Ceramah Halal bi Halal 1431

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 

الحمد لله رب العالمين، والعاقبة للمتقين، ولا عدوان إلا على الظالمين، الحمد لله الذي جعل لنا عيدا لنفرح فيه أكلا وشربا وسرورا، ولنشكره على نعمه شكرا كثيرا، ولنكبره على ما هدانا تكبيرا، وقد قال الله جل و علا: ولتكملوا العدة ولتكبروا لله على ما هداكم ولعلكم تشكرون. سبحانه ما أعظم لطفه وأرحمه، واعز سلطانه واقدمه، له الحمد فى الأولى وفى الآخرة، وله الشكر كما ينبغى له، لا إله إلا الله، ما من إله سواه وما من رب غيره. نشهده أنه وحده، لا شريك له.

وصل اللهم وسلم وبارك على نبينا خير الأنام وخير الهادي محمد الذي قال: ان لكل قوم عيدا وان اليوم عيدنا، وهو يقول: ايام التشريق ايام اكل وشرب وذكر لله عز وجل. وصلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما كثيرا.

  وبعد،

Hadirin yang berbahagia….

Alhamdulillah pada malam hari ini kita bisa berkumpul di tempat yang berkah ini (apa sih maksudnya tempat yang berkah, tempat yang bisa membuat kita mendapatkan tambahan kebaikan, karena kita melakukan aktifitas kebaikan di tempat tersebut. Kebaikannya bisa berupa penambahan pengetahuan, pengalaman, pelajaran, dzikir, pengolahan rasa yang membuat kita menjadi sensitif dan waspada atas segala sesuatu yang berlangsung di sekeliling kita, membuat hati kita mudah tersentuh dengan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah dalam keteguhan kebenaran yang kita yakini. Itu diantaranya berkah yang bisa diperoleh dari tempat-tempat semacam ini. Jadi sebuah tempat bisa menjadi berkah dan laknat sekaligus, tergantung pada kegiatan yang dilakukan di tempat tersebut. Kalau sebuah tempat digunakan untuk kegiatan yang baik, yang bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan ketakwaan, maka itu adalah tempat yang berkah. Kalau sebaliknya, tempat itu digunakan untuk kegiatan yang merusak kebaikan, baik kebaikan yang ada di dalam diri seseorang maupun yang ada pada tatanan masyarakat, maka tempat itu menjadi tempat yang terlaknat.)

Alhamdulillah kita bisa berkumpul di tempat ini untuk menyemarakkan salah satu syiar agama yang kita anut, yaitu perayaan Hari Idul Fitri.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah untuk baginda Nabi, panutan dan junjungan kita umat Islam, Muhammad khairil anam.

Berkaitan dengan Idul Fitri,

Apa sih Hari Idul Fitri itu dan mengapa kita merayakannya?

Hari Id berarti hari berkumpul atau hari bertemu. Ia berasal dari bahasa Arab `âda – ya`ûdu yang berarti kembali: jadi sesuatu di anggap kembali jika ia memiliki asal lalu meninggalkan asal kemudian kembali ke asal. Contohnya, seperti orang mudik. Misalnya seseorang berasal dari keluarga di Dinar Mas lalu merantau ke tempat lain kemudian setelah itu datang lagi ke Dinar Mas, maka ia disebut kembali. Kembali berkumpul atau kembali bertemu dengan sanak keluarga di Dinar Mas.

`âda – ya`ûdu juga bisa berarti berulang: jika sesuatu itu memiliki awal terus berakhir dan diulangi lagi. Contohnya, seperti perputaran bulan dalam setahun. Di mulai dari Januari berakhir pada Desember dan di mulai lagi bulan Januari, maka diantara akhir Desember dan awal Januari yang berikutnya disebut Id, karena akhir dan awalnya bertemu atau berkumpul untuk mengulang perputarannya kembali. Atau dalam bulan hijrah, dimulai dari Muharram berakhir pada Dzul Hijjah, maka diantara akhir Dzul Hijjah dan awal Muharram terdapat pengulangan dan terjadi pertemuan, hal semacam ini bisa disebut dengan kata Id. Begitu Juga dalam perputaran hari yang berakhir dalam tujuh hari dan dimulai lagi dengan hari yang sama.

Dengan makna semacam itu, praktek kembali ke kampung halaman atau yang biasa diistilahkan dengan kata mudik lebaran yang dilakukan oleh masyarakat kita yang merantau sejalan dengan makna kata “Id” secara bahasa, yaitu kembali dan berkumpul.

Itu tadi arti kata Id, sekarang, apa arti kata Fitri. Dalam bahasa Arab kata fitri bisa berarti sarapan, dan bisa berarti alami atau asli juga bisa berarti ciptaan.

Jadi, Idul Fitri bisa berarti, kembali sarapan dan juga bisa berarti kembali pada aslinya atau asalnya, yaitu kembali seperti saat diciptakan (tidak memiliki noda dan dosa, karena noda dan dosanya telah dihapus dengan amalan-amalan ibadah selama bulan ramadhan).

Jika kita memiliki dua makna tersebut untuk memaknai Idul Fitri, maka selanjutnya terserah kita, kita mau memilih makna yang mana.

Kalau kita memilih makna yang pertama, yaitu: kembali sarapan maka hal ini riil. Semua orang Islam yang berpuasa berhak merayakannya. Karena selama bulan ramadhan, kita berpuasa dan tidak melakukan sarapan. Maka dengan berakhirnya bulan ramadhan, kita kembali melakukan sarapan seperti sebelum ramadhan. Semua bisa melihat hal itu.

Sementara kalau kita memilih makna kedua, yaitu: kembali pada aslinya, dalam artian tidak memikul dosa seperti bayi yang baru diciptakan, maka itu tergantung seberapa sungguh-sungguh, seberapa banyak, seberapa benar dan seberapa ikhlasnya kita melakukan ibadah pada bulan ramadhan. Seberapa sempurna puasa kita, shalat kita, dzikir kita, sedekah kita, mulut kita, pikiran kita, perilaku kita dan hati kita…. Semua itu bisa menjadi ukuran seberapa bersih dosa-dosa yang bisa kita hapuskan pada bulan ramadhan. Jadi, untuk memilih makna Idul Fitri yang kedua ini diperlukan syarat-syarat yang harus kita perjuangkan dan kita laksanakan dengan gigih selama ramadhan.

Demikian tadi makna Idul Fitri.

Lalu, perlukah kita merayakannya, mengapa kita merayakannya?

Kita ketahui, kita tidak akan merayakan hari apa pun sebagai hari raya jika tidak didahului oleh sebuah peristiwa besar sebelumnya. Kita merayakan hari kemerdekaan karena kita telah berjuang dengan berat untuk meraih kemerdekaan itu.

Kita merayakan hari kelahiran, karena hal itu oleh kita atau oleh orang tua kita dianggap sebagai tonggak bersejarah yang mengawali kehidupan kita.

Sebagian bangsa tidak akan pernah merayakan hari raya musim semi yang sejuk dan nyaman, jika sebelumnya tidak pernah mengalami musim-musim ekstrim yang tidak bersahabat.

Sebagian masyarakat tidak akan merayakan hari panen jika mereka tidak pernah berjuang dengan menanam dan lalu memanennya terlebih dahulu…

Begitu pula kita dalam beragama… Kita tidak akan pernah merayakan Hari Idul Fitri atau Hari Idul Adha tanpa didahului dengan sebuah perjuangan besar untuk meraihnya. Apa bentuk perjuangannya, melaksanakan puasa selama sebulan penuh untuk meraih Idul Fitri dan melaksanakan ibadah haji di tanah suci untuk meraih Idul Adha. Semua perjuangan ini berujung untuk meraih ampunan Allah dan ridha-Nya.

Jadi, sudah menjadi tabiat manusia, kita merayakan keberhasilan atau kemenangan setelah perjuangan berat yang kita lakukan.

Itu yang pertama.

Yang kedua, perayaan hari raya dibakukan dalam ajaran agama melalui Sabda Nabi yang mengatakan:

ان لكل قوم عيدا وان اليوم عيدنا

setiap kaum atau kelompok memiliki hari raya/hari berkumpul besar-besaran, dan hari ini (maksudnya, hari setelah melakukan ibadah puasa atau ibadah haji) adalah hari raya kita.”

Jadi, perayaan Hari Raya atau Hari Berkumpul besar-besaran, bukan hanya selaras dengan tabiat manusia, tetapi juga memiliki nilai ketaatan dan peribadatan kepada Allah.

***

Kenapa kita merayakan Idul Fitri dan Idul Adha dan tidak merayakan kemenangan-kemenangan peperangan pada masa Nabi dahulu? Kenapa?

Karena hanya Idul Fitri dan Idul Adha-lah yang riil berulang setiap tahun, berulang bersama perjuangannya dan kemenangannya, bukan hanya perayaannya.

Kalau kita merayakan hari kemerdekaan, misalnya, kita (para generasi berikutnya) hanya merayakan kenangannya saja, atau ingatannya saja, tanpa pernah merasakan hakikat perjuangannya itu sendiri.

Karena itu, dalam perayaan-perayaan hari nasional semacam itu, biasanya kita kurang mampu menghayati makna perjuangannya yang sebenarnya. Dalam perayaan semacam itu, kita seringnya hanya disibukkan dengan persiapan-persiapan yang bersifat protokoler formal, tanpa menyelami hakikat perjuangannya itu sendiri. Kenapa? Karena kita tidak pernah terlibat di dalamnya.

Berbeda dengan hari raya Idul Fitri atau Idul Adha…

Kita seharusnya mampu menyelami dan menghayati makna perayaan kemenangan pada hari-hari tersebut! Kenapa? Karena kita semua bersama-sama telah berjuang untuk meraihnya. Masing-masing kita telah bertempur dan berjuang melawan hawa nafsu dan melawan keinginan-keinginan yang menghalangi tercapainya tujuan. Kita sendiri ikut mengemban perjuangan ini, lalu setelah berhasil, kita merayakan kemenangannya.

Ini berarti, kita merayakan sesuatu yang telah kita lakukan dan kita perjuangkan sendiri, bukan merayakan sesuatu yang dilakukan atau diperjuangkan oleh orang lain padahal kita tak pernah melakukan atau memperjuangkannya sedikit pun.

Itu diantaranya yang bisa menjadi alasan mengapa kita merayakan Idul Fitri dan Idul Adha dan bukan hari-hari kemenangan pertempuran pasukan muslim.

Bagaimanakah cara merayakan hari raya?

Cara merayakan hari raya Idul Fitri yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya adalah: begitu pagi hari raya menjelang, mereka mandi, lalu berdandan dengan pakaian yang terbaik yang dimilikinya (bukan terbaru, karena kalau terbaru bisa disalah-pahami harus memaksakan anggaran belanja untuk membeli baju baru), setelah itu sarapan (atau makan makanan ringan) sebelum berangkat menuju tempat shalat Id. Setelah makan, mereka keluar rumah sambil membaca takbir, berjalan kaki (bukan berkendaraan) menuju tempat dilaksanakannya shalat Id. Selama perjalanan mereka terus mengumandangkan takbir hingga khutbah Id dimulai. Selesai khutbah mereka kembali ke rumah masing-masing. Itu yang pertama.

Setelah itu apa yang mereka lakukan. Selesai shalat, mereka mengucapkan “selamat” satu sama lain ketika bertemu atau berpapasan. Mereka mengucapkan selamat dengan mengatakan, “taqabbalallahu minna wa minka” (semoga Allah menerima jerih payah saya dan jerih payah Anda)

Selain ucapan itu, menurut Ibnu Taimiyyah, mereka juga mengatakan, “waahalallu`alaik” (semoga Allah menerima atau rela kepada Anda), dan ucapan-ucapan lain yang sejenis itu.

Selain itu apa lagi yang mereka lakukan pada hari raya? Hari Raya adalah hari untuk makan-makan dan minum-minum serta berdzikir kepada Allah, seperti yang disabdakan oleh Nabi bahwa:

ايام التشريق ايام اكل وشرب وذكر لله عز وجل

Hari-hari dilaksanakannya shalat pagi (maksudnya shalat Idul Adha dan shalat Idul Fitri) adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azzawa Jalla.”

Jadi, berbagi makanan dan minuman serta berdzikir kepada Allah, termasuk cara merayakan hari raya.

Selain itu apa lagi yang mereka lakukan pada hari raya? Hari Raya adalah hari untuk bergembira dan bersuka-ria selama tidak melanggar aturan-aturan Allah yang telah ditentukan, Sabda Nabi,

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

Orang yang berpuasa memiliki dua saat bersukaria, yaitu saat Idul Fitrinya dan saat berjumpa dengan Tuhannya,”

Jadi, lupakan duka nestapa dan bergembiralah di hari raya.

Isi perut dengan makanan dan minuman yang baik dan bersyukurlah kepada Allah.

Ajak orang lain untuk bergembira agar kita semakin merasa gembira.

Bantu orang lain yang sedang kesusahan agar ikut menikmati kegembiraan. Kita akan bisa bergembira melihat orang lain bergembira, dan sebaliknya kita akan sulit menikmati kegembiraan jika melihat kesusahan ada di hadapan kita.

Itulah di antaranya, teladan yang bisa dirujuk dalam merayakan hari raya dari generasi terbaik. Generasi Nabi dan para sahabatnya.

Sekarang kita akan turun ke dalam tradisi di lingkungan masyarakat kita. Di antaranya adalah tradisi:

Halal bi Halal.

Kita ingat, tadi disebutkan bahwa di antara ucapan selamat yang diucapkan para sahabat ketika saling berpapasan adalah kata: “wa ahallahhu`alik” (begitu menurut Ibn Taimiyyah). Barangkali, dari kata wa ahallahu`alaik inilah muncul istilah “halal bi halal” dalam tradisi masyarakat kita.

Dan rupanya, untuk melestarikan tradisi ini pula kita berkumpul di sini pada malam hari ini.

Apa sebenarnya maksud dari kata halal bi halal tersebut. Jika kata tersebut berasal dari ungkapan “wa ahallahu`alaik” (semoga Allah rela/puas kepada Anda, rela/puas karena kita telah berjuang sekuat tenaga dan tidak mengecewakan Allah dengan keteledoran dan penyia-nyiaan kesempatan), jika diambil dari kata itu, barangkali yang dimaksudkan dengan kata halal bi halal adalah “saling mendoakan semoga Allah rela/puas kepada kita”

Tapi sepertinya yang menonjol dalam tradisi kita, “halal bi halal” dimaknai dengan arti “saling bermaaf-maafan”. Kalau dimaknai “saling bermaafan” seperti ini, berarti masing-masing saling mengharapkan “kerelaan saudaranya, sanaknya, rekannya, temannya atau siapa saja” yang memiliki sangkut-paut yang bisa membuat seseorang merasa tidak rela.

Jadi dalam tradisi kita, yang diharapkan adalah “kerelaan/kepuasan saudara, rekan dan handai tolan dengan cara mendapatkan maafnya,” bukan mengharapkan kerelaan Allah secara langsung.

Yang diharapkan adalah kerelaan sanak dan kawan atau orang lain dengan cara mendapatkan pemberian maaf dari mereka. Bolehkah hal seperti ini. Tentu saja, orang meminta maaf kepada orang lain adalah perbuatan terpuji. Minta maaf dianjurkan oleh agama dan tidak dibatasi waktunya. Boleh dilakukan kapan saja, tidak harus pada hari raya. Tapi kenapa hari raya sering dipilih menjadi saat untuk meminta maaf dan memberi maaf?! Kenapa?!

Karena momennya pas. (dalam bahasa iklan klop momennya!) Hari raya adalah momen saat seseorang bergembira. Dan orang yang sedang bergembira, secara kejiwaan, akan mudah memberi. Entah memberi maaf atau memberi apa saja. Kenapa? Karena sedang bahagia, sedang gembira, hatinya sedang lapang dan berbunga-bunga, itu saja! Dan ini adalah kepuasan batin tersendiri bagi orang yang mengalaminya.

Terus biasanya, orang tersebut menginginkan saat-saat gembiranya berlangsung lama dan terus-menerus. Ia tak ingin kegembiraan atau kebahagiaannya hilang dalam sekejap hanya karena tak memberi maaf pada kesalahan orang lain.

Mengetahui hal ini, maka orang lalu memanfaatkan momen hari raya, hari bergembira ini untuk meminta maaf. Dan hasilnya orang dengan mudah mengatakan, iya sama-sama… saya juga minta maaf. Kalau sebelumnya, sebelum bermaafan di hari raya, hubungan mereka terasa beku dan kaku, setelah bersalaman dan mengatakan ucapan maaf, biasanya hubungan mereka akan menjadi cair dan luwes, minimal tidak merasa terlalu bersalah lagi.

Bukti bahwa orang itu meinginginkan kegembiraan dan kebahagiannya bisa berlangsung lama, ya, acara halal bi halal pada malam ini. Hari rayanya sudah berlangsung dua minggu yang lalu, tapi kegembiraannya masih diulur sampai malam halal bi halal sekarang ini.

Memilih saat yang tepat merupakan salah satu kunci mendapatkan kesuksesan. Jika pingin sukses mendapat maaf dari seseorang, pilih di antaranya waktu atau saat ia bergembira. Di antaranya, ya pas hari raya itu.

Jika kepingin sukses mendapatkan hadiah atau traktiran, pilih saat orang itu mendapat gajian atau saat mendapat bonus atau kenaikan pangkat… atau saat gembira lainnya, insyaallah tidak akan ditolak.

Oleh karena itu, ibu-ibu kalo kepengin mendapat sesuatu dari suaminya, ajukan permintaan saat suami merasa gembira, saat ia senang. Itu lebih tepat dari pada memintanya saat jengkel, sumpek atau kesusahan.

Begitu pula bapak-bapak…. pilih saat ibu-ibunya sedang senang jika ingin meminta sesuatu dari mereka.

Pilih saat atasan senang kalo ingin mengajukan proposal, atau kenaikan gaji… Jangan saat ia jengkel, bisa monyong!

Pilih saat-saat yang menyenangkan, bukan membuat mereka senang, lho… kalo membuat mereka senang, bisa dianggap malah menyuap, atau memiliki pamrih. Meskipun mungkin bisa mendapatkan hasil yang sama, antara memilih saat senang dan membuatnya senang, tetapi berbeda pada gengsi dan modalnya, yang satu pake modal dan sedikit menurunkan gengsi, sementara yang satunya lagi tanpa modal dan tetap dengan gengsi yang sama.

Di dalam tradisi masyarakat kita, perayaan hari raya di antaranya dilakukan dengan mengadakan acara Halal bi Halal untuk memanfaatkan momen gembira ini sebagai sarana mendapatkan kerelaan atau pemberian maaf dari orang yang kita kehendaki. Ini sah-sah saja.

Tapi jangan dilupakan, pertama kali hendaklah kita berhalal-halalan kepada Allah, dalam artian memohon perkenan Allah agar menerima amal kebaikan kita dan mengampuni dosa-dosa kita setelah sebulan penuh berjuang demi mendapatkan keridlaan-Nya. Baru setelah itu, kita berhalal-halalan kepada sanak dan handai tolan serta kaum muslimin dan orang-orang lainnya, dalam artian mengucapkan selamat berhari raya, dan meminta maaf atas kesalahan yang kita lakukan terhadapnya.

Adakah maksud lain yang lebih kuat, secara agamis, yang diharapkan dalam tradisi meminta maaf di hari raya ini? Tampaknya ada.

Apa itu? Hal itu karena kita tidak ingin kehilangan pahala. Setelah sebulan penuh kita berpuasa, melakukan shalat tarawih dan shalat malam, membaca al-Qur’ân, memberikan sedekah dan membayar zakat, menjaga ucapan dan perilaku dan semua bentuk kebaikan lainnya yang kita lakukan pada bulan puasa dengan harapan akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat, maka kita ingin pahala itu tetap menjadi tabungan kita sendiri, menjadi bekal untuk membeli tiket surga dan tidak diutak-atik untuk membayar denda ini atau denda itu, menebus kesalahan itu atau tanggungan itu…

Maka kita pun mencari solusi dengan cara meminta maaf kepada orang-orang tertentu yang kita lukai, yang kita lalimi, yang kita salahi yang kita gunjing dan seterusnya yang buruk-buruk.

Kita ingin memiliki semua pahala yang telah kita raih dan tidak ingin menguranginya, kalau perlu kita masih ingin menambahnya… maka kita pun mencari solusi dengan cara meminta maaf.

Mau meminta maaf dan mengakui kesalahan berarti akan mendapatkan pahala tersendiri dari Allah. Mendapatkan maaf dari orang yang bersangkutan berarti akan menghapuskan tanggungan kita kepadanya.

Mau memberi maaf berarti akan mendapatkan pahala yang lebih besar dari Allah Ta’ala dari pada pahala tebusan yang akan diterimanya, juga akan menambah kerukunan atau kecairan suasana yang selama ini membeku.

Yang melatarbelakangi solusi semacam ini barangkali Sabda Nabi yang mengatakan:

أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ، قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ

Artinya… tahukahkaliansiapakahorangyangbangkrut? Para sahabat menjawab orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan kekayaan. Jawab Nabi, bukan yang itu… orang yang bangkrut dari golongan umatku adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan membawa shalatnya, puasanya dan zakatnya. Akan tetapi ia juga datang dengan perilaku buruknya. Ia datang dengan umpatannya terhadap si anu, ia datang dengan fitnah/tuduhan kejinya kepada si anu, ia datang dengan mengkorupsi harta si anu, melukai tubuh si anu, berlaku kasar kepada si anu… maka semua itu akan ditebus dengan memberikan pahala kebaikannya kepada masing-masing anu… jika pahalanya habis sebelum semuanya terlunasi, maka akan diambilkan dari dosa kejelekan masing-masing anu… lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dilemparkan ke dalam neraka…”

==========

Pemahaman Hadits

==========

Dari redaksi pertanyaan ini ini bisa dilihat bahwa orang yang bangkrut, berarti bukan orang yang miskin, tetapi orang yang kaya (kaya pahala) tetapi tak bisa memanfaatkan kekayaannya itu karena harus diberikan kepada orang lain, harus dibayarkan untuk menebus atau melunasi tanggungannya.

==========

Ini ibarat pedagang atau pengusaha sedang meraup banyak keuntungan. Tetapi, ternyata ia salah mengelolanya, sehingga keuntungan yang banyak itu akhirnya ludes untuk melunasi dan membayar kesalahan-kesalahannya.

Keuntungan atau kekayaannya yang berupa pahala kebaikannya itu akhirnya diberikan kepada setiap orang yang pernah disalahinya sampai kekayaan itu habis–jika kesalahannya benar-benar fatal—tergantung seberapa besar kesalahannya. Jika kekayaannya sudah habis dan masih belum mencukupi untuk melunasi, maka akan ditimpakan keburukan orang yang disalahi lalu dilemparkan ke dalam neraka.

Itulah orang yang bangkrut! Orang yang seharusnya menikmati laba dan keuntungan besar, tetapi karena salah mengatur, memanage, akhirnya jatuh ke lubang kesengsaraan, neraka.

Orang bangkrut pada awalnya bukan orang miskin, alias tidak punya pahala kebaikan sama sekali. Kalau sudah jelas miskin, yaitu tak punya kebaikan sama sekali (alias selalu berbuat dosa dan durhaka di dalam hidupnya) ya memang sudah jalurnya menuju lubang kesengsaraan, masuk neraka.

==============

Semua itu bisa terjadi karena kita memiliki tanggungan atau keterikatan dengan orang lain.

Pahala kebaikan kita yang banyak (hasil memborong proyek ramadhan, misalnya) bisa habis ludes bahkan minus ketika kita menghadap Allah dengan membawa kesalahan-kesalahan yang memiliki sangkut-paut dengan hak-hak orang lain (hak adami, atau huquq adamiyah begitu istilah yang sering digunakan).

Kesalahan kita kepada orang lain akan kita bayar lunas dengan menyerahkan pahala kebaikan kita atau mengambil dosa keburukan orang bersangkutan. Kalau kesalahan kita kepada Allah, ada kemungkinan mendapatkan ampunan dan belas kasih dari Allah, tapi kalo sesama manusia harus dibayar secara riil…. dibayar dengan tabungan pahala yang kita punya.

Urusan hutang-piutang hak sesama manusia tak bisa dihapuskan kecuali dengan meminta kerelaan dan maaf dari orang bersangkutan. Meminta maaf atas kesalahan atau kejahatan yang pernah kita lakukan kepadanya. Jika orang bersangkutan mau memberi maaf, maka lunas deh…

Jika kita mendapat maaf dan kerelaan orang bersangkutan maka tabungan pahala kita akan aman, tak berkurang sedikit pun. Tak akan diutak-atik untuk menebus ini atau itu… bahkan akan mendapat saldo tambahan dari pahala meminta maaf.

Karena alasan inilah di antaranya, yaitu alasan karena kita tak menginginkan pahala yang telah kita kumpulkan selama bulan ramadhan berkurang atau bahkan habis, maka kita mengadakan acara halal bi halal ini. Yang tujuannya, di antaranya, untuk menebus dan membayar kesalahan kita selama ini dengan cara meminta maaf dan memohon kerelaan orang bersangkutan.

Barangkali inilah diantaranya yang menjadi dasar munculnya tradisi halal-bi-halal di masyarakat kita. Tujuannya baik, demi kebaikan hidup kita di dunia dan di akhirat kelak.

Dengan Halal bi Halal, kebaikan hidup di dunia bisa mewujud dalam bentuk kecairan hubungan antara satu dengan yang lainnya, terutama antara pihak yang pernah berseteru, pihak yang bersalah dan pihak yang disalahi. Hubungan antara keduanya akan kembali cair dan berjalan wajar dengan cara maaf-memaafkan itu tadi.

Kesadaran diri atas kekurangan dan kesalahan lalu dilanjutkan dengan tindakan meminta maaf dan bertanggung jawab atas kesalahan itu akan mendorong tumbuhnya masyarakat yang bermartabat dan berperilaku jujur, yang pada gilirannya akan menguatkan rasa saling percaya dan rasa aman di antara sesama warga masyarakat.

Begitu pula kelapangan dada dan kebaikan hati menerima dan memberi maaf akan mendorong tumbuhnya rasa simpati, rasa hormat dan menyayangi serta menghargai antara sesama, sehingga pada gilirannya akan bisa memperkokoh tali kebersamaan dan persaudaraan di dalam komunitas masyarakat itu sendiri.

Untuk itu, jangan ragu untuk meminta maaf dan siap menanggung semua resiko kesalahan yang mungkin akan dituntut oleh orang yang bersangkutan.

Begitu pula jangan ragu untuk memberi maaf dan merelakan semua pahit getir atau kerugian yang pernah diderita akibat kesalahan orang yang meminta maaf, kenapa? Karena Allah mengatakan:

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ

Jika kalian memaafkan, itu lebih dekat pada ketakwaan

Dan, jika kalian bersedekah (di antaranya, dengan merelakan atau meikhlaskan kerugian), itu lebih baik bagimu!”

Jika baru mampu memaafkan dan tidak bisa merelakan kerugian, maka mintalah ganti rugi yang sepadan. Tetapi merelakan tetap lebih baik dari pada meminta ganti rugi.

Barangkali, ini dahulu yang bisa saya sampaikan. Kurang lebihnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya dan meminta koreksi dari yang ahlinya. Jika ada yang baik dalam ceramah ini, itu datangnya dari Allah, dan jika ada yang salah atau buruk dalam ceramah ini, itu karena kekurangan dan kebodohan saya semata.

wa akhiru da’wana `anil hamdu lillah rabbil `alamin. aqulu qauli hadza wa astaghfirullaha li wa lakum.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

1 responses to “Ceramah Halal bi Halal 1431

  1. mhn ijin mengkopi…semoga membawa berkah

Tinggalkan komentar