan proses-proses pelaksanaan transaksi serta menjelaskan sebagian poin yang kurang jelas dalam pelaksanaannya.
2. Sebagian pihak yang menentang adanya bisnis semacam ini untuk mengetahui inti dari penolakan mereka atas bisnis ini.
3. Sebagian ahli ekonomi dan ahli sosial untuk menguraikan sisi-sisi negatif dan positif dari bisnis ini pada ranah ekonomi dan sosial.

Setelah pertemuan-pertemuan tersebut, Bagian Fatwa merasa harus memberikan pernyataan dan penegasan atas prinsip-prinsip dan asas-asas penting yang bisa menunjukkan ciri-ciri pokok mengenai konteks bisnis jenis ini. Diantara ciri-cirinya yang paling penting adalah:

1. Dari pendapat-pendapat para ahli ekonomi, yang menonjol adalah tidak membedakan antara Network Marketing dan Pyramid Marketing—yang salah satu bentuknya adalah QNET. Karena baik Network Marketing maupun Pyramid Marketing masing-masing memuat dua macam deal, berupa: keikutsertaan dalam Direct Marketing (at-Taswiq al-Mubasyir, Pemasaran Langsung), dan keikutsertaan dalam Branch Marketing (at-Taswiq at-Tasya`ubi, Pemasaran Bercabang) yang dibangun berdasarkan pembuatan kaki-kaki (at-tasyjir wa al-adzra`, penanaman dan perlenganan). Dan ini menunjukkan bahwa Network Marketing dan Pyramid Marketing merupakan dua hal yang nyaris sama.

2. Pemasaran jenis ini memiliki dua karakteristik yang bisa menjadi patokan: Pertama, penurunan biaya pemasaran dan periklanan dengan cara menyederhanakan distributor/peragenan dan melakukan penjualan secara langsung. Kedua, pengendalian distribusi dengan cara mengetahui detail pergerakan produk dan pelanggan.

3. Realita pemasaran semacam ini di pasar Mesir dan Internasional mengungkapkan, produk-produk yang paling banyak dipasarkan melalui sistem ini sebagiannya berupa barang semisal arloji dan sebagiannya lagi berupa layanan semisal kepemilikan barang melalui sistem pembagian waktu yang dikenal dengan istilah Timeshare.

4. Bahwa realita pelaksanaannya dalam dunia Direct Marketing (Pemasaran Langsung) terdiri dari dua macam praktek: sungguh-sungguh—biasanya pelaksanaannya menggabungkan antara pembelian produk dan pemasaran produk; dan tidak sungguh-sungguh—seperti yang pernah terjadi pada sebagian perusahaan yang menjual kepingan CD program komputer dengan harga berlipat-lipat dengan alasan produk asli dan copyrighted. Namun kemudian terungkap bahwa CD semacam itu tersedia secara gratis di internet.

Para ahli ekonomi juga mengatakan bahwa orang biasa akan sulit membedakan antara dua macam praktek tersebut. Dan ini akan mengakibatkan tidak terpenuhinya perlindungan yang memadai bagi “Pembeli-Pemasar*” seperti yang secara tidak langsung ditunjukkan oleh realita bisnis ini. Bahkan sebagian ahli menyatakan perlindungan tersebut sama sekali tidak ada sehingga akan memudahkan terjadinya penipuan dan mengakibatkan tidak diperolehnya jaminan yang dimiliki.

5. Diantara ciri-ciri paling penting dari realita bisnis ini adalah tidak terpenuhinya kerangka-kerangka hukum yang khusus mengatur aktifitas perusahaan-perusahaan di bidang ini; sehingga tidak ada perundang-undangan yang disusun untuk mengatur bagaimana berinteraksi dengan perusahaan-perusahaan ini.

6. Indikator-indikator analisa ekonomik atas bisnis ini mengungkapkan beberapa hal yang merupakan dampak negatif. Diantaranya, yang paling penting, adalah:

  • Tidak adanya pengawasan keuangan.
  • Adanya dampak negatif bisnis ini terhadap perekonomian domestik. Hal itu tampak pada sektor produksi dan jumlah penyimpanan mata uang asing.
  • Serta dampak berbahaya pada sistem nilai di masyarakat melalui dorongan mengkonsumsi secara tidak sehat, juga melalui trend mendapatkan kekayaan secara cepat tanpa disertai perbaikan volume produksi.

7. Disitu juga terdapat indikasi-indikasi yang menunjukkan adanya dampak negatif terhadap sistem kerja konvensional karena adanya bisnis ini. Konsep tentang kerja berubah dari kerja yang teratur secara administratif menjadi kerja yang mutlak tanpa batasan wewenang dan tanggung jawab; padahal dengan kedua hal inilah pengawasan dan kesesuaian pelaksanaan kerja bisa dilakukan. Begitu pula dengan kedua hal tersebut keabsahan sarana-sarana yang digunakan dalam pekerjaan bisa diaudit.

8. Ada lagi indikasi-indikasi lain yang dengan nyata menunjukkan merebaknya bisnis ini dan perubahan banyak orang yang melakukan bisnis ini dari kerja paruh waktu menjadi kerja seluruh waktu, sehingga bisa mengakibatkan kekosongan di berbagai bidang profesi atau paling tidak akan memberikan pengaruh negatif terhadapnya. Bukti nyata atas hal tersebut adalah tingginya angka statistik harian Darul Ifta` untuk permohonan fatwa mengenai bisnis-bisnis ini—baik secara lisan, melalui telepon, media elektronik maupun secara tertulis.

Network Marketing merupakan gagasan baru dalam dunia pemasaran. Dan realitanya menunjukkan bahwa tidak hanya ada satu macam praktik Network Marketing baik dalam detail maupun bentuknya, meskipun memiliki ciri-ciri dasar yang sama. Sementara hukum syariat dalam masalah ini harus diberikan berdasarkan realita dan detail yang spesifik (partikular) sesuai realita dan detailnya itu sendiri. Dan, praktik yang ditanyakan dalam fatwa ini didasarkan pada gagasan yang intinya berupa: perbuatan seorang penjual yang ingin memasarkan barangnya, dan untuk itu ia memberi iming-iming insentif materi kepada pembelinya sebagai imbalan jika ia (pembeli tersebut) mau melakukan pemasaran juga kepada sejumlah tertentu pembeli yang lain; dan, jumlah insentif ini akan bertambah seiring bertambahnya jumlah pembeli.

Menyangkut praktik yang ditanyakan ini, ia mensyaratkan keseimbangan kepada “Pembeli-Pemasar”; dimana “Pembeli-Pemasar” disyaratkan melakukan pemasaran kepada sejumlah pembeli secara melebar dalam bentuk dua lengan/kaki, dan di setiap lengan/kaki tersebut terdapat sejumlah pembeli tertentu.

Atas dasar itu, jika gambaran permasalahannya seperti yang kami sebutkan, dan dalam konteks yang telah ditunjukkan sebelumnya, maka para ahli fikih dan ulama kontemporer menempuh dua jalan dalam mengadaptasikannya, yaitu:

a) Jalan pertama, mengadaptasikan praktik/transaksi ini dengan akad-akad yang sudah ada di dalam buku-buku fikih klasik. Entah dengan menjadikan transaksi ini sebagai padanan dari dua akad yang terpisah, ataupun dengan menjadikan transaksi ini sebagai kombinasi dari dua akad. Para ahli fikih dan ulama tersebut juga berbeda pendapat dalam menentukan nama kedua akad ini. Sebagian mengatakan kedua akad tersebut adalah syira’ dan ju`alah (pembelian dan pemberian karena suatu tujuan, sayembara). Dan sebagian lainnya mengatakan kedua akad tersebut adalah syira’ dan samsarah (pembelian dan makelaran).

b) Jalan kedua, mengadaptasikan praktik/transaksi ini dengan akad-akad yang belum ada dan belum tertulis di dalam buku-buku fikih klasik. Hal ini didasarkan pada muatan praktik/transaksi ini yang berisi unsur-unsur dan komposisi ekonomi yang baru yang berbeda dengan akad-akad yang telah disebutkan di dalam buku-buku fikih klasik.

Dari perbedaan jalan diatas tampak jelas bahwa makna yang mempengaruhi pengadaptasian praktik/transaksi ini termanifestasi pada aktifitas pemasaran. Ulama dan Fuqaha yang menempuh jalan pertama berbeda dengan Ulama dan Fuqaha yang menempuh jalan kedua dalam penentuan akad yang sesuai dengan aktifitas pemasaran ini. Apakah mereka membangun praktik ini berdasarkan keterpisahan akad pertama (pembelian) dengan akad kedua (sayembara atau makelar) dan menjadikan masing-masing akad ini sebagai akad yang terpisah/berdiri sendiri; ataukah mereka membangun praktik ini berdasarkan keterkaitan akad pertama (pembelian) dengan akad kedua dan menjadikan keduanya sebagai kesatuan akad yang terdiri dari kombinasi dua akad.

Dan, praktik yang ditanyakan ini—yang bisa disebut dengan nama “pembelian-pemasaran”—telah memuat makna-makna yang tak bisa dikenali, kecuali dengan mengamati hasil serta dengan mengkonsultasikannya kepada para ahli pasar. Keberadaan makna-makna ini bisa menjadikan praktik tersebut haram berdasarkan Syariat untuk masing-masing jalan di atas. Makna-makna tersebut yang paling penting adalah:

Praktik ini melanggar dua syarat keabsahan transaksi-transaksi baru, yaitu:
1. Syarat untuk menjaga keseimbangan pasar. Keseimbangan pasar merupakan syarat yang demi mewujudkannya, Syariat yang mulia mengharamkan monopoli dan mengharamkan penyongsongan kafilah niaga; yang mana praktik ini bisa memberikan dampak negatif pada pasar.
2. Terwujudnya kemaslahatan kedua belah pihak. Sementara dalam bisnis ini, kemaslahatan “Pembeli-Pemasar” secara nyata rasio resikonya lebih besar dikarenakan sulitnya merealisasikan syarat untuk mendapatkan insentif/pendapatan dari pemasaran.

Tidak tersedianya perlindungan bagi pihak yang menjalankan bisnis ini dari aspek ekonomi dan hukum. Hal ini menjadikan “Pembeli-Pemasar” menghadapi risiko besar akibat tidak adanya perundang-undangan yang mengatur hubungan-hubungan antara perusahaan penjual dengan pembeli. Pembeli tidak memiliki payung hukum yang menjaminnya bisa mengklaim atas haknya terhadap perusahaan dan memperkarakannya di pengadilan jika diperlukan demi mengambil haknya. “Pembeli-Pemasar” boleh jadi telah membanting tulang, menghabiskan banyak waktu dan tenaga serta bersusah payah dalam melakukan pemasaran produk, ia melakukan itu karena janji perusahaan yang akan memberi imbalan atas usaha keras ini dengan syarat yang telah disepakati, namun pada hakikatnya tidak ada payung hukum yang menjamin terpenuhinya hal itu.

Selain hal-hal tersebut, sistem yang dipakai oleh bisnis ini bisa dikatakan hanya merupakan sarana mendapat kekayaan secara cepat, tidak lebih. Entah itu untuk pemilik perusahaan ataupun untuk representatifnya. Sungguh pun komuditas untuk mendapatkan uang digunakan di sini, tetapi komuditas tersebut tidak lagi menjadi tujuan dalam transaksi pembelian, bahkan komuditasnya semata-mata formalitas yang keberadaannya tidak memiliki pengaruh. Tujuan sejatinya yang nyata dari bisnis ini hanyalah mendapatkan keuntungan. Sejumlah ulama Fiqh mengatakan agar kita menggunakan makna dan berpegang pada makna ini dalam akad-akad yang sisi maknanya lebih kuat. Ibn Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj menyebutkan, “Klaim bahwa yang benar dalam akad jual-beli adalah memperhatikan bunyi katanya bukan maknanya, itu tidak benar. Tetapi (yang benar) adakalanya ini yang diperhatikan dan ada kalanya itu yang diperhatikan, sesuai pemahaman”. Ibn Qasim al-Ubbadiy dalam al-Hasyiyah mengomentari pendapat Ibn Hajar tersebut dengan mengatakan: “dan kebanyakannya memperhatikan bunyi kata selama makna katanya tidak kuat”.

Berdasarkan atas semua hal tersebut: maka bisnis ini—dengan keadaan seperti yang ditanyakan—hukumnya haram berdasarkan Syariat. Karena transaksinya memuat makna-makna yang telah disebutkan di depan, terutama setelah para ahli membuktikan bahwa meluasnya bentuk pemasaran semacam ini akan mengganggu sistem kerja konvensional yang didasarkan pada berbagai macam instrumen. Dan pada saat yang sama bentuk pemasaran ini tidak menumbuhkan sistem lain sebagai alternatif yang tertata dan stabil, mempersempit kesempatan kerja, dan didapati bahwa jenis pemasaran semacam ini bisa mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji, semisal kedustaan distributor, atau menggunakan berbagai cara untuk menarik pembeli yang itu bisa jadi merupakan aib bagi kehendak pembeli semisal fokus pada masalah bonusnya dan mengabaikan pembicaraan mengenai akad dasarnya—yaitu pembelian barang. Bagian Fatwa pada fatwa sebelumnya mengenai bisnis ini telah mengingatkan bahwa bersihnya transaksi dari risiko-risiko tersebut menjadi syarat kehalalannya. Lalu terjadi keraguan dengan tidak mempedulikan batasan-batasan ini.

Setelah Bagian Fatwa mengkaji realita bisnis ini ternyata bisnis ini memuat risiko-risiko yang menghalangi kehalalannya. Dan inilah yang membuat Bagian Fatwa mantap menghukuminya haram secara tegas sehingga tidak halal lagi berhubungan dengannya karena bisnis ini tidak aman dari risiko-risiko yang tersebut berikut: tidak terdapat perlindungan hukum dan perlindungan ekonomi bagi “Pembeli-Pemasar”; komuditas yang dipasarkan terbukti sebagai formalitas belaka sehingga komuditas ini tidak lebih sebagai sarana keikutsertaan dalam sistem bukan tujuan pembelian ataupun komuditas yang benar-benar diperlukan; juga karena kekacauan yang ditimbulkannya terhadap sistem kerja konvensional telah menjadi realita rumit yang bisa dirasakan yang memerlukan penyelesaian riil dan tegas. wallahu a`lam.

***

* Pembeli-Pemasar = anggota sebuah Network Marketing yang sistemnya mewajibkan anggotanya membeli dan memasarkan produk. Istilah yang lazim dipakai biasanya distributor, konsultan, dlsb, tetapi dipakai istilah “Pembeli-Pemasar” dalam fatwa ini untuk menekankan keharusan membeli dan memasarkan seperti yang diterapkan oleh QNET.

Highlight Penerjemah

Dari fatwa di atas bisa diketahui bahwa alasan keharaman QNET adalah:
1. Melanggar syarat keabsahan transaksi.
2. Tidak terdapat perlindungan hukum dan perlindungan ekonomi bagi “Pembeli-Pemasar”.
3. Komuditas yang dipasarkan terbukti sebagai formalitas belaka sehingga komuditas ini tidak lebih sebagai sarana keikutsertaan dalam sistem bukan tujuan pembelian ataupun komuditas yang benar-benar diperlukan.
4. Karena kekacauan yang ditimbulkannya terhadap sistem kerja konvensional telah menjadi realita rumit yang bisa dirasakan yang memerlukan penyelesaian riil dan tegas.

Dan itu berarti jika alasan-alasan tersebut tidak ada atau poin yang menjadi alasan telah berubah maka hukumnya akan berbeda atau berubah pula. Inilah yang berlaku dalam memahami hukum seperti ditunjukkan oleh kaidah ushul fiqh “anna ‘l-hukma yaduru ma`a al-`illati wujudan wa `adaman”.

Jadi, fatwa bukan harga mati bagi perusahaan. Perusahaan tinggal menyesuaikan atau merubah poin-poin kritis sistemnya yang disebutkan di dalam fatwa, benahi dan benarkan maka hukumnya pun akan berubah.

Tertarik mengikuti bisnis Network Marketing/MLM?! Saya merekomendasikan yang ini jika Anda bergender pria atau yang ini jika Anda berjender wanita.

Baca pula: MLM/Network Marketing yang Halal

***

1 responses to “BISNIS JARINGAN QNET HARAM

  1. Muhammad mundzir

    Assalamualaikum bisa minta artikel aslinya yg berbahasa arab

Tinggalkan komentar